Guru Bukan Sebatas Menghabiskan Waktu Siswa

Keterangan Foto | Rifki Ismail, S.Ag, (Koordinator Kesiswaan di Min 28 Aceh Besar dan Anggota Komunitas Menulis Pematik).

Oleh: Rifki Ismail, S.Ag

banner 72x960

THEACEHPOST.COM | Dampak dari revolusi industry 4.0 ternyata turut mempengaruhi kebiasaan dan karakter siswa termasuk di Madrasah Ibtidaiyah. Peserta didik meskipun masih berusia belia terkadang lebih mahir dan paham tentang pengaplikasian teknologi khususnya yang berbasis digital dibanding kalangan dewasa.

Ini tentu menjadi tantangan besar bagi seorang pendidik terutama bagi mereka yang anti dengan perkembangan zaman. Kemajuan teknologi itu sendiri sebenarnya bersifat netral. Positif dan tidaknya tergantung pengguna, bukan imbas teknologi itu sendiri. Dalam implementasinya, banyak aplikasi terbaru yang justru memudahkan para guru untuk menerapkan model belajar-mengajar yang lebih efektif dan menarik.

Dalam menghadapi tantangan besar tersebut, guru dipandang perlu untuk melakukan sebuah pembaharuan. Baik itu pada sekolah tingkat dasar maupun menengah atas. Pembaharuan dalam sistem dan metode pengajaran juga dapat menjadi sebuah upaya menuju wujud seorang guru yang profesional di bidangnya. Seorang guru tidak cukup hanya memiliki ilmu untuk dirinya, dilain sisi ia juga harus paham kebutuhan siswa yang cenderung variatif dan unik.

Guru yang profesional bukan sebatas gelar dan pangkat yang dimilikinya, melainkan adalah seorang pendidik yang dapat menyesuaikan diri dengan berbagai karakter siswanya. Hal ini menjadi indikator agar guru dapat beradaptasi menciptakan pola pembelajaran yang efektif serta suasana belajar yang dapat diminati serta dirindukan kehadirannya oleh siswa. Pada konteks ini, guru yang harus memahami siswa bukan sebaliknya.

Menjadikan profesi guru sebagai sosok yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan peserta didik adalah sebuah pola pikir dasar yang wajib dimiliki. Lagi-lagi, siswa menjadi tolak ukur apakah guru dikatakan berhasil atau tidak dalam mendidik. Maka dari itu, mengajar di Madrasah Ibtidaiyah bukan hanya sebatas hubungan guru dan murid, melainkan juga perlu interaksi dan kerjasama antara guru dengan orangtua siswa demi perkembangan si anak. Sebab, tidak sedikit seorang siswa memiliki kepribadian ganda; lain di rumah dan lain di sekolah.

Guru adalah sosok figur sentral yang menjadi model berfikir peserta didik. Itu pula yang menyebabkan guru memiliki peran dan tanggung jawab dalam perkembangan siswanya. Dapat kita ketahui bersama, bahwa setiap orangtua pasti menitipkan harapan besar dan kepercayaan penuh terhadap madrasah agar anaknya menjadi sosok pribadi yang pintar, cerdas moral dan spritual serta berkarakter yang baik. Dalam mewujudkan harapan besar tersebut, tentunya guru wajib memiliki kemampuan yang ahli di bidangnya sesuai kaidah pedagogi dan ditaktik.

Sebagai penentu masa depan ditaktik atau pendidikan di Indonesia, guru diharuskan menjalankan pendidikan dengan penuh rasa cinta dan keihklasan. Sikap yang demikian dapat memberikan dorongan bagi guru agar terus berfikir kreatif dan inovatif dalam menciptakan hasil didikan yang hebat dan bermartabat.

Sebagai contoh, mewujudkan cita-cita siswa adalah salah satu jalan awal keberhasilan guru dalam menerjemahkan perannya sebagai seorang pendidik. Andaipun belum bisa mewujudkan, setidaknya siswa sudah mendapatkan target dan gambaran cita-citanya terkait akan jadi apa ia nantinya.

