Hapus Pangkat Jenderal, Polisi Cukup di Bawah Bupati/Wali Kota

Asyari Usman. (Sumber foto: Daily News Indonesia)

Oleh Asyari Usman*)

banner 72x960

FERDY Sambo membongkar semuanya. Mulai dari mentalitas jenderal, gaya hidup, sampai soal tambang duit hitam.

Pendek cerita, Polri sekarang ini menjadi beban rakyat. Bukan pelindung. Bukan pula pengayom.

Kasus Sambo membuat rakyat semakin jengkel melihat polisi. Boleh jadi rakyat menganggap semua polisi seperti Sambo.

Apa boleh buat. Tentulah masih banyak polisi yang baik, yang lurus.

Tapi, tidak bisa dibantah bahwa banyak sekali kasus tercela yang melibatkan anggota Polri.

Atas dasar inilah publik melihat semua polisi sama saja. Polisi yang baik-baik menjadi tak kelihatan. Prihatin!

Kembali ke Sambo, polisi berbintang dua ini menjerumuskan kepolisian ke jurang kehancuran.

Sambo mengakui bahwa dialah yang merencakan pembunuhan Brigadir Yoshua (Brigadir J). Ini berarti Sambo mengakui juga tindakan sadis terhadap korban.

Ketegaan Sambo ini besar kemungkinan terkait dengan pangkat dan posisinya. Pangkatnya jenderal, jabatannya Kadiv Propam. Pangkat tinggi, posisi super kuat.

Sambo merasa bisa berbuat apa saja tanpa hukuman. Dan merasa bisa mengatur skenario yang diinginkannya. Bawahan akan mengikuti perintah. Dan memang inilah yang menyebabkan begitu banyak bintang satu, Kombes, AKBP, Kompol, AKP, dan lainnya terseret bersama Sambo.

Sambo tak hanya menggunakan perintah hirarkis. Dia juga menjanjikan uang besar kepada orang-orang yang membantunya dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.

Jadi, pangkat tinggi dan uang banyak. Inilah yang diandalkan Sambo. Kombinasi yang sangat ‘powerful’: kekuasaan dan uang. Susah ditolak oleh bawahan. Sambo menyalahgunakan kekuasaannya. Plus duit besar.

Dari mana Sambo mendapatkan duit besar? Diduga kuat Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih, yang non-struktural, membukakan pintu duit besar itu. Banyak dugaan bahwa Sambo membangun jaringan masif mirip mafia, di tubuh Polri dengan berlindung di balik Satgas Percepatan Penanganan Kasus

Sampai di sini, kita menemukan tiga ramuan yang membuat Sambo dianggap super kuat. Dia dikatakan lebih kuat dari Kapolri sendiri. Ketiga ramuan itu adalah: pangkat jenderal, wewenang khusus (Satgassus), dan duit besar.

Dengan pangkat jenderal, Sambo mengepalai Satgassus. Dengan Satgassus, Sambo diduga mengumpulkan duit besar. Dengan duit besar, Sambo bisa melakukan apa saja.

Sebagai contoh, dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, Sambo menjanjikan uang besar kepada sejumlah pelaku. Bahkan, dia diyakini mencoba menyogok LPSK dengan amplop tebal. Tak mungkinlah uang receh diamplopkan untuk LPSK.

Sekarang, para pengamat dan publik menuntut reformasi total Polri. Tuntutan ini sangat tepat. Tepat alasan, tepat momennya.

Tetapi, bagaimana seharusnya reformasi total itu dilaksanakan?

Kalau kita serius ingin melenyapkan mafia di kepolisian, Mabes di dalam Mabes, abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), termasuklah Polri dibawa-bawa untuk kepentingan politik, dan lain sebagainya, maka ada dua tindakan drastis yang perlu dilakukan.

