Damai Aceh dan Nasib Bendera

Muhammad Hasbar Kuba

Oleh: Muhammad Hasbar Kuba*)

banner 72x960

TAK terasa sudah 17 tahun sejak MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005 silam, namun hingga saat ini belum ada kejelasan tentang bendera Aceh yang disebut-sebut sebagai marwah rakyat Aceh.

17 Tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah penantian, namun hingga saat ini rakyat Aceh tak kunjung mendapatkan kepastian soal bendera Aceh.

Qanun Bendera yang telah disahkan juga hanya sebatas bingkisan jualan yang realisasinya juga laksana mimpi di tengah senandung nyanyian.

Mirisnya lagi, Qanun Nomor 3 Tahun 2013 sejak disahkan DPR Aceh sekitar 9 tahun silam hanyalah menjadi jualan seakan-akan stakeholder di Aceh benar-benar telah berjuang padahal sampai saat ini hasilnya hanya satu tiang kosong di depan DPR Aceh.

Pada 26 Juli 2016, Mendagri mengeluarkan surat pembatalan Qanun Aceh tentang Bendera dan Lambang Aceh yang tertuang dalam Surat Kemendagri RI Nomor: 188.34/2723/SJ, sehingga qanun tersebut seakan menjadi regulasi yang realisasinya hanya ada dalam mimpi dan jualan politik saja.

Setelah 17 tahun perdamaian, jangankan untuk membangun satu tiang lainnya di setiap instansi hingga kabupaten/kota untuk menaikkan bendera Aceh pada tiang yang sudah ada di depan DPR Aceh pun tak pernah bisa.

Jika memang bendera Aceh sesuai qanun yang telah disahkan tidak bisa direalisasikan, seharusnya Pemerintah Aceh baik eksekutif maupun legislatif dan juga pemerintah kabupaten/kota bersama-sama duduk untuk membahas solusi kongkret agar Aceh tetap memiliki bendera sebagaimana telah tertuang dalam MoU Helsinki dan UUPA. Apakah langkah kongkretnya akan dilakukan advokasi bersama segenap stakeholeder agar bendera tersebut tetap sesuai qanun yang telah ada atau diubah kembali agar tidak dianggap bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lainnya. Jadi harus ada langkah dan solusi kongkret.

Selama ini implementasi butir-butir MoU dan turunan UUPA tak bisa maksimal karena persoalan bendera dan lambang saja belum tuntas. Nanti jangan salahkan jika generasi berikutnya menaikkan bendera klub sepakbola di tiang kosong di depan DPR Aceh. Itu karena mereka tidak tahu tiang kosong itu untuk apa.

Untuk tahap awal, jika memang qanun bendera itu sudah sah, ada baiknya di instasi pemerintah provinsi, gedung wali nanggroe dan DPR Aceh hingga  kantor bupati, wali kota serta DPRK untuk mulai dikibarkan, sehingga rakyat pun ikut mengibarkannya.

Sebab, kalau rakyat yang dikompori untuk mengibarkannya, sementara stakeholder pemerintahan yang ada di Aceh tak berani, justru jadi blunder nantinya. Rakyat yang jadi korban.

Kami mengajak semua pihak untuk jujur kepada rakyat tentang fakta sebenarnya, apakah bendera Aceh itu benar diperjuangkan atau hanya jualan politik belaka.

Jika hanya jualan politik belaka maka usailah sudah cerita perjuangan tentang MoU Helsinki dan UUPA sebagaimana selama ini didengung-dengungkan. Wajar saja jika publik akan beranggapan bahwa UUPA dan MoU Helsinki tak lagi jadi lembaran sakti, hanya sebatas cerita dongeng yang dirangkai di Helsinki.[]

*) Penulis adalah Koordinator Kaukus Peduli Aceh (KPA).

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *