Denyut Seni Teater di Tanah Rencong
Theacehpost.com | BANDA ACEH – Semenjak memasuki masa pandemi seluruh kegiatan dibatasi, ruang lingkup yang tadinya meluas mengalami penyempitan yang drastis.
Meskipun berbagai macam kegiatan terbatas, namun kreativitas para seniman dan budayawan di Aceh tak terkikis.
Seniman Teater Aceh, T. Zulfajri, membandingkan aktivitas seni teater di tengah pandemi dengan sebelumnya. Kata dia, seni teater di Aceh masih terus digalakkan.
“Di tengah pandemi seni teater tidak goyah, karena difasilitasi oleh pemerintah. Persentase pertunjukannya tidak jauh berbeda dengan sebelum pandemi,” kata Zulfajri kepada Theacehpost.com di Banda Aceh, Sabtu, 11 Desember 2021.
Pria yang akrab disapa Tejo ini menjelaskan, peran pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan Pariwisata sangat membantu para seniman teater di tengah pandemi Covid-19.
“Saat Pandemi begini, para seniman teater tetap tampil. Berbeda dengan sebelum pandemi, jika dulu pertunjukan banyak atas inisitif senimannya sementara sekarang difasilitasi oleh pemerintah, baik secara tempat maupun anggaran. Palingan, setahun tidak lebih dari lima pertunjukan di Aceh yang betul-betul berproduksi secara serius. Kalo terselip di program-program lain, banyak,” kata Tejo.
Seniman teater Aceh saat ini lebih banyak tampil secara virtual. Mereka juga harus beradaptasi dengan adaptasi kebiasaan baru.
“Adaptasi sekarang lebih ke virtual, kalo dulu hadir langsung. Perbedaannya? Pastinya ada kenikmatan yang berbeda ketika datang langsung, daripada virtual. Mungkin karena sudah terbiasa ya. Kalau nonton langsung ada rasa deg-degan, ada hal-hal yang bikin penasaran dan itu baru tuntas ketika kita menyaksikan langsung,” ungkapnya.
Adaptasi
Menurut Tejo, perkembangan seni teater Aceh masih terus berjalan seiring perkembangan teknologi.
“Saat ini, pelaku seni teater juga mengikuti perkembangan teknologi. Semakin lama, banyak tawaran media baru, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi media digital. Mau tidak mau, kita harus mengikuti itu,” jelas pria lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut.
Ia menuturkan, pertunjukan teater dengan konsep modern seyogiaya juga wajib dijajaki oleh para seniman teater di Tanah Rencong.
“Perkembangan teater di Aceh kini lebih ke konsep modern. Sedikitnya, mereka pasti mamadukannya dengan kecanggihan sekarang, seperti dengan menggunakan teknik lighting (pencahayaan) atau multimedia. Oleh karena itu, seniman teater tradisional sebisa mungkin beradatasi dengan konsep pertunjukan modern, bagaimana mengemas seni tradisi dengan konsep modern, ini bagian dari upaya untuk menghidupkan terus kesenian tradisi di zaman serba canggih ini,” sebutnya.
Ia memprediksi, kebutuhan pelakon ke depan akan semakin banyak dibutuhkan seiring majunya industri film di tanah air.
“Secara tidak langsung mereka membutuhkan aktor, maka orang-orang teaterlah tempat yang dituju. Misal, ketika kawan-kawan film kerepotan mencari aktor perempuan, jadi mereka mencari ke teman-teman teater,” ungkap sutradara teater, Tejo.
Fasilitas
Secara fasilitas, kata Tejo, ruang apresiasi seni pertunjukan teater di Banda Aceh cukup memadai. Salah satunya Taman Budaya di Kota Banda Aceh. Setiap tahun, fasilitasnya terus diperbaharui oleh pemerintah.
“Panggung pertunjukan di Taman Budaya memadai. Kemudian di Gedung RRI juga, representatif untuk pertunjukan seni. Di Gedung Sultan Selim bisa juga, tapi secara fasilitas kurang karena panggungnya kecil, namun bisa dijadikan alternatif. Selebihnya, pentas teater banyak berada di kampus-kampus,” ujarnya.
Denyut teater
Tejo meyakini seni teater di Aceh tak akan pernah mati. Pasalnya regenerasi teater di kampus-kampus masih terus eksis.
“Seni teater Aceh tidak mati, terus berdenyut, hanya masalah produktivitas saja yang kurang. Beberapa komunitas, terutama di kampus, setiap tahun ada regenerasi. Sejauh ini teater lebih produktif di kampus,” kata Tejo.
Alasan lainnya, kata dia, seni teater di Aceh juga memiliki penikmat tersendiri. Para penonton biasanya ada yang tertarik dengan jenis teaternya, nama besar grup, atau tema pertunjukannya.
“Misalnya, penikmat teater dari Komunitas Rongsokan. Mereka mengandalkan tema pertunjukan dengan mengadopsi teater modern dan melibatkan multimedia. Lalu ada grup Teater Kosong binaan Ampon Yan, yang konsen dengan teater komedinya,” imbuh salah satu penggagas asosiasi Seramoe Teater Aceh (STA) itu.
Perlu banyak festival
Tejo mengatakan, pagelaran teater bersifat kompetisi atau ekshibisi kolektif masih minim terselenggara di Aceh. Padahal, dengan adanya kegiatan tersebut menjadi motivasi bagi seniman teater untuk terus berlatih.
“Saya rasa ini penting sekali, sebagai perhatian pemerintah dalam hal ini dinas kebudayaan untuk memberi rangsangan terhadap pelaku teater di Aceh supaya terus bergeliat. Bukan mustahil seniman teater hebat akan lahir dari festival nanti,” katanya.
Sebenarnya, lanjut Tejo, banyak momentum atau agenda nasional bahkan internasional yang dapat diikuti para seniman teater di Aceh. Namun, peluang-peluang tersebut kerap sirna akibat minimnya informasi.
“Sayangnya kita kurang memiliki akses untuk medapatkan informasi perihal ajang-ajang tersebut,” ucapnya.
Butuh kritikus teater
Tejo menyampaikan, Aceh butuh sosok kritikus di bidang seni teater. Hal itu bertujuan agar ekosistem seni teater semakin baik dan elemen-elemen keseniannya juga terberdayakan.
“Kita sangat membutuhkan sebenarnya penulis-penulis yang konsen di bidang seni atau kritikus teater, sebagai daya pacu ke depan. Kita butuh sosok kritikus teater di Aceh, kalau tidak, kita akan terlena seakan tidak ada masalah,” pungkas Tejo, yang juga pengajar di Program Studi (Prodi) Seni, Drama, Tari, dan Musik (Sendratasik) Fakultas Keguruan dan Imu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (USK). []