Pertama, hapus pangkat jenderal di kepolisian. Paling tinggi hanya pangkat Komisaris Besar (Kombes). Pangkat jenderal, secara psikologis, akan membuat polisi merasa kuat, bisa berbuat apa saja, mengatur apa saja, dan kebal hukum.

Kedua, hapus struktur kepolisian nasional. Cukup Polres atau Polwil saja yang dikepalai oleh seorang Kombes. Dengan begini, polisi tidak bisa disalahgunakan oleh para politisi, khususnya seorang capres.

Lebih kurang begini penjabarannya. Tidak ada lagi Mabes Polri dan Mapolda. Tidak ada lagi jalur komando dari Kapolri atau Kapolda sampai ke Kapolsek seperti sekarang. Yang ada hanya Mapolres atau Mapolwil.

Kapolres atau Kapolwil ditempatkan di bawah Bupati atau Wali Kota. Kapolres atau Kapolwil adalah polisi yang paling tinggi pangkat. Hanya kombes.

Tidak ada lagi perintah dari satu orang jenderal, baik itu Kapolri, Kabareskrim, Kadiv, dan jabatan nasional lainnya yang harus diikuti oleh 500.000 plus anggota Polri seperti sekarang ini. Jalur ini rawan penyalahgunaan kekuasaan.

Contoh, sekarang ini Direktorat Narkoba di Mabes Polri bisa turun ke wilayah Polsek ketika ada penangkapan narkoba dalam jumlah besar.

Di sinilah abuse of power bermula. Bandar besar narkoba yang tersangkut penangkapan seperti ini sangat mungkin akan dijadikan sumber duit oleh orang-orang Mabes yang mengambil alih atau mengawasi kasus ini.

Contoh lain adalah Satgassus yang akhirnya dimanfaatkan oleh Ferdy Sambo untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan dia bisa membangun jaringan mafia di tubuh Polri.

Dengan tidak adanya polisi berpangkat jederal, hanya Kombes yang tertinggi, dan wilayah kerja seluas kabupaten/kota atau gabungan beberapa kabupaten, maka seorang Kapolres atau Kapolwil tidak punya kekuatan untuk membentuk mafia. Seorang Kapolres tidak bisa mengandalkan pangkatnya untuk melindungi para bandar judi dan bandar narkoba.

Dia hanya menjadi bos di wilayah yang sangat kecil dengan jumlah anggota rata-rata di bawah seribu orang di satu Polres atau Polwil. Sebagian besar Kapolres atau Kapolwil tidak punya bandar besar narkoba dan perjudian di wilayah hukum mereka.

Terakhir, keuntungan lain yang didapat dari penghapusan Polri dan Polda adalah penghematan uang rakyat. Hitungan cepat menunjukkan peniadaan Mabes Polri dan 34 Mapolda akan menghemat duit sekitar Rp 13 triliun per tahun. Atau setara dengan 11% anggaran Polri 2022.

Ambil satu contoh, yaitu Mabes Polri. Di sini ada 27.000 personel yang bertugas. Sangat sulit dipahami untuk apa jumlah sebesar ini? Hanya membuang-buang uang rakyat.

Tapi, penghematan bukanlah tujuan utama reformasi total yang diusulkan ini. Urusan terbesarnya adalah mencegah kepolisian agar tidak menjadi ajang bagi para jenderal sok kuasa seperti Ferdy Sambo untuk berbuat sewenang-wenang yang akhirnya merugikan seluruh rakyat.

Jadi, mari kita bangun kepolisian yang “core business”-nya adalah pencegehan kriminalitas, penegak hukum, perlindungan untuk rakyat. Tidak perlu jenderal, tidak perlu Mabes dan Mapolda. Cukpup Polres atau Polwil.

Untuk kejahatan besar, penanganan terorisme, kejahatan lintas wilayah, dan aspek Interpol tentunya bisa diatur dalam UU baru tentang Kepolisian.[]

  • Penulis adalah jurnalis, pengamat sosial politik

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

Sudah ditampilkan semua