Entitas Kebudayaan Aceh Potensi Peningkatan Wisatawan ke Aceh

Mukhsin Rizal, S.Hum., M.Ag., M.Si

Oleh: Mukhsin Rizal, S.Hum., M.Ag., M.Si *

banner 72x960

Memulai tulisan ini, penulis coba mengurai sedikit tentang masyarakat Aceh sebagai suatu komunitas budaya yang jika dikelola dengan baik akan berpotensi baik bagi peningkatan pendapatan daerah dari sektor pariwisata.

Kebudayaan Aceh, beragam  dan menyimpan keunikan yang sangat universal untuk dinikmati oleh para wisatawan tentunya kemasannya haruslah mendapatkan nilai esensial dari kebudayaan itu sendiri.

Berbicara wisatawan, mereka berkunjung ke sebuah daerah untuk menikmati keindahan alam berikut pola hidup masyarakatnya serta fasilitas yang tersedia dan kebanyakan wisatawan menyukai keaslian dari sebuah daerah yang dikunjunginya.

Okey kita kembali kekeragaman kekayaan budaya Aceh, keragaman tersebut terlihat dari keragaman adat istiadat dan ragam bahasa, secara umum di Aceh terdapat sekitar 13 suku masyarakat dengan kehidupan budayanya tersendiri.

Beberapa unsur budaya yang paling menonjol diantaranya bahasa, cara hidup, seni, pakaian dan adat daerah itu sendiri. Dari sisi bahasa terdapat kurang lebih 13 bahasa daerah yang digunakan di Aceh  diantaranya bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, dan Nias. Perlu digaris bawahi bahwa semua bahasa daerah Aceh adalah bahasa Aceh.

Hal tersebut dilihat dari definisi bahasa daerah Aceh itu sendiri adalah sekumpulan bahasa daerah yang dipakai oleh masyarakat di Propinsi Aceh, apapun suku dan bahasanya adalah bagian dari bahasa daerah Aceh.

Agar kita dapat memahami esensi tulisan ini maka kita coba memahami arti budaya itu sendiri, yang merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang diwariskan dari generasi ke generasi.

Budaya itu sendiri terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

Sedangkan dalam lingkup definisi kebudayaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Ada hal yang mengakar yang ditanamkan oleh Sultan Iskandar Muda terkait adat, dimana lafaz tersebut sultan ucapkan saat akan mengeksekusi anak laki-lakinya.

Adapun kata-kata sultan tersebut adalah “matee aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita.” Ungkapan ini merupakan suatu pernyataan yang mempunyai nilai-nilai filosofis yang perlu direnungkan.

Kemudian ungkapan tersebut saat ini haruslah dijadikan sebagai wujud kesadaran masyarakat terhadap pentingnya adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.

Adat istiadat masyarakat Aceh merupakan bagian dari sisi budaya yang hidup dan berkembang di Aceh. Adat istiadat telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan sosial budaya di Aceh.

Dalam kehidupan sehari-hari, budaya Aceh lebih dikenal dengan sebutan adat Aceh. Keanekaragaman seni dan budaya menjadikan Aceh ini mempunyai daya tarik tersendiri.

Dalam seni sastra, Aceh memiliki kurang lebih  80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa Aceh, Jamèë, Tamiang, Gayo, Alas, Haloban, dan Kluet.

Bentuk sastra lainnya adalah puisi yang dikenal dengan hikayat, dan salah satu hikayat yang terkenal adalah Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil).

Selain itu ada juga seni tari Aceh yang juga mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan ciri-ciri khas yang antara lain misalkan tarian seudati, tarian saman, tarian ranup lampuan yang pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang bersifat ritual bukan tontonan, kombinasinya serasi antara tari, musik dan sastra, ditarikan secara massal dengan arena yang terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.

Selain itu masih banyak tarian Aceh lainnya yang memiliki nilai atau cerminan dari pola hidup masyarakat Aceh di antaranya rampak, rapai, dan rapai geleng.

Sehingga pemilik tari-tarian tersebut harus bergerak secara teratur secara swakelola oleh masyarakat untuk membangkitkannya agar nilai-nilai tersebut dan estetikanya dapat di nikmati oleh para penikmat seni.

Dalam hal seni rupa, Rumoh Aceh merupakan karya arsitektur yang dibakukan sesuai dengan tuntutan budaya waktu itu. Karya seni rupa lain adalah seni ukir yang berciri kaligrafi.

Senjata khas Aceh adalah rencong. Pembuatan rincong merupakan perpaduan kebudayaan antara mengolah besi (metalurgi) dengan seni penempaan dan bentuk. Adapun Jenis rencong yang paling terkenal adalah siwah.

Selain itu masyarakat  Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.

