Deforestasi dan Kerusakan Lingkungan Mulai Berdampak pada Perubahan Iklim di Aceh
Theacehpost.com | BANDA ACEH – Sepanjang 2017-2021 Provinsi Aceh kehilangan tutupan seluas 71.552 hektare. Degradasi hutan akan berdampak terhadap potensi bencana alam dan mempercepat perubahan iklim.
Hal ini mengemuka dalam diskusi publik “Deforestasi dan Kerusakan Lingkungan Mulai Berdampak pada Perubahan Iklim di Aceh” Kamis, 29 Desember 2022. Kegiatan ini digelar oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh bersama Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) di Paopia Garden, Pango Raya, Banda Aceh.
Staf Komunikasi Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Irham Hudaya Yunardi, mengatakan deforestasi terjadi di hutan Aceh yang tersebar di banyak kabupaten/kota. Lima kabupaten dengan deforestasi tertinggi adalah Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Utara, Gayo Lues, dan Aceh Selatan.
“Kehilangan tutupan hutan paling banyak terjadi di hulu sehingga menimbulkan dampak (bencana) ke hilir,” kata Irham.
Sebagai contoh kerusakan hutan di Gayo Lues telah memicu banjir di Aceh Tamiang dan Aceh Timur. “Ini bisa menimbulkan bencana seperti kekeringan dan banjir yang telah terjadi di Aceh Utara dan Aceh Timur,” ujar Irham.
Irham menambahkan kerusakan hutan belum bisa dibendung. Bahkan pada tahun 2022, deforestasi masih saja terjadi. Tahun 2022, Aceh Selatan menjadi penyumbang deforestasi terbesar, yakni 1.704 hektare.
Meski demikian, kata Irham, Aceh masih menjadi daerah dengan tutupan hutan terluas di Sumatera.
Sub Koordinator Seksi Pengendalian Perubahan Iklim Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Rikky Mulyawan mengatakan pada periode 1990-1996 deforestasi belum terjadi di Aceh mengingat pada saat tersebut konflik bersenjata sedang terjadi sehingga aktivitas di kawasan hutan terbatas.
Menurutnya, deforestasi di Aceh baru mulai terjadi periode tahun 1996 hingga tahun 2000 dengan luas mencapai 86,000 hektar.
“Setelah periode tersebut, luas deforestasi tahunan cenderung menurun dan meningkat kembali pada periode tahun 2006 hingga 2013 pasca peristiwa gempa bumi dan tsunami Aceh, sejalan dengan kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi,” kata Rikky.
Rikky menambahkan, pengelolaan hutan yang telah dilakukan secara bersama pada masa lalu terbukti belum seluruhnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu pengelolaan hutan selanjutnya hendaknya diselenggarakan melalui dengan melibatkan berbagai stakeholder atau dilakukan secara terpadu dan inovatif.
Sementara itu Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala, Suraiya Kamaruzzaman mengatakan deforestasi menjadi persoalan serius dalam konteks perubahan iklim.
Perubahan iklim dapat ditandai dengan kenaikan suhu bumi. Dampak perubahan iklim memicu banjir, kekeringan, hingga kualitas panen yang menurun.
Di Aceh Besar, kata Suraiya, sejak 1992-2020, terjadi kenaikan suhu, tetapi dalam angka yang relatif kecil. Meski demikian, dampak yang dirasakan cukup besar. Kekeringan ekstrim di kawasan mata Ie dinilai bagian dampak perubahan iklim.
Dampak lain terjadi ancaman terhadap aktivitas pertanian sawah. Perubahan iklim dapat menurunkan kualitas panen karena kesuburan tanah menurun. Pada saat yang sama pengetahuan petani terhadap perubahan iklim minim.
“Perlu mengembangkan dan percepatan adopsi teknologi usaha tani yang lebih produktif dan adaptif terhadap perubahan iklim,” kata Suraiya.
Sementara itu, Kepala Departemen Riset dan Data FJL Aceh, Muhammad Saifullah mengatakan pemerintah belum serius mencegah dan menindak perambahan hutan. Hasil kajian FJL Aceh, tidak sedikit perambahan dilakukan oleh oknum di dalam kawasan hutan.
“Perambahan di dalam Suaka Margasatwa Rawa Singkil hingga kini terus terjadi, tetapi tidak ada penindakan hukum,” kata Saifullah.
Perambahan yang dilakukan dengan cara membakar juga dapat mempercepat pemanasan global.
Sebelumnya saat menyampaikan pengantar diskusi Koordinator YEL Aceh, TM Zulfikar mengatakan, bahwa diskusi ini digelar untuk mencari solusi bersama dalam upaya mengurangi laju kerusakan hutan (deforestasi) serta mengurangi kerusakan hutan dan lingkungan sehingga dampak perubahan iklim (climate change) di Aceh dapat diminimalisir.
Kita menghadirkan para narseumber yang berkompeten dibidangnya, sehingga fakta dan data yang disampaikan dapat menjadi rujukan para pihak dalam mengambil langkah-langkah dan kebijakan yang mampu menjawab persoalan itu semua.
“Untuk itu kepada kawan-kawan jurnalis kita berharap dapat meneruskan informasi dan data yang diperoleh kepada publik secara luas luas lagi”, kata Zulfikar. []