Dari World Bank, Muslahuddin Jadi Pahlawan Pertanian Aceh

Tak semua orang mampu untuk meninggalkan kemewahan yang telah didapatnya kemudian memilih untuk berdedikasi kepada masyarakat, terlebih kepada kemaslahatan pertanian. Dedikasi tersebut pun dipilih dengan profesi yang berkebalikan dari apa yang selama ini telah dikerjakan. Meskipun ada pula yang memilih untuk memberikan dedikasi misalnya, namun tetap sesuai profesi yang selama ini diemban.

Hal itulah yang dilakukan Muslahuddin Daud. Lelaki kelahiran Pidie Jaya, 4 Juli 1973 itu telah berkomitmen untuk mendedikasikan dirinya untuk pertanian Aceh. Padahal, selama ini kehidupannya serba berkecukupan karena pernah bekerja selama 13 tahun di World Bank. Ia meninggalkan semua kemewahan tersebut untuk membuat pertanian Aceh menjadi lebih baik.

Seingat penulis, jauh sebelum Muslahuddin Daud berkiprah secara totalitas untuk pertanian Aceh, dulu jauh di pedalaman Waimtal, Pulau Seram, Maluku, kita juga mengenang sosok lain putra Aceh Mohamad Kasim Arifin yang kisah inspiratifnya membuat Taufik Ismail, panyair nasional menuliskan puisi untuknya.

Puisi tersebut xibaca Taufik di Kampus Institute Pertanian Bogor (IPB), pada Sabtu, 22 September 1979. Hari itu, Mohamad Kasim Arifin juga menerima gelar “Insinyur Pertanian Istimewa” dari almamaternya.

Lelaki yang lahir di Langsa, Aceh Timur, 18 April 1938 itu sejak masa kuliahnya, telah dikabarkan hilang saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Maluku. Kehilangan Kasim, sebutan akrab Taufik untuknya membuat kampus khawatir. Selama 15 tahun pula, rupanya sosok Kasim tengah menjalankan program Panca Usaha Tani di Waimtal, tempanya KKN.

Untuk mencari keberadaan Kasim, kampus mengirimkan utusan ke Waimtal. Utusan sempat beberapa kali ditolak oleh Kasim lantaran dia telah menyatu dengan masyarakat. Kasim juga menyarakan tidak pulang dulu sebelum para masyarakat di sana khususnya petani mampu mandiri.

Padahal, ketika itu Kasim harus segera merampungkan skripsi. Orangtua Kasim, begitu pula Rektor Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion telah berkali-kali menyuruhnya pulang. Namun, dia tak menghiraukan suruhan ibunya dan panggilan kampus karena Kasim sedang membuka jalan desa, membangun sawah, dan membuat irigasi bersama masyarakat.

Kasim baru kembali ke IPB dan menyelesaikan skripnya setelah utusan kampus datang untuk ketiga kalinya. Itupun harus dibujuk oleh sahabatnya, yakni Saleh Widodo. Kasim saat itu luluh dan akhirnya pulang bersama Saleh.

Semua dedikasi tersebut ia lakukan tanpa bantuan dari pemerintah. Di sana, Kasim mendapat panggilan Antua, yang disematkan kepada orang yang memiliki kesederhanaan, kedermawanan, dan lemah lembut. Dan panggilan itu melekat padanya hingga hari ini.

Apa yang dilakukan Kasim, tak jauh beda pula dengan yang dikerjakan Muslahuddin. Lelaki yang mapan secara finansial itu merasa terpanggil untuk pulang ke tanah kelahirannya. Dia memiliki rasa tanggungjawab untuk memberikan pengetahuan terhadap petani Aceh tentang pertanian yang baik.

“Nah, saat itu saya berpikir dan menanyakan pada diri saya sendiri, apa sebenarnya impian saya itu? Kemudian saya memberanikan diri untuk belajar ke Garut, Jawa Barat, lalu setelah itu saya beli sebuah lahan dan mulai bertani di Aceh,” ungkap Mus saat menjadi tamu Kick Andy.

banner 72x960

Muslahuddin berfoto bersama Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (kiri) dan host program Kick Andy, Andy F Noya seusai menerima penghargaan dari Menteri Pertanian di Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto : serambi

Mus, begitu dia dipanggil mengatakan, setelah membeli 1,5 hektare lahan dirinya mulai bercocok tanam. Ia memilih berbagai tanaman buah yang laku di pasaran mulai dari jeruk, pepaya merah delima, hingga varian alpukat. Dengan kesungguhan tersebut, penghasilan Mus pun saat itu mulai terdongkrak. Dia mengaku penghasilan yang diperolehnya bahkan lebih besar dari pada saat ia bekerja di World Bank. Hingga kini, dia telah membina sekitar 7.000 petani.

