Fasisme Berbalut Paham Hakikat

waktu baca 4 menit
Tgk. Alwy Akbar Al Khalidi, SH., MH. (Foto: Dokpri).

Oleh: Tgk. Alwy Akbar Al Khalidi, SH., MH*

Fasisme adalah sikap yang terlalu nasionalistis, sebuah ideologi yang mengutamakan bangsa sendiri dibandingkan bangsa lain. Paham ini berawal dari filosofi radikal yang dikenal sebagai Sindikatisme yang muncul selama Revolusi Industri.

Unsur utama fasisme terdiri dari tujuh unsur: Pertama, ketidakpercayaan terhadap kapasitas akal. Kedua, mengingkari sifat manusia. Ketiga, kode etik yang berdasarkan kekerasan dan kebohongan. Keempat, kelompok elite yang memerintah. Kelima, totalitarianisme. Keenam, rasisme dan imperialisme. Ketujuh, fasisme memiliki unsur-unsur yang menentang hukum internasional dan tatanan internasional. Perekonomian fasis mempunyai ciri-ciri negara korporat.

Keyakinan luas bahwa “fasisme telah hilang” hanya memberikan dasar dan peluang bagi berkembangnya kelompok neo-fasis.
Menurut saya, Fasisme masih ada, meskipun dalam bentuk yang terselubung.

Faktanya, fasisme menikmati kebangkitan khusus pada tahun 1990an. Pada awal tahun 1933, Organisasi Indo-Fasis Belanda (NIFO) dibentuk di Batavia. Kelompok ini menargetkan organisasi fasis di Jerman dan mengaku sebagai bagian dari Organisasi Sosialis Nasional (NSB), yang didirikan oleh Musset dua tahun lalu.

banner 72x960

Sekilas, tidak ada hubungan antara fasisme sebagai ideologi dan agama sebagai keyakinan. Namun jika dicermati lebih jauh, kita melihat kesamaan dalam banyak hal, terutama dalam praktiknya.

Dikenal Islamofasisme seperti yang diistilahkan sejak tahun 1990-an, adalah istilah yang digunakan untuk membandingkan karakteristik ideologi fasisme Islam. Gerakan Islam tertentu dan berbagai gerakan fasis Eropa sebelum dan selama Perang Dunia II di Eropa (Darwis, 2022).

Agama bisa menjadi basis fasisme karena saat ini agama selalu menjadi topik publik yang diungkapkan melalui simbol-simbol di ruang publik. Saat ini, agama sudah menjadi identitas suatu kelompok ketimbang menjadi soal identitas individu pada umumnya.

Kemudian saat agama sudah dijadikan persoalan identitas yang eksklusif, maka agama akan kehilangan nilai-nilai spiritualitasnya. Dalam fasisme, yang penting bukan lagi perdebatan bebas tentang Tuhan, doa atau ibadah, tapi hanya mendengarkan ceramah-ceramah sang murabbi sambil menelan ajarannya secara utuh tanpa berpikir kritis.

Hal inilah yang terjadi di Indonesia, ketika benih-benih fasisme seperti kemiskinan parah, tingginya frustrasi terhadap demokrasi, tingginya eksklusivisme agama dan fanatisme agama sangat nyata di depan mata kita.

Jadi, fasisme sebenarnya ada di hadapan kita, dan itu adalah fasisme yang menyamar sebagai agama, yang selalu memberikan ancaman yang sangat nyata dan selalu ingin menghancurkan musuh-musuh “agama”-nya meski hanya khayalan belaka. Menganggap kelompoknya yang paling benar, sementara kelompok diluar mereka dianggap selalu berada dalam kebatilan.

Di Sumatera Bagian Utara termasuk di Provinsi Aceh kasus-kasus yang demikian banyak sekali terjadi. Sebagai salah satu contoh misalnya; Kelompok yang mengatasnamakan “Tauhid-Tasawuf” yang menggemborkan ajaran Hakikat “versi mereka”.
Yang harusnya kajian-kajian seperti itu lebih cocok di ranah privat, tapi malah digaungkan ke ruang publik sehingga banyak terjadi kegaduhan dan kebingungan ditengah masyarakat muslim.

Mereka yang mengatasnamakan Ajaran Tasawuf tapi nyatanya menciderai ajaran tasawuf, karena Tasawuf merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara membersihkan jiwa (Tazkiyatun Nafs) dari berbagai macam penyakit hati, dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji melalui metode mujahadah dan riyadhah. Sehingga, merasakan kedekatan dengan Allah (Taqarrub Ila Allah) dalam dirinya. Maka dengan itu seorang hamba atau sufi akan menjadi sosok pribadi yang berbudi luhur dan memiliki akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.

Bukan malah membanggakan kelompok sendiri, merasa paling berakhlak kamil, paling bertasawuf, paling ma’rifat, paling paham hakikat. Sangat sering kita melihat tulisan mereka yang menuding kelompok diluar mereka sebagai manusia cinta dunia, fasik, bodoh, tidak paham hakikat, dan lain sebagainya.

Tentu saja ini mengkhianati inti dari ajaran tasawuf itu sendiri. Tasawuf itu kaji diri, bukan mengkaji atau menuduh orang lain.

Jika dilihat secara kritis, kelompok-kelompok tersebut memiliki persamaan yang signifikan dengan Ideologi fasis, yang mana mereka menganggap dunia selalu dibayangkan dalam kondisi perang. Dunia dianggap penuh dengan musuh-musuh yang diciptakan oleh pikiran atau kelompoknya sendiri.

Bagi mereka yang berpikir fasis sosok musuh tidak selalu berbentuk nyata, dengan menciptakan “musuh imajiner” sudah cukup bagi mereka.

Hemat saya, kita tidak perlu mendudukkan persoalan secara jelas agar kita tidak merendahkan orang-orang yang masih mengamalkan syari’at. Karena itu bukan ukuran seseorang telah atau belum mencapai derajat hakikat atau makrifatullah.

Hal ini penting dijelaskan agar kita tidak suudzan atau bahkan merendahkan orang-orang yang mengamalkan syari’at atau mempelajari syari’at melalui kajian fiqih, ushul fiqih, tarikh tasyri, ta’lilul ahkam, dan disiplin ilmu syariat lainnya.

Karena Tarekat dan Hakikat bergantung pada pengamalan Syari’at. Keduanya takkan tegak dan ada hasil jika tanpa syari’at. Sekalipun derajat dan kedudukan seseorang sudah mencapai level yang sangat tinggi dan ia termasuk salah satu wali Allah, ibadah yang wajib sebagaimana diamanahkan dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak gugur darinya.(*)

*) Penulis adalah Wasekjen TASTAFI Sumatera Utara & Pengurus Ikatan Sarjana Alumni Dayah Aceh.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *