Erdogan vs Macron: Dari Perang Suriah hingga Penghinaan Islam
Theacehpost.com | INDONESIA – Hubungan antara Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah berseteru sejak lama.
Eskalasi ketegangan terus meningkat signifikan seiring bentrokan kepentingan masing-masing negara.
Hubungan keduanya diketahui telah memanas terkait soal perang di Suriah dan Libya, kemudian juga soal perebutan gas alam di Mediterania.
Sekarang Erdogan mengutuk sumpah Macron yang menyatakan akan menegakkan nilai-nilai sekuler di negaranya sambil mendiskreditkan kaum Muslim.
Ketegangan Prancis-Turki baru-baru ini juga turut dibumbui dengan sejarah saling tuding kedua negara.
Pada 2001 Prancis menuding Turki. Paris membuat marah Ankara ketika secara resmi mengakui pembunuhan massal orang Armenia oleh Turki Ottoman selama Perang Dunia I.
Sejak itu, percikan pertikaian telah berlipat ganda, dengan kedua negara sering kali berada di sisi yang berseberangan dalam konflik internasional.
Pada Oktober 2019, kantor berita AFP mencatat Ankara memicu kemarahan Paris dengan mengambil sebidang tanah di dalam wilayah Suriah dari pasukan Kurdi.
Pasukan itu sendiri didukung negara-negara Barat yang ingin memerangi kelompok ISIS.
Di Libya, Ankara telah bertempur di pihak Pemerintah Kesepakatan Nasional Fayez al-Sarraj, yang diakui oleh PBB, melawan pasukan Khalifa Haftar, yang telah lama dicurigai didukung oleh Paris.
Prancis sekarang bersikeras bersikap netral dalam konflik tersebut. Negeri mode itu pun menyerukan diakhirinya campur tangan asing, tetapi menolak untuk mengizinkan Turki mendapatkan pijakan di Libya.
Pertempuran Prancis-Turki juga terjadi pada bidang sumber daya alam. Kedua negara berkonflik soal minyak bumi yang ada di laut Mediterania.
Di sana, Turki terlibat dalam operasi eksplorasi dan pengeboran di perairan yang diklaim oleh Siprus dan Yunani.
Macron pada bulan lalu mengatakan Eropa perlu “jelas dan tegas” dengan pemerintah Erdogan mengenai masalah Mediterania, mendorong Ankara untuk menggambarkan pemimpin Prancis itu “sombong”.
Selanjutnya baik Turki dan Prancis juga ikut berbeda haluan dalam konflik yang tengah terjadi di Nagorno-Karabakh. Armenia dan Azerbaijan adalah dua negara yang bertempur memperebutkan wilayah otonom itu.
Terkait perang di sana, Macron menuduh Turki mengerahkan militan Suriah untuk mendukung Azerbaijan, tapi dibantah.
Paling hangat dan terbaru, keduanya berselisih soal agama di mana Macron secara terbuka mendukung sekularitas di negaranya.
Meskipun Turki secara resmi adalah negara sekuler, Erdogan telah mengambil jubah sebagai pembela Islam pada saat Prancis bergulat dengan radikalisasi dan gelombang serangan teror.
Dia bereaksi dengan marah ketika Macron mengumumkan rencana bulan ini untuk melindungi nilai-nilai sekuler Prancis dari apa yang dia sebut “separatisme” Islam dan menggambarkan Islam sebagai agama dalam krisis.
Erdogan menggambarkan pernyataan pemimpin Prancis itu sebagai “provokasi terbuka”.
Ungkapan Erdogan itu diawali dengan peristiwa pemenggalan seorang guru di Prancis yang menggunakan karikatur Nabi Muhammad sebagai bahan ajar di kelas. Kejadian itu sontak menjadi heboh di Paris.
Warga Prancis turun ke jalan untuk melakukan aksi solidaritas. Protes menjalar dan membuat Macron bereaksi serta mengecam kejadian pembunuhan tersebut.
Namun kecaman dari Macron yang menyebut Islam sedang dalam krisis menimbulkan kecaman dari banyak pihak termasuk Erdogan.
Paris sendiri menuduh Turki tidak secara resmi mengutuk pemenggalan sang guru, Samuel Paty. Guru itu dipenggal pada 16 Oktober lalu karena menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada murid-muridnya dalam diskusi kelas tentang kebebasan berbicara.
Namun Ankara bersikeras pihaknya telah menyampaikan belasungkawa kepada duta besar Prancis atas peristiwa tersebut.