Ini penting, karena tidak sedikit (oknum) guru yang mengajar hanya sebatas menghabiskan waktu yang dibebankan. Efeknya tentu ia akan merasa bosan dan acuh tak acuh pada perkembangan siswa. Padahal, guru memiliki tanggung jawab agar waktu yang dijalani siswa selama di madrasah tidak sia-sia belaka.

Guru yang baik, bukan pula sebatas yang disenangi oleh siswanya. Kenyataan hari ini, siswa sendiri lebih menyukai guru yang humoris, bebas, dan tidak banyak memberi tugas belajar. Apalagi jika mereka menemui guru yang hobinya menjaga pintu masuk (agar tidak terlihat oleh oknum guru lainnya).

Sementara siswa bebas berbuat sesukanya di dalam kelas tanpa proses pembelajaran. Jika diambil voting, tentu guru yang demikian akan jauh diminati siswa. Padahal, itu sebuah penyimpangan dalam mendidik. Seharusnya siswa diberikan arahan bahwa belajar itu penting meskipun orientasi mereka lebih gemar bermain.

Dalam menerapkan metode mengajar yang efektif, setiap guru dapat mencontoh bagaiman pola pengajaran yang dilakukan Rasullullah Saw saat mengajarkan para sahabat. Ketika beliau mengajarkan Al-Quran, terlebih dahulu mencontohkan bacaan secara baik dan benar yang kemudian ditiru dan diikuti secara persis oleh para sahabat. Pola ini disebut dengan istilah talqin dan taklid, yang artinya guru mencontohkan dan siswa mengikutinya.

Metode tersebut tentunya sangat efektif bila diterapkan dalam dunia pendidikan kotemporer. Hal ini disebabkan dengan adanya pola ‘mencontoh’ tentunya semua guru diajak untuk memiliki kemampuan khusus (ahli dibidangnya) agar layak menjadi acuan siswa. Sebab, mengajar adalah amanah, tidak akan maksimal sebuah visi misi pendidikan apabila guru itu sendiri tidak memahami kemampuan yang baik pada dirinya.

Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya; “Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya: ‘Bagaimana maksud amanah disia-siakan?’ Nabi menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Al-Bukhari).

Peran Orangtua

Sebagaimana disinggung sebelumnya, guru yang baik adalah yang tidak sungkan berinteraksi dengan orangtua siswa. Meskipun ini merepotkan bagi segelintir kalangan, namun dengan bertukar cerita (tentang siswa) kepada orangtua murid, akan membuat keduanya saling memahami dan mengenal potensi peserta didik.

Ketika nilai si-anak anjlok atau PR nya tidak pernah dikerjakan, maka tidak ada salahnya guru membantu siswa dengan memberitahukan pihak orangtua melalui via SMS atau telepon. Kerjasama antara guru dan orangtua siswa pastinya sangat efektif dalam membentuk pribadi anak menjadi lebih baik.

Disamping itu, orangtua juga tidak boleh lepas tangan begitu saja dalam menyekolahkan anak. Realita hari ini, masih banyak orangtua siswa yang menganggap tugas mendidik adalah beban pihak madrasah semata. Padahal, durasi seorang anak itu secara kuantitas lebih banyak di rumah dibanding di sekolah. Maka butuh kerjasama dalam mendidik. Jika di sekolah merupakan tugas guru, maka saat siswa di rumah tugas itu ‘mau tidak mau’ harus diambil alih oleh orangtua siswa.

Pengalaman saya mengajar, terkadang ada orang tua yang ingin anaknya ‘disulap’ bukan dididik. Artinya, oknum tersebut menginginkan anaknya langsung pintar secara instan seperti mengucapkan; ‘sim salabin’. Padahal, mendidik tidak sesederhana itu. Butuh proses, kerja keras, kerja cerdas, serta kekompakan antara guru dan orangtua siswa.

Sebagai contoh, ketika guru mengajarkan hafalan Al-Quran di sekolah, maka siswa harus mendapat dukungan dari orangtua dengan sesering mungkin mengulangnnya di rumah. Orangtua harus sigap dan tanggap, bukan malah memberi gadget dan membiarkan anak lalai bermain game sepanjang waktu.

Rifki Ismail, S.Ag, Koordinator Kesiswaan di Min 28 Aceh Besar dan Anggota Komunitas Menulis Pematik

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *