Dari Seruan Luruskan Shaf sampai Shalat Jamaah di Tengah Wabah

Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Dr. EMK. Alidar, S.Ag, M.Hum ketika membuka ‘Pelatihan Imam Masjid se-Aceh Barat’ di Hotel Bin Daod Meulaboh, Senin 24 Mei 2021.

DINAS Syariat Islam (DSI) Aceh melaksanakan Pelatihan Imam Masjid se-Aceh Barat yang dipusatkan di Hotel Bin Daod Meulaboh. Peserta pelatihan berjumlah 205 orang dibagi lima angkatan karena harus disesuaikan dengan kondisi Covid-19. Kegiatan bertema “Jadikan Masjid sebagai Pusat Kegiatan Dakwah dan Pembinaan Umat” tersebut dibuka Kepala DSI Aceh, Dr. EMK. Alidar, S.Ag, M.Hum, Senin 24 Mei 2021.  EMK Alidar menilai pelatihan imam menjadi sesuatu yang sangat penting. Karena sah-tidaknya shalat jamaah sangat tergantung dengan terpenuhi tidaknya syarat-syarat seorang imam. Lalu, apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya bisa menjadi imam dan apa pula konsekwensinya jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi dalam proses shalat berjamaah. Theacehpost.com mengutip sambutan dan arahan Kepala DSI Aceh untuk laporan khusus edisi ini yang diharapkan jadi pengetahuan bagi kita bersama.

banner 72x960
Anggota DPR Aceh dari Fraksi Partai Aceh Tarmizi, SP (kiri) didampingi Kabid Peribadatan, SI, dan PSK Dinas Syariat Islam Aceh Mulyadi, S. Ag, MM (tengah) dan Ketua BKM Kampus Universitas Syiah Kuala Prof. Dr. Mustanir Yahya, M. Sc (kanan) pada acara pembukaan ‘Pelatihan Imam Masjid se-Aceh Barat di Hotel Bin Daod Meulaboh, Senin 24 Mei 2021.
Kadis Syariat Islam Aceh Barat Muhammad Isa, S.Pd selaku salah seorang pemateri ‘Pelatihan Imam Masjid se-Aceh Barat’ hadir pada acara pembukaan di Hotel Bin Daod Meulaboh, Senin 24 Mei 2021.


Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, EMK Alidar mengawali sambutannya dengan pertanyaan, “Apakah seseorang layak menjadi imam untuk jama’ah atau ada yang lebih afdhal darinya?”

Menurut EMK Alidar, untuk menjawab pertanyaan itu tentu saja berdasarkan sudut pandang syari’at.

Di antara yang harus menjadi penilaiannya ada empat hal.

Pertama, Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.

Kedua, Penguasa lebih berhak menjadi imam atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.

Ketiga, Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al-Quran dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut.

Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْهِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ : سِنًّا)، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفىرواية : فِي بَيْتِهِ) وَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ 

 “Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya.”

Keempat, Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

 

ثَلاثَةٌ لاَ تَرْتَفِعُ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا : رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهمْ لَهُ كَارِهُوْنَ…  

 “Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya”.

 Seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga mengubah makna ayat.

Misalnya, sebagian imam  membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan ”Allazi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari  ‘mengumpulkan’ harta menjadi ‘menyetubuhi’nya. Na`uzubillah.

Mentakhfif shalat

Mentakhtif shalat adalah mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya.

Batasan dalam hal ini ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan.

Di antara nash yang menerangkan hal ini ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ السَّقِيْمَ وَ الضَّعِيْفَ وَ اْلكَبِيْرَ، وَ إِذَا  

صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطِلْ مَا شَاءَ

 “Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya”

Lurus dan rapatkan shaf

Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf.

Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.

Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, ada seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:

 

لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكْم أَوْ لَيُخَالِفُنَّ الله ُبَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

 “Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian”.

Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan bahwa shaf telah lurus.

Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata,”maju, wahai fulan! ke belakang, wahai fulan!”

Shalat berjamaah dilaksanakan dalam masjid sah selama makmum mengetahui perpindahan gerakan imam dari satu pekerjaan shalat kepada pekerjaan lainnya. Baik dengan melihat maupun dengan mendengar atau dengan cara melihat imam langsung atau melihat gerakan makmum lain atau mendengar suara imam atau mendengar suara mubaligh (orang yang menyambungkan suara imam agar terdengar oleh jamaah yang posisinya jauh dari imam).

Dalam kondisi wabah

Dalam kondisi wabah, shalat berjamaah sah sekalipun jarak imam dan makmum jauh dan tidak lebih dari 300 hasta.

Hal ini dijelaskan dalam kitab Minhaj al-Qawim, bahwa shalat berjamaah tetap sah jika mereka berdua (imam dan makmum) berada di dalam satu masjid atau beberapa masjid yang pintu-pintunya terbuka atau jika ditutup tidak dikunci mati (dipaku).

Shalat berjamaah juga sah jika masing-masing masjid berjamaah dengan adanya seorang imam, muadzin, dan jamaah khusus, meskipun jarak mereka berjauhan. Misalnya jarak di antara mereka tidak lebih dari 300 hasta.

Menurut Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hanbali, satu hasta setara dengan 61,834 cm (dibulatkan 62 cm).

Di dalam kitab Nihayah al-Zain disebutkan, jika imam dan makmum berada di dalam satu masjid yang sama, shalat berjamaah mereka sah, sekalipun jarak shaf mereka jauh, bahkan sampai 300 hasta.

Tugas berat

Pada bagian akhir sambutannya, Kepala DSI Aceh mengakui tugas imam (teungku-teungku) sangatlah berat namun sangat mulia di sisi Allah.

Menurut Imam Al Ghazali yang dituangkannya dalam kitab Bidayah al Hidayah Nur Haid memberikan beberapa poin terkait imam shalat:

Pertama, Seorang imam harus menjaga atau minimal mempertimbangkan kenyamanan makmumnya.

Konsep yang dikenal dengan konsep payung (umbrella concept) ini bisa dihubungkan dengan kemampuan imam membaca Qiro’at Alfatihah dan bacaan ayat Al-Quran dengan berbagai model lantunan yang indah, merdu dan tartil.

Makna kenyamanan dalam shalat ini juga bisa kita hubungkan dengan lama tidaknya sang imam melakukan gerakan shalat.

Akan menjadi tidak bijak jika sang imam memperpanjang tempo bacaan, baik dengan menambah jumlah bacaan atau membacanya dengan cara yang lama selama shalat.

Namun kasusnya menjadi berbeda dengan jamaah di desa, yang mana imam dan jamaah sudah memiliki kesepahaman tentang tempo shalat.

Kedua, setelah imam membaca Surah Al Fatihah di rakaat shalat jahr (shalat dengan membaca keras bacaan fatihah dan surat), ia lebih baik berhenti untuk memberi kesempatan makmum membaca fatihah.

Etika ini ditujukan agar makmum bisa memberikan perhatian penuh ketika sang imam nantinya membaca surat, sehingga mereka bisa merenungi kandungan surat tersebut atau membenarkan sang imam jika membaca dengan kurang tepat.

“Selamat mengikuti pelatihan imam mesjid semoga dapat diimplementasikan pada masjid masing-masing. Akhirnya, kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan pelatihan ini,” ujar EMK Alidar ketika menyatakan acara ‘Pelatihan Imam Masjid se-Aceh Barat’ tersebut resmi dibuka. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *