Dana Abadi untuk Otsus Aceh
Dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Aceh akan berakhir pada 2027. Sejak 2008, anggaran ini menjadi pilar utama pembangunan di provinsi berjuluk Serambi Mekkah, membiayai infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan. Namun, dengan waktu yang semakin mendekati titik nol, muncul pertanyaan besar: bagaimana Aceh bertahan setelah aliran dana ini terhenti?
Saat ini, dana Otsus yang diberikan kepada Aceh sudah mulai menyusut sejak 2023, dari 2% menjadi 1% dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Sementara itu, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih jauh dari cukup untuk menggantikan peran Otsus. Dengan kondisi ini, perjuangan mempertahankan dana abadi Otsus menjadi agenda yang mendesak.
Dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), Aceh memiliki hak istimewa dalam mengelola sumber daya alamnya. Pasal 183 UUPA, misalnya, menyebutkan bahwa Aceh berhak mendapatkan pendapatan tambahan dari pengelolaan migas. Namun, hingga kini, manfaat dari sektor ini belum signifikan. Blok B di Aceh Utara yang dikelola oleh PT Pema Global Energi diharapkan menjadi sumber pendapatan baru, tetapi masih butuh optimalisasi lebih lanjut.
Jika ingin memperjuangkan dana abadi Otsus, ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan.
Pertama, pemerintah Aceh perlu serius dalam mengelola dana Otsus yang masih tersisa dengan model investasi jangka panjang. Dana ini bisa ditempatkan dalam skema Dana Abadi seperti yang dilakukan Papua melalui Lembaga Pengelola Dana Otsus Papua (LPDOP). Dengan begitu, dana tersebut tidak hanya habis digunakan, tetapi juga menghasilkan manfaat berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Kedua, Aceh harus meningkatkan PAD dengan mengoptimalkan sektor produktif. Pariwisata halal, industri kreatif, dan hilirisasi pertanian adalah sektor-sektor yang punya potensi besar. Namun, pengelolaan yang lemah dan minimnya promosi membuat sektor ini belum bisa menjadi andalan ekonomi daerah.
Ketiga, Aceh harus memperbaiki iklim investasi. Tanpa reformasi birokrasi dan kepastian hukum yang jelas, sulit bagi investor untuk menanamkan modalnya di Aceh. Jika investasi bisa masuk dengan lebih mudah, Aceh tidak hanya mengurangi ketergantungan pada dana pusat, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru.
Keempat, perjuangan politik untuk memperpanjang atau mengubah skema dana Otsus harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih strategis. Salah satu opsi yang bisa diusulkan adalah perubahan dalam UUPA agar Aceh mendapatkan Dana Abadi Otsus dengan persentase tertentu dari APBN, seperti yang diterapkan di daerah lain dengan status khusus.
Aceh tidak bisa terus berharap pada dana yang suatu saat akan habis. Jika perjuangan Dana Abadi Otsus gagal, Aceh harus siap dengan skenario lain yang lebih realistis: membangun kemandirian ekonomi yang tidak lagi bertumpu pada kucuran dana dari pusat. Sebab, tanpa langkah konkret, masa depan Aceh pasca-Otsus bisa menjadi lebih suram dari yang dibayangkan.