Implementasi Idul Fitri dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam hitungan hari, kita akan menutup lembaran Ramadhan yang membawa serta doa-doa yang telah kita panjatkan. Sebentar lagi, gema takbir akan menggema, menandakan datangnya hari kemenangan.
Apakah Idul Fitri Benar-benar Membawa Kita Kembali ke Jalan yang Benar?
Idul Fitri bukan sekadar hari kemenangan setelah sebulan berpuasa, tapi juga saat yang tepat untuk kembali ke ajaran Islam yang sebenarnya. Makna “kembali” dalam Idul Fitri mengingatkan kita bahwa mungkin selama ini kita telah jauh dari ajaran agama, dan melalui Ramadhan, kita berusaha untuk kembali menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih taat (DR Aji Sofanudin, 2022).
Di Indonesia, Idul Fitri sering disebut sebagai “lebaran,” yang diyakini berasal dari kata “lebar,” yang berarti luas atau lapang. Makna ini mencerminkan pentingnya berlapang dada, saling memaafkan, dan merajut kembali hubungan yang mungkin sempat renggang.
Meskipun istilah ini tidak berasal dari bahasa Arab, konsepnya telah menjadi bagian kuat dari tradisi masyarakat kita. Di Aceh, perayaan Idul Fitri bukan hanya soal ibadah dan silaturahmi, tetapi juga punya dampak besar bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Ragam Tradisi Idul Fitri di Aceh: Perpaduan Religi, Budaya, dan Ekonomi
Salah satu tradisi khas Aceh adalah Makmeugang atau Meugang, yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Aceh. Tradisi ini ditandai dengan pemotongan hewan dalam jumlah besar, lalu dagingnya dibagikan ke masyarakat sebagai bentuk syukur dan kebersamaan dalam menyambut hari raya. Ini mencerminkan nilai gotong royong dan kepedulian sosial yang sudah mengakar kuat di masyarakat Aceh (Laman Sekretariat Majelis Adat Aceh, 2023).
Selain itu, setiap menjelang Idul Fitri, ekonomi di Aceh bergerak sangat cepat. Daya beli masyarakat meningkat, pedagang kecil semakin ramai, toko pakaian muslim laris, industri makanan berkembang, dan jasa transportasi penuh. Seperti yang terjadi di zaman Rasulullah, perayaan hari besar Islam selalu menjadi peluang bagi pertumbuhan ekonomi umat.
Selain sektor ekonomi, Idul Fitri juga menjadi momen penting bagi masyarakat Aceh untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Tradisi mudik menjadi ajang berkumpulnya keluarga besar, sementara ziarah kubur atau jak bak kubu dilakukan sehari sebelum Idul Fitri atau setelah shalat Id sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga yang telah meninggal.
Momen silaturahmi dari rumah ke rumah juga tetap terjaga, menguatkan rasa kebersamaan dan persaudaraan dalam masyarakat. Tradisi-tradisi ini membuktikan bahwa Idul Fitri bukan hanya perayaan keagamaan, tetapi juga momentum untuk merawat nilai-nilai sosial dan budaya yang telah diwariskan sejak lama.
Mengapa Idul Fitri Harus Jadi Titik Balik Umat?
Namun, jika kita melihat lebih luas, Idul Fitri seharusnya bisa menjadi lebih dari sekadar perayaan. Ini adalah saat yang tepat bagi umat Islam untuk bangkit, terutama dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Idul Fitri seharusnya membawa kita kembali ke Islam yang mencerahkan—Islam yang tidak hanya soal ibadah pribadi, tetapi juga mengajak kita untuk membangun kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.
Sayangnya, kenyataan yang kita hadapi saat ini sering jauh dari harapan. Masih banyak ketimpangan sosial, kemiskinan, dan ketidakadilan ekonomi, sementara sebagian besar dari kita hanya fokus pada ibadah pribadi tanpa ikut berkontribusi dalam membangun kesejahteraan bersama.
Sejarawan Amirul Hadi dalam bukunya Islam and State in Sumatra; A Study of Seventeenth Century Aceh (2004) meneliti bahwa kebangkitan umat Islam di Aceh pada masa lalu berawal dari kuatnya budaya belajar dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kesultanan Aceh pernah menjadi pusat pendidikan Islam yang maju, mengambil banyak pelajaran dari Kerajaan Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Husain (1571–1579), seorang ulama besar bernama Muhammad Azhari datang dan mengajar di Aceh hingga akhir hayatnya.
Kemudian, di masa Sultan Ala ad-Din Ri’ayat Syah (1579–1596), semakin banyak ulama yang datang ke Aceh, seperti Syaikh Abu Al Khair Ibn Syaikh Ibn Hajar, Syaikh Muhammad Yamani, dan paman dari Ar-Raniry, yaitu Syaikh Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad. Kehadiran para ulama ini membuktikan bahwa kemajuan umat Islam sangat bergantung pada pendidikan yang kuat.
Selain pendidikan, kebangkitan umat Islam juga perlu ditopang oleh ekonomi yang mandiri dan berdaya saing. Sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sendiri adalah seorang pedagang, dan banyak sahabatnya yang sukses di dunia usaha. Jika kita melihat kembali kejayaan Kesultanan Aceh, kita akan menemukan bahwa perekonomian saat itu berkembang pesat melalui perdagangan dengan berbagai negara.
Idul Fitri, yang selalu menjadi momen meningkatnya aktivitas ekonomi, seharusnya kita manfaatkan bukan hanya untuk belanja konsumtif, tetapi juga untuk membangun sistem ekonomi yang lebih stabil dan merata. Jika perputaran uang masyarakat diarahkan ke sektor usaha kecil dan menengah, maka kesejahteraan umat akan semakin meningkat.
Oleh karena itu, Idul Fitri harus kita maknai lebih dari sekadar perayaan. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merenungkan peran umat Islam dalam dunia pendidikan dan ekonomi. Kita harus kembali pada semangat Islam yang maju—Islam yang tidak hanya bicara soal ibadah, tetapi juga membangun peradaban yang kuat dan sejahtera.
Sejarah sudah membuktikan bahwa umat Islam bisa berjaya ketika pendidikan dan ekonomi menjadi prioritas utama. Sekarang, saatnya kita menjadikan Idul Fitri sebagai titik awal kebangkitan umat, agar kita kembali berperan sebagai pemimpin dalam ilmu pengetahuan dan kesejahteraan dunia.
Wallahul Muwaafiq Ilaa Aqwaamit Thariq
Taqabbalallahu minna wa minkum.
Oleh: Hadi Irfandi