Drama Perjalanan Ulama dan Umara dalam Politik Aceh
Oleh: Yulizar Kasma, Pemerhati Sosial Masyarakat. Saat ini sedang menyelesaikan Program Doktoral di PPs USU
Bagi umat Islam, menghormati dan memuliakan ulama merupakan kewajiban, karena dalam Al-Qur’an ulama memiliki posisi dan kedudukan yang berbeda dari orang awam. Nabi Muhammad saw bahkan menyebutkan bahwa ulama adalah pewaris para nabi (HR Tirmidzi).
Namun, terdapat persoalan mendasar ketika membandingkan ulama pada masa lalu (salaf) dengan ulama kontemporer setelah Aceh bergabung dengan Indonesia. Perbedaan utama terletak pada lingkup ilmu yang dikuasai dan ketajaman analisis terhadap berbagai masalah.
Sebelum kemerdekaan, ulama tidak hanya memahami fiqih, hadist, dan Al-Qur’an, tetapi juga memiliki pengetahuan dalam bidang falak, kedokteran, fisika, dan bahkan politik. Pasca kemerdekaan, ulama di Aceh cenderung lebih “lugu” dalam menghadapi persoalan kebangsaan dengan pendekatan kritis. Berikut beberapa kasus yang menggambarkan hal ini:
**Kasus Tgk Muhammad Daud Beureueh**
Tgk Muhammad Daud Beureueh dikenal sebagai sosok yang prinsipil dan keras. Namun, keteguhan beliau melunak setelah mendengar kata “Wallahi Billahi” dari Soekarno, yang akhirnya membuatnya menyetujui integrasi Aceh ke dalam Indonesia. Keputusan ini berdampak pada tumpahnya darah beberapa tahun kemudian, termasuk tragedi tsunami.
Kasus Irwandi Yusuf
Di masa kepemimpinan Gubernur Irwandi Yusuf, terdapat tuduhan dari beberapa ulama bahwa Irwandi Yusuf mendukung pendirian gereja di Aceh. Padahal, kebijakan Irwandi Yusuf sebenarnya merespons SKB 3 Menteri tentang izin rumah ibadah yang mensyaratkan rekomendasi dari 90 warga dan regulasi ini berlaku secara nasional. Irwandi kemudian menambah syarat khusus untuk Aceh menjadi 150 orang. Informasi yang beredar di kalangan ulama kemungkinan terprovokasi oleh pihak tertentu, termasuk pejabat militer, yang menyebarkan informasi tidak lengkap.
Kasus Akmal El Hanif
Beberapa tahun lalu, masyarakat dikejutkan oleh penipuan yang dilakukan oleh Akmal El Hanif, seorang pengusaha di bidang periklanan, kuliner, dan travel. Kasus penipuan ini melibatkan travel umrah yang menelan banyak korban. Akmal menggunakan branding ulama dan menawarkan umrah gratis sebagai strategi pemasaran, namun akhirnya masyarakat menyadari penipuan ini.
Kasus Mualem dan Tu Sop
Saat ini, kasus yang melibatkan Mualem, Tu Sop, dan beberapa ulama terkait ketidakpuasan atas keputusan Mualem yang tidak memilih wakil dari kalangan ulama. Kekecewaan ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk menciptakan jarak antara ulama dan partai Aceh. Mualem berusaha menjalin jembatan politik antara Aceh dan Presiden terpilih, terutama dalam hal pembangunan Aceh yang kurang maksimal. Jika kekecewaan ini semakin diperuncing, yang dirugikan tidak hanya masyarakat Aceh, tetapi juga para ulama.
Oleh karena itu, ulama perlu membaca situasi secara menyeluruh dan mendukung koalisi antara Aceh dan pusat untuk memastikan pembangunan Aceh tidak terhambat. Perlu ada jawaban realistis mengenai peran ulama dalam politik dan apakah mereka hanya menjadi alat dalam persaingan politik atau memiliki arah lain. Kita harus melihat perkembangan lebih lanjut.