Hitam atau Negatif, Pilih Mana?
Catatan Sayuti Achmad*)
RADA mirip-miriplah, walaupun bertolak belakang cara mainnya. Tujuannya sama, menghancurkan reputasi lawan. Hanya saja yang satu melakukan langkah-Iangkah propaganda negatif dengan tujuan pembunuhan karakter, sementara yang satu lagi mengkritisi atau mengangkat dan menggoreng kelemahan lawan berdasarkan fakta yang ada.
Inilah dua model kampanye yang selalu digelontorkan dalam setiap kontestasi,black campaign (kampanye hitam) dan negative campaign (kampanye negatif).
Strategi melakukan kampanye hitam biasanya dimainkan secara terstruktur, masif dan dikendalikan bak gerakan bawah tanah. Begitu isu dilemparkan, tim agitasi akan bergerak ke kantong-kantong suara pemilih. Tak heran fitnah, hasutan, dan provokasi pun dijadikan alat propaganda untuk mendiskreditkan seseorang.
Terlepas isu itu diterima atau tidak, yang penting sudah menggelinding bak bola salju. Setidaknya lawan politik dibuat kelimpungan untuk mengklarifikasi fakta sebenarnya. Kecenderungannya bernuansa fitnah, namun tak mudah untuk menjernihkannya.
Cara berdemokrasi dengan kampanye hitam sendiri ternyata bukan barang baru, sudah dikenal sejak tahun 1796 saat pemilihan Presiden Amerika Serikat. John Adams yang terpilih menggantikan George Washington harus berjibaku menepis isu politik yang dilontarkan kubu lawan.
Di Indonesia sendiri, Presiden SBY pada Pilpres 2004 dan 2009 pernah diserang habis-habisan dengan isu kampanye hitam, bahkan pada Pilpres 2009 secara terang-terangan Wakil Ketua DPR RI, Zaenal Ma’arif menyebutkan SBY sudah menikah dan memiliki dua anak sebelum masuk Akabri.
Isu ini memang terbantahkan, karena syarat masuk Akabri tidak boleh pernah menikah apalagi memiliki anak. Namun mengklarifikasinya bukan persoalan mudah. Isu digoreng dan digulirkan, setidaknya mampu menggerus suara masyarakat pada saat itu.
Begitu juga kampanye hitam yang dialami Presiden Jokowi dengan isu akan melakukan pelarangan azan di masjid dan bakal melegalkan perkawinan sejenis jika terpilih, termasuk isu istri Wapres Boediono yang diembuskan beragama Katolik dikarenakan tidak menggunakan jilbab jadi mainan yang menarik dengan memainkan isu sara.
Kemasan isu seperti ini memang bukan hal yang baru, karena tak perlu menggunakan data dan fakta, cukup dilemparkan, dikemas, diyakinkan kepada setiap orang dengan diselingi beberapa fakta yang tak memiliki dasar yang kuat. Apalagi yang melempar isu orang-orang yang memiliki pengaruh dan kapasitas di masyarakat.
Biasanya media mainstream maupun media sosial pun turut memberi peran dalam penyebarannya. Cara percaya orang pun seakan memiliki dalil, namun ternyata setelah ditelusuri berita yang menyebar itu hanya berita bohong (hoax).
Inilah cara kerja kampanye hitam, dianggap alat yang mujarab untuk ‘membunuh’ karakter seseorang. Penyebarannya dilakukan secara masif, namun seakan tak berwujud. Ibarat kentut, hanya baunya yang terasa, tapi wujud kentut ini seakan tak pernah ada. Bahkan, walaupun dilarang dan dianggap melanggar hukum, gerakan yang dibangun dengan melakukan kampanye hitam tetap dilakukan dalam setiap kontestasi, malah sudah dianggap lumrah.
Lantas bagaimana dengan kampanye negatif? Kalau kampanye cara ini dianggap tak menyalahi aturan. Kampanye negatif kecenderungannya adalah mengkritisi. Kelemahan program lawan politik selalu dijadikan alat untuk menyerang. Biasanya kampanye negatif dilakukan secara terbuka dan aktor-aktor intelektualnyapun orang-orang yang memiliki rekam jejak dan popularitas yang tinggi.
Pelaku kampanye negatif biasanya memiliki data dan fakta yang akurat menurut pemahamannya. Selanjutnya tim inilah yang akan mengulas dan mengupas tuntas semua kelemahan program dari kubu lawan.
Sikap mengkritisi dari lawan politik ini sering dimanfaatkan media untuk memancing kubu lawan politik untuk melakukan counter, dan biasanya perdebatan panjang akan terjadi. Tak heran media elektronik nasional selalu menjadikan momen ini untuk menaikkan rating pemirsanya.
Lawan dari negative campaign adalah positive campaign. Namun kampanye positif ini dianggap kurang menarik bagi banyak orang, karena biasanya hanya bercerita tentang kehebatan pelaku kontestasi dengan semua kelebihan program yang sudah dilakukannya.
***
Beginilah wujud kontestasi itu. Selalu kita mengedepankan sikap kesatria dalam berdemokrasi, namun hal itu hanya lip service belaka. Takkan ada yang bertarung siap menang siap kalah, namun yang mengemuka adalah menangkan pertarungan dengan segala cara. Langkah segala cara inilah yang sering dianalogikan dengan banyak cara.
Jika prosesnya melalui penghitungan suara, strategi money politics biasanya dijadikan langkah terakhir, namun sebelum itu terjadi strategi kampanye hitam dianggap lebih efektif untuk melemahkan kubu lawan.
Lagi-Iagi semua cara dilakukan dalam kontestasi berdemokrasi di negeri tercinta ini. Dewasa berpolitik, dewasa berdemokrasi seakan mudah disebutkan, namun terasa susah diwujudkan. Kita sudah terbiasa dengan iklim yang bertolak belakang dengan kedewasaan berdemokrasi. Namun terkadang kita abai memaknai politik identik dengan kepentingan.
Usai pertarungan dalam kontestasi, hal yang biasa adalah bersatu lagi, apalagi kontestasi ini terjadi dalam sebuah organisasi profesi, misalnya dalam organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang akan menggelar Konferprov XII pada 19 -20 November 2021 di Banda Aceh.
Melakukan kampanye hitam dalam proses kontestasi hanya akan meninggalkan luka dan goresan yang sulit untuk disembuhkan. Jika harus memilih, lakukanlah dengan kampanye negatif, namun dengan cara-cara yang kreatif yang bertujuan untuk membesarkan organisasi.
Tapi, inilah demokrasi ala kita, sering mengabaikan sportifitas. Kekuasaan dianggap segalanya, sehingga tak ada yang mau mengalah dan semuanya ingin jadi pemenang. Tapi itu hal yang lumrah, demokrasi memberi peluang kepada siapa saja.
Hanya saja, setelah berdemokrasi kita harus bersatu kembali, saling berangkulan dan duduk semeja menikmati nikmatnya kopi. []
*) Penulis Adalah Ketua PWI Aceh Utara-Lhokseumawe