Dari Rimba Perjuangan ke Jalan Demokrasi: Jejak Cek Mad dalam Sejarah Aceh

H Muhammad Thaib atau yang akrab disapa Cek Mad. [Foto: Istimewa]

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Dalam ingatan banyak orang Aceh, nama H Muhammad Thaib atau yang lebih dikenal sebagai Cek Mad, bukan sekadar tokoh politik biasa. Ia adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan Aceh, satu nama yang pernah hidup dalam bayang-bayang konflik, dan kemudian menjadi cahaya bagi harapan baru setelah damai ditegakkan.

Jejak Pejuang dalam Sunyi Hutan Aceh

banner 72x960

Tahun-tahun kelam saat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih mengangkat senjata, Cek Mad berada di garis depan perjuangan. Tak banyak yang tahu, ia bukan hanya seorang petempur, tetapi dipercaya mengemban posisi penting sebagai Bendahara GAM.

Dalam sunyi hutan, di antara langkah-langkah senyap gerilyawan, ia menjaga dan mengelola logistik perjuangan, tugas yang membutuhkan bukan hanya kecermatan, tapi juga kepercayaan penuh dari rekan-rekannya.

Saat peluru masih berbicara lebih keras dari kata-kata, Cek Mad percaya bahwa suatu hari Aceh akan punya suara sendiri, di parlemen, bukan di medan pertempuran.

Helsinki: Titik Balik Perjalanan

Damai akhirnya datang pada 15 Agustus 2005. Melalui Nota Kesepahaman Helsinki, senjata diturunkan, dan jalan demokrasi dibuka. Tapi tidak mudah bagi para eks kombatan untuk meletakkan senjata dan menggenggam pena. Perlu keberanian yang berbeda. Cek Mad adalah salah satu yang mengambil lompatan itu.

Ia meninggalkan medan gerilya dan ikut membangun Partai Aceh, sebagai perpanjangan tangan politik bagi idealisme yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan air mata. Bagi Cek Mad, damai bukan akhir dari perjuangan, melainkan babak baru untuk mewujudkan Aceh yang adil dan bermartabat melalui jalur sah.

Dari Pejuang ke Pemimpin

Tahun 2012, masyarakat Aceh Utara memberi kepercayaan kepadanya sebagai Bupati. Ia bukan politisi konvensional. Gaya bicaranya lugas, tindakannya tegas, dan ia lebih senang blusukan ke desa-desa daripada duduk di belakang meja. Wajahnya akrab di sawah, di balai pengajian, di warung kopi.

Ia dua kali dipercaya memimpin Aceh Utara. Dan meskipun tantangan tak pernah sepi, ia tetap berdiri dengan prinsip: rakyat harus menjadi pusat dari semua kebijakan.

Bukan Sekadar Riwayat, Tapi Warisan

Kini, ketika dinamika politik memaksa nama Cek Mad tersingkir dari Partai Aceh, partai yang dulu ia ikut lahirkan, banyak hati yang terenyuh. Tapi bagi sebagian besar rakyat, sejarah tak bisa dihapus hanya dengan selembar surat pemecatan. Cek Mad telah lebih dulu hadir di hati mereka, sebagai pejuang, pemimpin, dan sahabat.

Perjalanan hidupnya adalah cermin dari kisah Aceh itu sendiri: dari luka menuju cahaya, dari konflik menuju harapan. []

Baca berita lainnya di Google News dan saluran WhatsApp

Komentar Facebook