Dan ini jika terus dikembangkan melalui UMKM gampong maka akan bernilai ekonomi bagi masyarakat setempat

Setelah kita membaca beberapa kebudayaan Aceh berbentuk dan bernilai seni, masyarakat Aceh juga dikenal gemar berbagi makanan dengan nilai titian yang tinggi, sehingga para wisatawan yang berkunjung ke Aceh akan menemukan paling banyak tradisi kenduri atau ‘tradisi makan bersama’.

Kalau ditelusuri, tradisi khanduri tersebut tidak terlepas dari kebiasaan orang Aceh dulu yang suka berkenduri di sepanjang tahun. Dimana disetiap bulan ada saja peringatan yang harus dilakukan misalnya setiap bulan pertama dalam ‘kalender aceh’ disebut Buleun Asan Usen (Arab: Muharram) pada tanggal 10 Muharram ditandai dengan “Puasa Asyura” dan membuat bubur untuk berbuka puasa Asyura.

Bulan kedua disebut Sapa (Arab : Safar) yang dirayakan pada hari terakhir yang disebut Uroe Rabu Abeh dilaksanakan dengan kenduri juga atau kegiatan makan-makan bersama.

Bulan ketiga disebut Buleuen Molod (Arab : Rabiul Awal) yang diperingati sebagai hari malam kelahiran Nabi Muhammad Saw yang biasanya pada bulan tersebut orang Aceh mengeluarkan nasi bungkus daun pisang (Bu Kulah) dan lauk (Eungkot Punjot) ke Mesjid atau Meunasah dalam rangka kenduri memperingati kelahiran nabi besar Muhammad SAW.

Kemudian bulan keempat disebut Adoe Molod (Arab : Rabiul Akhir) pada bulan ini orang Aceh banyak yang melakukan kenduri Molod di kampung-kampung yang mengundang masyarakat kampung-kampung atau saudara dan tetangga di dalam kemukimannya untuk makan-makan di mesjid atau rumah-rumah mereka.

Bulan kelima disebut Molod Seuneuleuh (Arab : Jumadil Awal) bulan ini adalah bulan terakhir perayaan kenduri kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Bulan keenam disebut Buleuen Kanuri Boh Kaye (Arab: Jumadil Akhir) bulan ketujuh disebut Buleuen Kanuri Apam (Arab : Rajab); bulan kedelapan disebut Buleuen Kanduri Bu atau Bulan Kenduri Nasi (Arab: Syakban).

Bulan kesembilan disebut Buleuen Puasa, atau bulan Ramadhan, pada bulan ini  selama sebulan biasanya di masjid-mesjid sering dimasak kanji rumbi untuk berbuka, dan dalam rangka menyambut bulan puasa juga dilaksanakan makmeugang puasa.

Makmeugang puasa merupakan tradisi memasak daging menjelang bulan ramadan untuk dibawa ke rumah orang tua dan mertua.

Bulan kesepuluh disebut Uroe Raya (Arab: Idul Fitri) dalam menyambut hari ini juga dirayakan dengan membeli daging Makmeugang Uroe Raya dan membuat kue-kue tradisional, dan masakan lainnnya untuk dimakan dan untuk makanan jamuan bagi para tamu yang berkunjung

Setelahnya bulan kesebelas disebut Buleuen Meuapet (Arab: Zulkaidah) dalam bulan ini tidak banyak kegiatan perayaan atau pesta perkawinan dilakukan. Dan terakhir bulan keduabelas yang disebut dengan nama Buleuen Haji, biasanya pada bulan ini banyak pesta perkawinan dan saling mengunjungi serta melakukan peusijuek orang kembali dari beribadah haji.

Beberapa kebiasaan diatas menjadi sangat menarik jika disetiap kabupaten kota dengan struktur adatnya menghidupkan adat istiadat daerahnya secara menyeluruh dan diejewantahkan dalam bentuk formal atau seremonial melalui even-even gampong atau kabupaten/kota.

Jika ini dilakukan dan karakteristik kebudayaan Aceh kembali hidup dimasyarakat maka penulis sangat yakin bahwa akan banyak wisatawan berkunjung ke Aceh untuk belajar banyak tentang identitas orang Aceh.

Namun jika budaya tidak dilestarikan maka tunggu saatnya karakteristik sebuah daerah akan punah, jika kepunahan itu datang maka akan terjadi degradasi sosial dalam kelompok masyarakat  yang akan sangat memprihatinkan.

Hasilnya kehidupan sosial kemasyarakatan akan gersang dan tidak lagi memiliki nilai dari sisi identitas kebudayaan.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca untuk mengingatkan kita bersama bahwa budaya sebuah daerah harus dipertahankan/ dilestarikan sedangkan budaya daerah lain harus dipelajari dan dimengerti agar terjadi keseimbangan dalam menumbuhkan rasa saling menghargai antar anak bangsa.[]

* Penulis adalah Magister Sejarah Tamaddun Islam Paca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan KasubBag Non Pelayanan Dasar I pada Biro Keistimewaan Aceh dan Kesra Setda Aceh

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *