Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Soroti Sisi Lemah Pembelajaran Daring

Webinar Nasional “Diskriminasi Digital” yang dilaksanakan Himastra FISIP UIN Ar-Raniry, Selasa, 6 April 2021. (Dok. Himastra)

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Eva Mushoffa, M.H Sc., M.A mengkritik pemerintah yang menurutnya tidak memberikan petunjuk pelaksanaan (juklak) terkait pembelajaran daring sehingga memunculkan berbagai persoalan di lapangan.

banner 72x960

“Pemerintah hanya mengeluarkan imbauan saja. Akibatnya di Pulau Jawa sebanyak 30 persen pengajar tidak memakai kebijakan pembelajaran daring sedangkan di luar Jawa lebih dari 50 persen,” kata Eva yang menjadi salah seorang narasumber Webinar Nasional bertajuk “Diskriminasi Digital (Pembelajaran Daring Memberi Ruang Diskriminasi  bagi Masyarakat Miskin).

Webinar tersebut digelar Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara (Himastra) FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh Selasa, 6 April 2021, pukul 09.00 sampai 12.00 WIB via zoom.

Selein mengkritisi pewmerintah karena tidak adaya juklak tentang pembelajaran daring, Eva Mushoffa juga menjelaskan, pembelajaran daring dibagi dua yakni e-learning yaitu metode dengan pengajaran, pembelajaran, dan evaluasi. E-learning menggunakan teknologi sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran.

Berikutnya, kata Eva adalah learning using tecnologi, yaitu proses pembelajaran yang media utamanya menggunakan teknologi seperti di negara-negara maju. “Indonesia akan merujuk ke sistem pembelajaran seperti ini,” katanya.

Para penerima pengajaran yakni siswa maupun mahasiswa di Amerika menurun dalam hal kepuasan sehingga para orang tua harus menyediakan hal lain agar menunjang kemaksimalan pembelajaran anaknya yakni menyediakan/membayar tutor untuk membantu sang anak mendapatkan akses ilmu pengetahuan yang jauh lebih besar.

Eva melanjutkan, terkait pandemi Covid-19, dampaknya terhadap pendidikan di Indonesia, menurut data SMERU kemiskinan meningkat 4 persen dari tahun 2019 ke tahun 2020.

Penyelenggara proses belajar mengajar yakni guru/dosen dan mahasiswa terkena dampak di antaranya kuota yang kurang bahkan tidak memadai, SPP tetap harus dibayar walaupun sempat ada penurunan SPP akan tetapi tidak berkelanjutan, dan guru honorer kurang aktif dalam mengajar karena tidak diberi pelatihan.

Narasumber lainnya, Hj. Asmahan, S.Ag., M.H Sc. ASL., Ph.D (Wisyaiswara Kemenag Aceh) mengatakan, kebijakan pembelajaran daring di ruang lingkup Kemenag telah memberikan kuota gratis walaupun jumlahnya terbatas karena mengingat yang memakai kuota tersebut hampir di semua kalangan pendidikan dan cukup besar jumlahnya.

Kemenag juga melaksanakan kebijakan kolaborasi belajar tatap muka dan jarak jauh yang disebut dengan blended yakni pembagian shift dalam proses belajar mengajar.

Selain itu, lanjut Asmahan, Kemenag juga memberi wewenang kepada kepala sekolah untuk memutuskan apakah bisa diterapkan pembelajaran tatap muka ataupun tidak.

Aplikasi yang dipakai dalam proses pembelajaran daring juga disesuaikan dengan keadaan sekolah bagaimana yang lebih efektif.

Keringanan UKT juga diberlakukan oleh Kemenag mulai dari 10 persen hingga 100 persen kepada pihak yang terdampak besar Covid-19.

“Kendala yang didapat dari pembelajaran daring yakni tidak bisa memantau perilaku mahasiswa, mahasiswa kurang bahkan tidak interaktif,” kata Asmahan.

Narasumber berikutnya, Retno Sunu Astuti, M.Si. (Ka.Prodi S3 Administrasi Publik Undip) mengatakan, kebijakan pembelajaran daring di ruang lingkup Undip memberi beberapak pilihan kepada mahasiswa untuk memilih platform apa yang ingin digunakan, seperti Youtube (dipilih 1, 60%), e-mail (64,50%), WA 91,90%), Zoom (87,10%), Edmodo (75,80%), dan Google Classroom (98,40%).

Kendala yang didapat dari proses pembelajaran daring, menurut Retno, dari pihak dosen adalah sulit mengelola waktu dengan SKS yang besar, harus mengingat kuoata yang ada oleh penerima pengajaran terbatas akan tetapi harus bisa memastikan bahwa mahsiswa mendapatkan ilmu dengan sempurna.

Kurang tangkas dalam memakai gawai yang tersedia karena faktor umur dan faktor kurang familiar sebelumnya.

Sedangkan dari pihak mahasiswa adalah sulit konsentrasi, kurang diskusi, jenuh dengan tugas, akses jaringan sulit, dan kuota tertabas.

Terakhir, Eka Januar, M.Soc., Sc. (Ka.prodi Administrasi Negara UIN Ar-Raniry) dalam paparannya mengatakan, kendala pembelajaran daring yakni listrik yang tidak stabil khususnya di Aceh dan di wilayah tertentu yang keurangan akses listrik sehingga media elektronik tidak bisa bekerja dengan baik.

Selain itu, jaringan internet yang kurang bahkan tidak memadai sampai mahasiswa yang menjadi korban. Sulit memahami materi karena tidak tatap muka, dan kuota yang diberikan oleh pemerintah tidak digunakan dengan baik dan benar. []

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *