Dendang Musik Etnik Aceh
Theacehpost.com | BANDA ACEH – Indonesia dengan perbedaan ragam tradisi dari Sabang hingga Merauke telah melahirkan bermacam-macam budaya. Terutama, musik etnik yang menjadi kekayaan dari setiap masyarakatnya.
Musik etnik Indonesia memiliki potensi yang besar sebagai kekayaan budaya Indonesia. Selain jumlahnya yang sangat banyak, budaya tradisi ini telah mengharumkan nama Indonesia ke pentas dunia.
Kendati demikian, kelompok musik etnik di Indonesia memang tidak banyak jumlahnya. Terlebih, kelompok-kelompok musik tersebut umumnya memiliki sedikit basis penggemar, bila dibandingkan dengan kelompok musik populer yang ada di kota-kota besar di Indonesia.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju serta mulai banyaknya budaya dari luar yang masuk ke tiap-tiap daerah, menjadikan tantangan tersendiri bagi kesenian tradisional musik etnik.
Tantanganya adalah, ketika masyarakat akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan mereka akan hiburan yang bisa diakses menggunakan teknologi media digital.
Berbeda dengan zaman dahulu ketika perkembangan teknologi belum maju seperti sekarang ini. Untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan, mereka harus keluar rumah dengan menonton langsung pertunjukan yang dipentaskan, salah satunya adalah menonton kesenian musik etnik saat ada pementasan.
Industri musik etnik Aceh
Praktisi Musik Aceh, Mahrisal Rubi menilai industri musik etnik di Aceh kurang peminatnya. Pasalnya, para generasi saat ini lebih banyak memilih musik-musik berirama pop melayu, slow rock melayu dan pop.
“Banyak para musisi di Aceh cenderung menggarap industri musiknya mengarah ke penikmat musik di era sekarang,” kata Mahrisal Rubi kepada Theacehpost.com, Minggu, 12 Desember 2021.
Meskipun demikian, dendang musik etnik di Tanah Air tak pernah padam. Sejumlah musisi muda saat ini berhasil memikat publik dengan karya-karya spektakulernya.
“Orang-orang sekarang terbuka matanya melihat musik kesenian tradisi, ternyata keren juga, seperti mahakarya dari musisi muda, Eka Gustiwana dan Alffy Rev, yang mengkreasikan musik etnik dengan musik modern,” ucapnya.
Di sisi lain, lagu Aceh berjudul ‘Kuthidieng’ yang dibawakan Liza Aulia kini kembali populer dan viral di media sosial. Padahal, lagu garapan musisi Aceh itu dirilis pada 2009 silam.
“Berarti secara nasional, disimpulkan, musik tradisi yang digabungkan dengan musik modern lagi populis,” kata produser musik tersebut.
Teranyar, keluarnya single ‘Jaga Tuboh’ karya Husni Al Muna juga menyedot perhatian publik dan diterima banyak kalangan. Sejak dipublikasi melalui kanal YouTube pada 30 Agustus 2021 lalu, lagu daerah bernuansa islami saat ini mulai digandrungi lagi.
“Secara tidak langsung, ada kerinduan masyarakat Aceh untuk mendengarkan kembali lagu-lagu etnik Aceh bernuansa islami yang dikolaborasikan dengan musik modern,” imbuhnya.
Grup musik etnik
Mahrisal menuturkan, grup musik etnik di Aceh terbagi dua, yakni musik asli tradisional dan modern atau sudah dikreasikan dengan mengikuti perkembangan zaman.
Ia mencontohkan, grup musik seperti Kande, Tangke Band, Cupa Band, Komunitas Saleum, dan penyanyi Liza Aulia melalui tembang lagunya ‘Kuthidieng’, merupakan penganut musik etnik modern. Sedangkan grup musik tradisional salah satunya yaitu Rapai Uroh dari wilayah Pasee.
“Intinya musik tradisi itu adalah sebuah musik yang berasal dari kearifan lokal yang belum terkontaminasi dengan musik modern,” jelasnya.
“Musik etnik itu mengandung syair/lirik nasihat, membawa seni tradisi dan pesan keagamaan, mencintai budaya dan ikatan sosial, serta sejarah,” kata Mahrisal menambahkan.
Pernah populer
Musik etnik Aceh pernah populer di era 2000-2015. Kala itu, perkembangan musik etnik sangat disukai masyarakat ‘Serambi Mekkah’.
Menurut Mahrisal, motor penggerak musik etnik Aceh saat itu pada album Nyawoeng, Kande, Said Jaya, Liza Aulia, Bijeh, Cupa, Saleum, Imum Jhon, dan Tangke Band di era terkahir.
“Masa itu diuntungkan karena pangsa lokal atau penikmat industri musik di Aceh sangat tinggi, media jualnya dalam bentuk kaset dan CD audio dan VCD,” sebutnya.
“Kemudian di awal-awal terbentuk di era itu, irama musik etnik digemari masyarakat Aceh karena ada keterikatan atau kecintaan yang berlebih terhadap lagu-lagu Aceh yang bernuansa tradisi pasca-konflik,” ungkapnya.
Menghidupkan pentas seni
Menurut Mahrisal, untuk menggairahkan kembali musik etnik di Tanah Rencong, yang harus dilakukan salah satunya adalah menghidupkan pentas-pentas seni untuk para musisi.
“Di masa pandemi ini tidak banyak pentas seni. Sebenarnya pemerintah sudah mulai menggalakkannya, melalui pagelaran secara virtual. Mungkin ini bisa diperbanyak, guna menjaga eksistensinya,” pinta Mahrisal.
Ia juga menyarankan kepada para musisi etnik untuk lebih berani masuk ke ranah industri musik digital, seperti via YouTube, Spotify, iTunes, dan media digital lainnya.
“Musisi Aceh sekarang sudah mengarah ke industri musik digital. Tapi umumnya, grup musik etnik modern di Aceh masih tampil di pentas. Intinya, yang perlu ditekankan adalah terkait pemahaman, paham terhadap musik tradisi itu sendiri dan memahami cara mengkomposisi lagunya, sehingga perpaduan musik tradisi dan modern bisa lebih harmoni,” pungkasnya.
Terus berkarya
Vokalis Tangke Band, Subur Dani menilai industri musik Aceh sekarang sudah sangat berubah dibandingkan satu dekade yang lalu.
“Kalau dulu, sekitar 10 tahun lalu, saat saya (Tangke) menggarap album pertama, output-nya yang ingin dicapai tetap penjualan VCD. Ada 3 tahap yang kita lalui, komposisi, lalu recording, dan pembuatan video klip. Ini tiga tahapan wajib yang harus dilalui musisi profesional,” kata Subur di Banda Aceh, Senin, 13 Desember 2021.
Tak hanya sampai di situ, lanjut Subur, untuk mengeluarkan karya di tahun itu, Tangke harus punya 10 lagu atau minimal 8 lagu untuk membuat album.
“Nah, setelah itu baru kita mikir lagi soal marketing-nya, dijual ke mana? Pasarnya seperti apa. Beruntung, jika ada label yang mau kerja sama atau mau beli karya kita. Jika tidak, semuanya kita atur sendiri,” ucapnya.
Seiring perkembangan zaman, industri musik saat ini cenderung lebih mudah. Grup musik sekarang tak perlu lagi bersusah payah untuk memasarkan karya-karyanya.
“Kalau sekarang kan beda ya, sekarang (industri musik) dipermudah dengan internet dan teknologi digital. Punya satu lagu aja, langsung recording lalu buat video klip, kemudian unggah di YouTube atau ke digital musik platform. Kalau lagunya diterima masyarakat, viral, pasti akan langsung ada hasil. Dan sekarang tidak harus satu album, satu lagu bisa, dua lagu juga bisa,” ujar Subur.
Walaupun demikian, menurutnya, industri musik Aceh tak hanya soal marketing, tapi juga dilihat dari sisi performance (penampilan). Baginya, hal itu bisa didapat jika mahakarnya disukai masyarakat.
“Jadi hukumnya yang paling penting, tetap terus berkarya tanpa mengharap sesuatu yang lebih. Tugas kita berkarya saja, soal diterima atau tidak, itu tugasnya pendengar,” ucapnya.
Dituntut kreatif
Pandemi ini menuntut grup musik etnik Tangke lebih kreatif. Bagi Tangke, pandemi adalah tantangan.
“Di tengah keterbatasan karena aturan yang diberlakukan pemerintah untuk mencegah penularan Covid-19, kita harus tetap aktif melahirkan karya. Alhamdulillah, selama pandemi ini, pelaku entertaint di Aceh juga aktif menggelar acara secara daring atau virtual. Alhamdulillah ada beberapa event yang kita diikutsertakan di dalamnya, jadi kita masih bisa tetap aktif berkarya,” kata Subur.
Selain itu, pihaknya juga memanfaatkan sosial media dan platform musik digital.
“Sejak pandemi kita sudah mengekuarkan enam single, hampir satu album. Semuanya kita unggah di YouTube dan digital musik platform. Intinya pandemi menuntut kita tetap aktif berkarya,” sebutnya.
Tetap konsisten
Pentolan Tangke Band itu berharap, musik etnik dapat beriringan dengan genre musik lainnya yang berkembang di Aceh. Bukan hanya musik, tapi juga segmen kreatif lainnya.
“Kita sama-sama membuat Aceh tetap positif dengan karya-karya. Kalau kami (Tangke) saat ini masih terus konsisten dalam musik etnik. Kita ingin terus memperkuat dan mempertahankan musik tradisi di Aceh dengan kolaborasi musik modern,” pungkasnya. []