Benarkah Musik Itu Haram, Ini Penjelasan Abuya Habibie Waly  

Abuya Habibie Waly saat menyampaikan Kajian aktual Tastafi dengan tema ‘Perdukunan dan Konser Musik Malapetakan Buat Nanggroe Aceh’ yang berlangsung di Kyriad Muraya Hotel, Banda Aceh, Kamis 15 September 2022. Pengajian tersebut juga diisi oleh pemateri lain seperti Prof Dr Syamsul Rizal, M Ag (Akademisi), Ayah H Muhammad Faisal (Anggota MPU), Tgk Amer Hamzah (Praktisi), dan Cut Nova Elita (Hypnoterapis). (Theacehpost.com/Ikbal Fanika)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Abuya Habibie Waly menyampaikan bahwa terdapat dua hukum dalam bermusik jika tinjau dari segi taarif atau defenisi musik itu sendiri. Dalam kondisi tertentu musik diperbolehkan asal tidak bertentangan dengan syariat islam dan bisa juga haram hukumnya.

banner 72x960

Hal itu disampaikan Abuya Habibie Waly dalam Kajian Aktual Tastafi dengan tema ‘Perdukunan dan Konser Musik, Malapetaka Buat Nanggroe Aceh’, yang berlangsung di Kyriad Muraya Hotel, Banda Aceh,  Kamis 15 September 2022.

Dalam kajiannya Abuya menyampaikan bahwa musik akan selalu menjadi khilafiah dikalangan ulama kontemporer, mungkin sampai hari kiamat dan akan terus menjadi perdebatan antara para ulama.

“Sebelum menilai sesuatu kita harus  melihat dulu taarif-nya (defenisi-red), karena untuk menyelesaikan suatu persoalan harus ada dasar ma’badi asyarah, atau dalam bahasa dayah disebut dengan sepupuh pertanyaan besar, dan salah satunya adalah taarif , kata Abuya Habibie.

“Beda defenisi beda pula hukumnya,” kata beliau.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (kbbi), diterangkan bahwa  musik adalah perpaduan suara, nada, yang dikomposisikan yang dibuat sedemikian rupa  sehingga menjadi irama.

“Setiap nada belum tentu disebut musik, setiap suara belum tentu musik, suara adalah suara dan nada adalah nada,” terang Putra Abuya Prof Muhibbuddin Waly ini.

Kemudian beliau  mengutip salah satu hadis Rasulullah, yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah.

Ketika Rasulullah  masuk ke Kota Madinah, ada seorang perempuan memukul rebana dan bernyanyi. Maka ketika nabi melewati perempuan tersebut maka perempuan tersebut melepaskan satu kalimat dengan syair, Ya Allah jadikanlah Muhammad  sebagai tetanggaku, kata perempuan dalam syair tersebut.

Mendengar perempuan itu bernyanyi dan memukul rebana, Rasulullah berkata “kalau engkau mencintai aku maka Allah lebih tahu bahwa aku mencintai dirimu,” kata Abuya sebagaimana hadis tersebut.

Dikatakan, Nabi tidak melarang perempuan tersebut melakukan puji-pujian kepadanya.

“Dari sini kita sudah dapat satu hukum, yakni langsung dari rasulullah,” kata Abuya Habibie yang juga penulis buku Tauhid Al-Waliyah.

Lebih rinci, beliau menjelaskan hadis riwayat Imam Al Bukhari, bahwa ada salah seorang sahabat perempuan mengundang Rasulullah dalam pesta perkawinannya.

Nabi datang, lalu duduk diatas tikar yang sudah disiapkan oleh sahabat perempuan itu. Kemudian hadir anak kecil perempuan memukul rebana dan bernyanyi dengan memuji Rasulullah, dengan syair “kami sudah beserta orang mulia, kami sudah bersama orang  mulia yaitu Muhammad.”

“Anak kecil ini memukul rebana, bernyanyi dan memuji Rasulullah dengan kalimat-kalimat puji-pujian, lalu nabi tidak melarangnya” kata beliau.

Lebih jauh, Abuya Habibie juga menerangkan hadis Imam Bukhari, bahwa Rasulullah  pernah didatangi oleh seseorang  budak perempuan. Kemudian budak itu berkata, “Ya rasulullah, saya bernazar kepadamu Ya Rasulullah, andai engkau pulang selamat dari medan perang Ya Rasulullah, saya bernazar ingin memukul rebana dan bernyayi memujimu.” Kemudian perempuan tersebut menanyakan, “boleh atau tidak Ya Rasulullah”. Beliau menjawab, “silahkan jika itu memang nazar mu,” kata Rasulullah.

“Dari ketiga hadis ini, sudah cukup bagi kita sebagai landasan bahwa musik itu ada yang dibolehkan dan ada yang tidak,” ungkap Abuya Habibie.

