Deklarasi Aceh: Langkah Global untuk Kesiapsiagaan Tsunami Berkelanjutan

Konferensi pers usai Closing Ceremony kegiatan 2nd Global Tsunami Symposium di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Kamis (14/11/2024). [Foto: The Aceh Post/Marnida Ningsih]

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Sebagai bagian dari peringatan 20 tahun tsunami Samudra Hindia, anggota Komite Saintifik Program Tsunami Dekade Kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Harkunti Pertiwi Rahayu, mengumumkan Deklarasi Aceh, yang menjadi hasil dari pertemuan intensif selama empat hari ini.

banner 72x960

Deklarasi ini mengusung tema ‘Global Tsunami Warning and Mitigation: Building Sustainability for the Next Decade through Transformation and Innovation’ (Peringatan dan Mitigasi Tsunami Global: Membangun Keberlanjutan untuk Dekade Selanjutnya melalui Transformasi dan Inovasi).

“Kita mengusulkan adanya pendekatan berkelanjutan untuk dekade berikutnya, melalui transformasi dan inovasi agar kesiapsiagaan menghadapi tsunami tetap terjaga dan berkembang,” ungkap Harkunti, usai Closing Ceremony 2nd Global Tsunami Symposium di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Kamis (14/11/2024).

Program ini, kata dia, akan mengevaluasi kesiapsiagaan tsunami setiap sepuluh tahun dan mendorong inovasi dalam berbagai aspek mitigasi. Salah satu isu penting yang diangkat dalam Deklarasi Aceh adalah potensi gempa megathrust, yang berpotensi memicu tsunami besar.

Harkunti menjelaskan bahwa pengalaman dari gempa dan tsunami besar di Sikoku, Jepang, menunjukkan perlunya kesiapan maksimal.

“Teman-teman dari Jepang menunjukkan kesiapsiagaan mereka terhadap bencana serupa melalui upaya mitigasi dan latihan yang berkesinambungan. Ketika bencana terjadi, kesiapan ini benar-benar diuji dan terbukti sangat diperlukan,” jelasnya.

Isu megathrust, yang diangkat oleh BMKG melalui Ibu Dwikorita Karnawati, lanjutnya, juga diingatkan sebagai isu penting bagi Indonesia.

“Orang seringkali lupa akan ancaman bencana ini, bahkan pembangunan di kawasan pesisir mulai kembali seperti biasa, tanpa memperhatikan risiko bencana. Ini yang perlu kita ubah, terutama dengan memperhatikan kode bangunan dan fasilitas kritis,” tambah Harkunti.

Ia mencontohkan keberhasilan Banda Aceh dalam menerapkan program Tsunami Ready yang menyediakan jalur evakuasi serta latihan kesiapsiagaan. Ia berharap bahwa program seperti ini tidak hanya diterapkan di tingkat desa, tetapi juga di kecamatan hingga kota, sehingga tercipta “kota tangguh” yang mampu menanggung beban kesiapsiagaan lebih luas.

“Ini akan jadi PR kita untuk 10 tahun ke depan, bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk kawasan di empat samudra lainnya,” ujarnya.

Sementara, Deputi Bidang Geofisika di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Nelly Florida Riama, menambahkan bahwa peringatan ini menjadi momen refleksi untuk belajar dari bencana besar yang terjadi dua dekade lalu dan untuk mempersiapkan langkah-langkah yang lebih baik ke depan.

“Dan tentunya kita mempersiapkan diri dari hasil pelajaran tersebut untuk menghadapi masa depan. Langkah-langkah apa yang harus dilakukan sekarang sangat berbeda dengan 20 tahun yang lalu,” ujar Nelly.

Ia menambahkan bahwa Indonesia kini berada dalam posisi yang jauh lebih baik dalam hal kesiapsiagaan tsunami dibandingkan tahun 2004, ketika sistem peringatan dini tsunami belum tersedia.

“Dulu, kita tidak memiliki sistem peringatan dini tsunami. Namun, sejak 2008, kita mulai membangun sistem tersebut, dan sekarang alat-alatnya semakin lengkap. Kesiapsiagaan kita terus meningkat, dan ini adalah hal yang sangat penting,” jelas Nelly. (Ningsih)

Baca berita The Aceh Post lainnya di Google News dan saluran WhatsApp

Komentar Facebook