“Petani binaan saya di seluruh Aceh ini ada sekitar 7.000 orang petani, ya, semua saya gratiskan untuk menggarap lahan, malah ada beberapa yang saya bantu pupuk, insektisida, dan lain-lain. Saya juga sering melakukan pelatihan gratis bagi para petani ini,” jelas pria 47 tahun itu yang kini memiliki lahan seluas 27,5 hektar.

Siapa sangka, dedikasi yang ia tunjukkan saat ini telah banyak membantu petani di Aceh, baik secara finansial dan kapasitas pengetahuan terhadap petani terhadap pertanian. Totalitasnya adalah semangat yang ditunjukkan oleh pendahulu, Mohamad Kasim Arifin yang telah membina dan memberikan kehidupan lebih baik di Waimtal dan dikenang hingga saat ini. Meski tidak ada pertalian antara Muslahuddin dengan Kasim, saya yakin keduanya memiliki tujuan yang sama; yakni memberikan udara baru bagi pertanian.

Mus yang menempuh pendidikan dasar hingga SMU di Mereudu, kemudian melanjutkan pendidikan SI nya pada Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh itu, sudah sejak lama mandiri dan konsiten dengan profesinya.

Bahkan, dari beberapa sumber yang diperoleh penulis, Mus juga pernah berjualan rokok, berjualan telur, hingga mendayung becak. Hal itu dia lakukan demi menopang kehidupannya. Dia juga pernah mengajar di beberapa madrasah.

Perjalanan Mus terbilang berliku. Namun integritas ke Acehan yang dimilikinya membuatnya dapat pergi ke berbagai tempat. Perlahan, pengalaman demi pengalaman didapatnya dari berbagai tempat hingga membentuk dirinya sekarang.

Usai menyelesaikan pendidikan S1 tahun 1996, Muslahuddin pernah meninggalkan Aceh, dan mencoba peruntungannya di luar. Namun, pada 1999, ia kembali ke Aceh saat konflik di Aceh semakin memanas. Jiwa ke Acehan dan sikap kritisnya terpanggil saat itu.

Di Banda Aceh, Mus pernah melakoni pekerjaan sebagai tukang tambal. Ia membuka bengkel itu di depan Markas Markas Brimob Jeulingke (sekarang Polda Aceh). Sambil bekerja, Muslahuddin juga berkiprah di beberapa organisasi dan LSM, yakni YASINDO dan YAKMI.

Pada fase inilah, sosok Muslahuddin mulai banyak belajar meningkatkan kapasitas dirinya. Seiring waktu, wawasannya dan jaringan Mus juga bertambah. Dia juga bergabung dalam Nonviolent International, sebuah NGO berbasis di Washington untuk program Pendidikan Damai Aceh.

Tak hanya itu, Muslahuddin juga bergabung lagi dengan organisasi lainnya saat masa perjanjian damai Aceh pada 2002. Kali itu, dia bergabung dengan Henry Dunant Centre (HDC). Namun Mus akhirnya hengkang lantaran punya firasat model damai HDC tidak tepat. Hal itu terbukti dengan ditetapkannya Aceh sebagai daerah Darurat Militer pada Mei 2003.

Sosok Muslahuddin patut untuk dijadikan contoh bagi generasi saat ini. Mus telah dengan terang dan nyata memberikan dedikasi kepada Aceh tanpa bantuan pemerintah. Dengan berkeyakinan itu pula, dia mendapatkan beberapa penghargaan, salah satunya dari MNC TV pada 2018 sebagai Pahlawan Pertanian.

Pelaku pertanian Aceh itu juga baru-baru ini menerima penghargaan dari Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (2020). Penghargaan itu diberikan pemerintah kepadanya sebagai bentuk apresiasi untuk generasi muda yang kreatif dan berkontribusi memajukan pertanian Indonesia.

“Terima kasih Pak Menteri Pertanian SYL telah memberikan piagam apresiasi atas kinerja kami dibidang pertanian. Satu panggung dalam program Kick Andy adalah satu catatan perjalanan cukup bermakna,” tulis Muslahuddin di facebooknya.

Kini, Mus juga dipercaya untuk menjabat Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Aceh. Sambil menjabat, Mus juga tengah mengembangkan Konsep Pertanian Terpadu di Lamteuba.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *