Fakta Wahabi dan Drama Bid’ah: Durian Runtuh yang Tak Disangka
THEACEHPOST.COM | Banda Aceh — Ironi terbesar hari ini adalah ketika kelompok yang selama ini dikenal paling vokal menolak segala bentuk seni peran, film, bahkan menyebutnya sebagai sarana bid’ah dan kesesatan, kini justru menjadi garda terdepan dalam mempromosikan sebuah drama.
Mengapa bisa demikian? Karena drama itu menghadirkan sesuatu yang selama ini mereka impikan: pelecehan simbolik terhadap ulama sufi dan tarekat.
Wahabi selama ini dikenal dengan sikap kerasnya terhadap tasawuf, tarekat, bahkan ulama-ulama pewaris ilmu ma’rifat. Mereka menolak rabithah, mencela tabarruk, menyebut muraqabah sebagai khayalan, dan mencap seluruh praktik spiritual warisan para wali sebagai bid’ah dhalalah. Tapi ketika semua itu digambarkan secara buruk dan dibungkus dalam drama modern yang menggugah emosi penonton, mereka seperti mendapat durian runtuh.
Drama yang memuat karakter “Walid” bukan hanya menjatuhkan pribadi, tetapi menyusupkan narasi jahat: bahwa jubah, serban, jenggot, dan dzikir adalah topeng kejahatan. Bahwa ritual-ritual spiritual sufi adalah dalih kemunafikan. Sungguh licik, sebab pesan ini disisipkan lewat jalan yang dulu mereka haramkan, kini mereka rayakan.
Yang lebih menyedihkan adalah pola propaganda yang dilakukan. Siapa pun yang mengkritik drama itu, baik dengan dalil ilmiah maupun dengan keprihatinan terhadap nasib umat dan marwah ulama, langsung dicap sebagai pelaku atau pembela tokoh fiktif “bejat” tersebut.
Sebuah penggiringan opini yang tidak fair, bahkan menjurus ke fitnah dan pembunuhan karakter. Banyak akun-akun anonim, bodong, palsu yang dengan brutal menyudutkan para pengkritik, padahal yang dikritik bukan substansi cerita, melainkan cara penggambaran ulama dan simbol-simbol Islam yang suci.
Kita harus cerdas membaca ini. Apakah mungkin mereka yang dulu haramkan drama kini begitu bergembira bukan karena nilai dakwahnya, tetapi karena adanya peluang menghantam musuh ideologis mereka lewat medium baru? Bukankah ini menunjukkan niat licik yang dibalut narasi kebenaran?
Saya tidak sedang membela pelaku kejahatan dalam cerita. Saya juga tidak buta terhadap praktik menyimpang, jika benar-benar terjadi. Tapi jangan jadikan film sebagai senjata untuk membunuh citra ulama, khususnya para sufi yang selama ini mengajarkan cinta, rindu, dan kehambaan yang sejati kepada Allah.
Semoga masyarakat tidak mudah terprovokasi. Semoga kita diberi kebijaksanaan untuk membedakan antara kritik objektif dan narasi terselubung yang berbahaya. Dan semoga ulama-ulama sufi tetap istiqamah, sebab sejarah membuktikan: fitnah tak akan meruntuhkan cahaya. Justru dari celah-celah fitnah itulah, keaslian nur para pewaris Nabi semakin bercahaya.
Oleh: Tgk. Umar Rafsanjani