Hari Asyura: Antara Sunah dan Bidah
Oleh: Tgk Alizar Usman
SESUNGGUHNYA hari Asyura (10 Muharam) merupakan hari bersejarah dan diagungkan dalam Islam. Hari Asyura ini bersejarah karena saat itu Nabi Musa alaihi salam dan kaumnya terlepas dari kejaran Firaun laknatillah. Karena itu, menjadi tradisi bagi orang-orang Quraisy dan Yahudi pada masa Nabi Muhammad SAW melakukan puasa untuk dan mengenang dan sekaligus bersyukur terlepas dari musuh mereka.
Nabi Muhammad SAW yang merupakan nabi terakhir melestarikan tradisi ini dengan melaksanakan puasa dan memerintah umatnya melakukan hal serupa. Nabi SAW bersabda;
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
”Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah SAW juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ’Asyura. Lalu beliau mengatakan: “Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak berpuasa).” (H.R. Bukhari)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, beliau berkata;
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah SAW mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, ”Hari yang kalian bepuasa ini hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah SAW lantas berkata, “Kami seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian”. “Lalu setelah itu Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (H.R. Muslim)
Dua hadis ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliah, dan sebelum hijrah pun Nabi SAW telah melakukan puasa.
Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa. Karena ibadah puasa Asyura dilakukan juga oleh Yahudi, maka Rasulullah menganjurkan puasa pada hari kesembilan Muharram (Tasu’a) untuk menyelisih ibadah Yahudi.
Ibnu Abbas beliau berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah SAW melaksanakan dan memerintah berpuasa pada Hari ’Asyura, ketika itu para sahabat berkata: ”Ya Rasulullah sesungguhnya hari Asyura itu merupakan hari yang dihormati oleh Yahudi dan Nasrani.”
Rasulullah SAW menjawab:
“Apabila datang tahun depan, insya Allah kami berpuasa pada hari kesembilannya. Ibnu Abbas mengatakan: “Tidak sempat datang tahun depan itu, karena Rasulullah SAW duluan wafat.” (H.R. Muslim)
Lalu bagaimana dengan tradisi masyarakat kita yang merayakan 10 Muharram (Asyura) dengan berbagai amalan, seperti memberikan makanan kepada fakir miskin, mandi, berdoa dan lain-lain —yaitu amalan-amalan yang dianjurkan pada setiap waktu tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu— dengan niat bersyukur kepada Allah SWT dan mengenang sejarah terlepas Nabi Musa alaihi salam dan kaumnya dari kejaran Firaun?
Jawabannya, selama amalan-amalan itu tidak ada unsur maksiat dan tidak dilarang agama, maka itu menjadi amalan salihah, karena amalan tersebut termasuk dalam keumuman anjuran bersyukur dan mengambil iktibar dengan peristiwa-peristiwa masa-masa lalu, apalagi ini merupakan peristiwa sejarah sangat penting dalam perjalanan syariat Allah SWT.
Menurut hemat kami, amalan-amalan yang dianjur pada setiap waktu seperti memberikan makanan kepada fakir miskin, mandi, berdoa dan lain-lain apabila dilakukan pada 10 Muharram, maka dapat diqiyaskan kepada ibadah puasa yang dianjurkan dilakukan pada 10 Muharam dengan jalan kesamaannya (‘illah-nya), sama-sama merupakan amalan dalam rangka mengungkap rasa syukur dan mengenang sejarah terlepas Nabi Musa alaihi salam dan kaumnya dari kejaran Firaun.
Sehingga, memperingati 10 Muharram ini sama dengan memperingati hari-hari besar Islam lainnya, seperti Maulid Nabi SAW, Isra Mikraj dan Nuzulul Quran yang dianjurkan dalam agama, meskipun tidak ada contoh secara detil dari Nabi SAW dan para sahabat.
Namun karena ada dalil dan didukung oleh qawaid (asas/dasar) agama secara umum, maka termasuk dalam katagori bidah hasanah.
Dalam kitab I’anah al-Thalibin, disebutkan sebagian ulama menghitung ada dua belas amalan yang dilaksanakan pada 10 Muharam (Asyura), di antaranya:
1. Shalat
2. Puasa
3. Silaturrahmi
4. Bersedekah
5. Mandi
6. Memakai celak
7. Ziarah orang ‘alim
8. Mengunjungi orang sakit
9. Mengusap kepala anak yatim
10. Memberikan kemudahan pada keluarga
11. Memotong kuku
12. Membaca surah Al-Ikhlas 1.000 kali
Namun sebelumnya, pengarang I’anah al-Thalibin mengutip perkataan al-Alamah al-Ajhuri yang dikutip dalam kitab al-Nufahaat al-Nabawiyah fil-Fadhail al-‘Asyuriyah, karya Syeikh al-‘Adawy bahwa hadis memakai celak (pada hari Asyura) adalah mungkar menurut al-Hakim dan Ibnu Hajar mengatakan maudhu’.
