Iskandar Muda dan Meugang
Pada abad ke-14 Masehi, di masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda memperkenalkan sebuah tradisi yang tak lekang oleh zaman: Meugang. Sebuah perayaan yang lebih dari sekadar menyantap daging, tetapi juga wujud syukur dan kebersamaan. Kala itu, hewan-hewan seperti sapi, kerbau, kambing, ayam, dan itik disembelih dalam jumlah besar dan dibagikan kepada rakyat, sebuah simbol kemakmuran dan kepedulian seorang pemimpin terhadap negerinya.
Zaman bergulir, tetapi Meugang tetap bertahan. Setiap menjelang hari-hari besar Islam—Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha—pasar-pasar di seluruh Aceh dipenuhi warga yang berlomba mendapatkan daging terbaik. Aroma gulai yang mendidih, daging yang digoreng renyah, dan masakan khas lainnya menjadi tanda bahwa Meugang telah tiba. Ini adalah waktu di mana keluarga berkumpul, berbagi cerita, dan memastikan bahwa tak ada yang melewati hari-hari suci dalam kekurangan.
Namun, sejarah mencatat bahwa ketika Belanda menyerang Aceh pada tahun 1873, peran kerajaan dalam memfasilitasi Meugang menurun. Meski begitu, rakyat Aceh tidak menyerah. Mereka tetap menjaga tradisi ini, menghidupkannya dengan cara mereka sendiri. Kini, Meugang bukan lagi tentang pemberian raja, tetapi tentang kebersamaan, tentang gotong royong untuk memastikan setiap rumah tetap berisi hidangan yang penuh makna.
Hingga kini, Meugang tetap menjadi nadi kehidupan masyarakat Aceh. Dalam setahun, ia hadir tiga kali: dua hari sebelum Ramadan, dua hari menjelang Idulfitri, dan dua hari menjelang Iduladha. Meski harga daging kian melonjak dan perubahan zaman mengubah banyak hal, semangat Meugang tetap berkobar. Ia bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga cermin bagaimana masyarakat Aceh mempertahankan akar budaya dan solidaritas mereka.
Lebaran 2025, Meugang kembali menyatukan keluarga-keluarga di Aceh. Asap dari dapur yang mengepul, kuah kari yang harum, dan tawa yang memenuhi ruang tamu adalah bagian dari kebahagiaan yang selalu ditunggu. Namun, di balik perayaan ini, ada mereka yang tak bisa pulang. Para perantau yang hanya bisa menyaksikan Meugang dari kejauhan, yang hanya bisa mendengar suara ibu memasak lewat panggilan video, dan yang hanya bisa menelan rindu di meja makan yang sepi.
Meugang bagi mereka bukan hanya tentang daging, tetapi tentang kenangan yang menggumpal di dada. Sebuah tradisi yang mengajarkan bahwa sejauh apa pun kaki melangkah, hati akan selalu terpaut pada tanah kelahiran. Di balik kemeriahan Meugang, ada doa yang terucap lirih, ada air mata yang jatuh tanpa suara, ada harapan bahwa suatu hari nanti, mereka akan kembali ke rumah, menikmati Meugang di pangkuan keluarga tercinta.
Selamat Meugang, Selamat Lebaran.