Tak hanya itu, seorang ulama Aceh sekaligus raja bernama Sultan Malikul Zahir bin Sultan Malikul Saleh menggunakan musik sebagai penyambut tamu kehormatan kerajaan.

Diceritakan, dalam rihlah Ibnu Batutah seorang penjelajah muslim yang terkenal karena petualangannya berkeliling dunia, beliau pernah singgah di Aceh.

Beliau datang pada hari Jumat.  Duduk  bersama Sultan Malikul Zahir bin Sultan Malikul Saleh, lalu Sultan mengundang seseorang untuk bersyair.

“Ini sudah dipraktekkan oleh nenek moyang kita dahulu,” kata Buya Habibie

Abuya Habibie berpandangan bahwa musik yang dibolehkan itu adalah melantunkan salawat kepada Rasulullah.

“Menyampaikan dakwah  seperti Sunan Kalijaga. Beliau datang ke Jawa karena tahu kalau orang Jawa tidak bisa bahasa arab dan orang Jawa sangat suka dengan musik maka dia pelajarilah gamelan,” kata Abuya.

Melalui gamelan Sunan Kali Jaga menyampaikan dakwah dengan musik, sehingga diterima oleh sebagian orang Jawa.

Kemudian Abuya Habibie melanjutkan bahwa musik juga bisa digunakan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat yang bermanfaat. Seperti kampanye sebuah program pemerintah, anjuran hidup bersih dan sehat,  sehingga pesan-pesan tersebut bisa tersampaikan dengan baik.

Kemudian Abuya Habibie menerangkan bahwa musik yang diharamkan dan menyesatkan adalah jenis musik yang harus dijauhi oleh umat islam. Dalam surat Lukman, dijelaskan bahwa ada sebagian orang  menggunakan kata-kata menyesatkan orang lain.

“Kalau menggunakan kata-kata menyesatkan, mengajarkan kepada cinta dunia, ini haram hukumnya. Seperti inilah yang disindir oleh Rasulullah,” terang beliau.

Lalu Abuya mempertanyakan tentang klaim bahwa musik bisa menjadi malapetaka buat nanggroe Aceh.

Dalam hal ini, Abuya Habibi merujuk pada fatwa Syeik Muhammad Abbas atau dikenal dengan Tgk Chik Kuta Karang. Dalam kitab beliau berjudul Tazkarah Arrakidin dijelaskan, pada masa itu kondisi Aceh sedang kacau, ulama saling bertengkar, sementara rakyat saling menyalahkan. Salah satu fatwa beliau adalah, apabila di Naggroe Aceh ini  sudah terjadi kemaksiatan yang tidak bisa diberhentikan atau dianggap biasa maka akan turun tiga azab.

“Azeub dimanyang (di langit), azeub dibumo, azeub dilaot,” kata Abuya

Beliau mendeskripsikan,  azeub dimayang, seperti hujan yang sudah tidak beraturan lagi, azeub dibumo tumbuh-tumbuhan sudah mulai menghilang, dan azeub dilaot, diibaratkan  Belanda (pada waktu itu-red) sudah mulai turun. Artinya ekonomi dan pendidikan kita hari ini dikuasai oleh orang asing.

“Kemudian jika ada yang bertanya apakah sudah terjadi malapetaka buat Nanggroe Aceh, jawabnnya adalah sudah. Namun kenapa kita tidak merasa, karena kita bukan orang yang beriman, karena kalau kita beriman segala sesuatu yang terjadi akan bisa kita rasakan. Kapan puncaknya, nanti ketika Aceh sudah mulai kacau balau,” terang Abuya.

Diakhir tausiyahnya  Abuya Habibie mengutip pesan seperti yang disampaikan Sultan Iskandar muda.

“Kalau Aceh sudah dipimpin oleh orang fasik  maka tunggulah masa kehancuran, musuh terbesar bangsa Aceh adalah ketika rakyatnya sudah bercerai-berai,” tutupnya.

Kajian aktual Tastafi dengan tema ‘Perdukunan dan Konser Musik Malapetakan Buat Nanggroe Aceh’ ini juga diisi oleh pemateri lainnya seperti Prof Dr Syamsul Rizal, M Ag (Akademisi), Ayah H Muhammad Faisal (Anggota MPU), Tgk Amer Hamzah (Praktisi), dan Cut Nova Elita (Hypnoterapis). Acara ini turut dihadiri para semiman Aceh, pelaku industri kreatif, praktisi, akademisi, santri, masyarakat umum serta para pejabat lainnya.[]

Baca juga: Persiraja Didenda Rp 25 Juta Karena Oknum Suporter Lempar Botol Saat Laga dengan Cimahi

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *