Demo Tolak UU Ciptaker Berlanjut, Massa Minta DPRA Sesuaikan dengan Qanun Aceh
Theacehpost.com | BANDA ACEH – Puluhan pemuda dari berbagai organisasi melakukan aksi unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Kota Banda Aceh, pada Jumat, 9 Oktober 2020.
Aksi gabungan dari HMI, PMII, IMM, KAMMI, Al Washliyah, LMND, dan PII, ini masih mengangkut isu menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang beberapa waktu lalu disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Kemarin, aksi serupa juga dilakukan oleh sejumlah organisasi mahasiswa di kantor legislatif tersebut.
Dalam aksinya, mereka menilai bahwa DPR RI dan Pemerintah Pusat telah memfasilitasi kepentingan ekonomi monopoli dan oligarki yang dilegalkan dalam UU Cipta Karya dengan dalil mendorong pemulihan ekonomi nasional dan membawa Indonesia memasuki era baru pereknomian global untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan.
Koordinator Aksi, Agus Ismansyah mengatakan, proses pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak partisipatif dan terkesan ekskllusif, sebab pembuatannya tidak melibatkan para pekerja untuk menyerap aspirasi.
Proses pembuatannya undang-undang tersebut melanggar dianggap prinsip kedaulatan rakyat dan tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, dan tidak mencerminkan asas keterbukaan sesuai Pasal 5 UU Nomor 12 tahun 2020 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Terlebih, pembentukan dan pengesahannya dilakukan di tengah pandemik Covid-19,” kata Agus.
UU Cipta Kerja dinilai tidak menjamin kepastian hukum dan menjauhkan dari cita-cita reformasi regulasi. Omnibus Law yang lahir dari dalih penuhnya regulasi, dikhawatirkan akan memakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut peraturan pemerintah.
Tak hanya itu, UU Cipta Kerja akan memperkecil kemungkinan pekerja Indonesia untuk bekerja, karena menghapus kewajiban tenaga kerja asing untuk menaati ketentuan mengenai jabatan dan kompetensi.
Melihat ihwal dampak permasalahan yang akan ditimbulkan kepada rakyat dari disahkannya UU Cipta Kerja, Agus meminta DPRA untuk mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden Republik Indonesia dan juga Pemerintah Aceh.
Dalam konteks Aceh, DPRA juga diminta untuk memahami kembali Omnibus Law dan menyesuaikannya dengan regulasi yang telah ada di Aceh, yakni Qanun Nomor 7 tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan.
“Meminta dan mendesak DPRA untuk melakukan judicial review terkait Omnibus Law,” tegas Agus.
Aksi dari sejumlah organisasi kepemudaan ini, disambut tiga anggota DPRA, Fuadri dari Partai Amanat Nasional, Darwati A Gani dari Partai Nasional Aceh, dan Zainal A dari Partai Keadilan Sejahtera.
Penulis: Mhd. Saifullah