Selanjutnya al-‘Alamah al-Ajhuri mengatakan:
“Saya pernah menanyakan sebagian para imam hadits dan fiqh mengenai hadits memakai celak, memasak biji-bijian, memakai pakaian baru dan mendhahirkan kegembiraan, maka imam-imam tersebut mengatakan: “tidak datang padanya hadits shahih dari Nabi SAW dan tidak juga dari sahabat dan tidak juga datang dari salah seorang imam-imam kaum muslimin yang menganggap hal-hal itu adalah baik, dan demikian juga apa yang dikatakan sesungguhnya barangsiapa yang memakai celak pada hari itu, maka dia tidak jatuh dalam kesusahan pada tahun itu dan barangsiapa yang mandi pada hari itu, maka dia tidak sakit pada tahun itu juga.”
Selanjutnya pengarang I’anah al-Thalibin mengatakan alhasil hadis mengenai melakukan sepuluh perkara pada hari Asyura, tidak sahih padanya kecuali hadis puasa dan memberikan kemudahan pada keluarga.
Dalam Nihayatul Zain, Nawawi al-Jawi mengatakan;
“Sungguh telah datang hadits mengenai puasa dan memberikan kemudahan pada keluarga (pada hari Asyura). Adapun selain keduanya tidak ada haditsnya.”
Lalu kalau ada yang bertanya, bolehkah kita amalkan amalan-amalan yang tidak didukung hadis sahih di atas pada hari Asyura untuk mengungkap rasa gembira atas terlepas Musa alaihi salam dan kaumnya dari kejaran Firaun sebagaimana Nabi SAW berpuasa pada hari itu dengan maksud yang sama, sementara amalan-amalan tersebut tidak didukung oleh hadis sahih?
Jawabannya, selama amalan-amalan tersebut tidak diniatkan sebagai amalan yang hanya disunahkan pada hari Asyura, bahkan amalan tersebut juga di-qasad (niat) sebagai sunah pada hari-hari lain, namun akan mempunyai keistimewaan tersendiri apabila dilakukan pada hari Asyura dengan qasad mengamalkan amalan-amalan tersebut sebagai rasa syukur dan ungkapan rasa gembira atas terlepas Nabi Musa alaihi salam dan kaumnya dari kejaran Firaun.
Misalnya shalat, kalau seseorang melakukan shalat sunah mutlak pada hari Asyura sebagai rasa syukur dan ungkapan rasa gembira atas terlepas Musa alaihi salam dan kaumnya dari kejaran Firaun, maka shalat ini tentu mempunyai nilai lebih dibanding shalat sunah mutlak yang dilakukan pada hari biasa.
Namun, kalau seseorang melakukankan shalat dengan qasad sebagai shalat yang khusus disunahkan karena hari Asyura, maka ini tentu bidah yang tercela, karena tidak ada hadis Nabi SAW dan para sahabat yang menunjukkan sunah shalat ini.
Seperti ini juga dijelaskan untuk amalan-amalan yang lain. Juga menjadi bidah tercela kalau diiktikad hanya dua belas perkara di atas yang menjadi amalan yang baik dilakukan pada hari Asyura.
Jadi, semua amalan yang baik pada pandangan syariat dan sunah dilakukan kapan saja tanpa dibatasi waktunya, serta sesuai dengan konteks ungkapan rasa syukur dan gembira atas terlepas Musa alaihi salam dan kaumnya dari kejaran Firaun, maka itu menjadi amalan yang baik dilakukan hari Asyura.
Adapun tradisi memperingati Asyura karena berhubungan dengan terbunuh Saiyyidina Husain, maka terdapat dua kelompok.
Kelompok pertama; kelompok yang berduka cita atas terbunuh Saiyyidina Husain, lalu mereka melakukan perbuatan seperti meratap, menyakiti tubuh, merobek-robek pakaian sebagai ungkapan rasa duka cita.
Perbuatan-perbuatan ini termasuk bidah yang tercela, karena perbuatan ini menyerupai dengan perbuatan mungkar yang dilakukan kelompok Syiah. Dan lagi sebagaimana dimaklumi, syariat kita mengharamkan berduka cita yang diungkap dengan meratap seperti menyakiti tubuh, merobek-merobek pakaian dan lain-lain.
Kelompok kedua; kelompok yang bergembira dengan terbunuh Saiyyidina Husain. Kelompok ini merayakan Asyura dengan menjadikan Asyura sebagai hari raya. Mereka mendhahirkan perasaan gembira atas terbunuh Saiyyidina Husain dengan melakukan permainan-permainan dan lain-lain.
Kelompok ini juga termasuk dalam kelompok pembuat bidah yang tercela, bahkan termasuk dosa yang sangat besar, karena mereka telah bergembira dengan terbunuhnya seorang mukmin, apalagi ini bergembira dengan terbunuhnya cucu Rasulullah SAW yang semestinya wajib kita beri penghormatan yang lebih kepada beliau. []