GEN-A Gelar Webinar Nasional Lintas Ilmu
Theacehpost.com | BANDA ACEH – Masih dalam hiruk-pikuk Pekan Peduli Antimikroba Dunia (World Antibiotic Awareness Week/WAAW), Public Health Innovators (PHI) yang merupakan sub-unit Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A) mengadakan webinar berskala nasional yang diperuntukkan kepada tenaga kesehatan dan masyarakat umum dari seluruh Indonesia pada 6 Desember 2020.
Berkolaborasi dengan Asian Medical Students’ Association (AMSA) Unsyiah dan Center for Indonesian Medical Students’ Activities (CIMSA) FK Unsyiah ini bertemakan ‘Webinar Nasional One Health: Kolaborasi Multidisiplin dalam Mencegah Resistensi Antibiotik”.
Tema webinar ini didasari atas tingginya peningkatan kasus resistensi antibiotik. Pada tahun 2020, World Health Organization (WHO) telah mengemukakan Antimicrobial Resistance (AMR) sebagai salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan terbesar bagi masyarakat global yang dihadapi umat manusia.
Pengendalian AMR diusung oleh WHO dengan konsep One Health yang berarti bahwa berbagai sektor dan pemangku kebijakan yang terlibat dalam kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan, produksi pangan dan pakan, serta lingkungan, harus berkolaborasi dalam merancang dan melaksanakan program, kebijakan, perundang-undangan, dan penelitian untuk mencapai kesehatan yang lebih baik secara keseluruhan.
Kegiatan ini bertujuan untuk mendukung konsep tersebut melalui peningkatan kesadaran dan keilmuan akan resistensi antibiotik melalui penyampaian materi, diskusi, dan tanya jawab bersama tiga narasumber secara daring melalui Zoom Cloud Meetings.
Selain itu, topik pembahasan webinar juga menekankan kolaborasi antara tenaga medis, calon tenaga medis, serta masyarakat umum dalam pencegahan resistensi antibiotik. Jumlah peserta webinar ini adalah sebanyak 363 orang.
Rangkaian kegiatan diawali dengan penyampaian materi oleh dr Tristia Rinanda MSi. Ia merupakan staf pengajar bagian mikrobiologi FK Unsyiah dan mahasiswi program studi doktor Farmasi ITB.
Tristia menyatakan bahwa saat ini dunia sedang mengalami dual health threats yaitu pandemi Covid-19 dan pandemi AMR.
“Orang-orang yang rentan terhadap Covid-19, juga rentan terhadap AMR. Resistensi antibiotik sulit dikendalikan penyebarannya karena manusia bersifat mobile sehingga sangat berpotensi menjadi permasalahan dunia,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa, mekanisme resistensi antimikroba terbagi menjadi tiga jenis yaitu, resistensi intrinsik, resistensi dapatan dan resistensi adaptif.
Materi kedua diisi oleh drh Teuku Reza Ferasyi MSc PhD, yang merupakan dekan Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah dan Kepala CENTROVETS-OHCC Unsyiah.
Judul materi drh Reza yaitu “Resistensi Antibiotik dari Perspektif Kedokteran Hewan”. Ia menekankan bahwa resistensi antibiotik bukanlah penyakit, melainkan keadaan di mana bakteri mampu bertahan dari antibiotik tertentu atau antibiotik menjadi tidak ampuh lagi untuk membunuh bakteri tersebut.
“Potensi resistensi antibiotik dari hewan bisa berasal dari hewan peliharaan, hewan ternak/produksi, hewan akuatik, dan satwa liar. Ketika hewan sudah mengalami resistensi antibiotik maka maka gen resistensi dapat tersebar ke manusia melalui produk yang dihasilkan oleh hewan tersebut (daging, susu, telur), lingkungan (air), feses hewan, atau paparan langsung dari hewan ternak,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan jenis antibiotik yang dilarang pada hewan seperti Antibiotic Growth Promotor (AGP) dan colistin.
Materi terakhir dijelaskan dari sudut pandang farmasi yang disampaikan oleh Azizah Vonna MPharmSci MPharm Apt. Dia merupakan dosen Jurusan Farmasi FMIPA Unsyiah dan apoteker Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin.
“Untuk memulai terapi antibiotik, syarat pertamanya adalah adanya infeksi pada seseorang, kemudian diidentifikasi patogen penyebabnya, kemudian menentukan pilihan terapi antibiotik yang sesuai dengan saran dokter, tidak dibenarkan melakukan self-diagnosed, dan tahap selanjutnya adalah monitor respons dari terapi tersebut,” sebutnya.
Azizah juga menekankan bahwa cara mendapatkan antibiotik yang benar seharusnya melalui fasilitas kesehatan yang sesuai, seperti rumah sakit, apotek, bukan melalui toko obat atau pembelian online.
“Konsumsi antibiotik secara bebas akan menyebabkan antibiotik tidak efektif lagi, biaya rawatan bertambah tinggi karena antibiotik lini terakhir banyak yang tidak ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional, peningkatan masa rawatan di rumah sakit dan potensi risiko kematian,” kata Azizah.
Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A) merupakan LSM kepemudaan yang memiliki visi berupa, menjadi katalisator generasi emas yaitu anak-anak dan pemuda Aceh untuk terus megembangkan potensi diri. Penggiat GEN-A adalah mahasiswa berprestasi dan alumni dari perguruan tinggi di Aceh.
GEN-A menjadi wadah bagi pemuda-pemudi yang ingin aktif untuk mengusung pembelajaran pembangunan karakter khususnya bagi anak-anak Aceh. Salah satu bagian dari GEN-A adalah Public Health Innovators (PHI) yang bergerak khusus dalam isu kesehatan masyarakat. Kegiatan GEN-A mendatang dapat langsung dicek melalui media sosial instagram @gen.eduaceh dan @phi.gena.