Cucu Sultan Aceh: Syahbandar Muktabar Khan Dorong Kemajuan Perdagangan pada Era Sultan Iskandar Muda

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh — Cucu Sultan Aceh Darussalam yang juga Pemimpin Darud Donya Aceh, Cut Putri, menjelaskan bahwa Kesultanan Aceh Darussalam aktif dalam perdagangan lada internasional.

banner 72x960

“Di masa kejayaannya, Aceh memasok setengah kebutuhan lada dunia. Keberhasilan perdagangan dan perekonomian Kesultanan Aceh tak lepas dari kuatnya sistem pemerintahan, dan tegasnya penegakan hukum yang paripurna,” tutur Cut Putri.

Wilayah Aceh saat itu terbentang dari Bandar Aceh sampai Drien Tukok Raja dan wilayah Air Bangis, Pariaman hingga Ke Batu Puteh Johor. Kala itu banyak sekali pedagang dan penjelajah asing datang ke Tanah Aceh Darussalam.

Gampong Jawa yang berada di pinggir Krueng Aceh sejak masa dulu adalah kawasan besar, yang merupakan pusat perdagangan Kesultanan Aceh Darussalam.

Dalam catatan Van Langen, kawasan Kuta Dalam (Istana) Darud Donya, Peukan Aceh dan kampung disekitarnya yaitu Kandang, Merduati, Gampong Jawa, Gampong Keudah dan Gampong Pande, adalah kawasan yang langsung diperintah oleh Sultan Aceh.

Di Gampong Merduati berdiam para pegawai Kesultanan dan di Gampong Jawa berdiam para pedagang dan orang-orang Asing.

Untuk memudahkan dalam urusan perdagangan, maka pada era Kesultanan dibentuklah Syahbandar atau penguasa pelabuhan, sebagai penanggungjawab dan pintu masuk para pedagang asing sebelum menghadap Sultan Aceh.

Pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah Kesultanan Aceh Darussalam ada beberapa Syahbandar yang terkenal, diantaranya Syahbandar Rama Setia, Syahbandar Muktabar Khan, Syahbandar Saiful Muluk dan Syahbandar Muizzul Muluk.

Kitab Mabainwasalatin, atau terkenal sebagai Kitab Adat Aceh, banyak menceritakan peran Syahbandar Muktabar Khan.

Pada saat Acara Perayaan Mandi Safar oleh Sultan Aceh bersama dengan para Pejabat dan segala rakyat, maka Syahbandar Muktabar lah penanggungjawab segalanya.

Syahbandar Muktabar Khan bersama pasukannya bertugas mendirikan istana tempat mandi Sultan di pantai, kemudian yang membuat perarakan Sultan adalah Tandil Kawal dan Sagi Kawal. Sedangkan persiapan bunga dan segala alat juga disediakan oleh Syahbandar Muktabar Khan.

Syahbandar Muktabar Khan juga berperan membawa Nasi Khanduri di Kuta Dalam atau Istana Darud Donya. Dalam acara Kesultanan itu Nasi Khanduri dibawa keluar dari gampong Syahbandar Muktabar Khan dengan pengawalan Megat Dilam Jadi, yang membawa Gajah.

Dalam Kitab Aceh dan Qanun Meukuta Alam Di Meulek dijelaskan, bahwa Syahbandar Muktabar Khan adalah pejabat tinggi sejak era Sultan Iskandar Muda sampai Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zilullahi Fil Alam (1641-1675 M).

Dalam Kitab Mabainwasalatin dituliskan tentang “Silsilah Taraf Berdiri Segala Hulubalang Aceh” di hadapan Sultan, yaitu pertama Kadhi Malikul Adil dilanjutkan Orang Kaya Maharaja Seri Maharaja Mangkubumi, Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri, Orang Kaya Seri Paduka Tuan dan seterusnya. Sampai kepada para Ceteria, diantaranya Ceteria Parma Diraja kemudian Ceteria Syahbandar Muktabar Khan. Ceteria adalah gelar untuk anak raja-raja atau gelar untuk ksatria. Ini menandakan bahwa Syahbandar Muktabar Khan merupakan tokoh penting yang ikut berdiri dihadapan Sultan dan Sultanah.

Syahbandar Muktabar adalah pejabat penting dalam Balai Furudhah atau Balai Perdagangan Kesultanan Aceh Darussalam.

Syahbandar Muktabar Khan dimakamkan di Gampong Jawa pada Zaman Sultanah Safiatuddin memerintah Kerajaan Aceh Darussalam. Ini terlihat dari bentuk nisan dikawasan pemakaman Syahbandar Muktabar Khan yang serupa bentuk nisan Syiah Kuala.

Syahbandar Muktabar dan Syahbandar yang lain serta para pemimpin balai Furudhah amat teliti dan amanah dalam perdagangan. Pejabat Kesultanan Aceh terkenal jujur dalam perdagangan. Karenanya banyak pedagang asing datang ke Aceh. Karena perdagangan berjalan dengan baik membawa kemakmuran, dan kekayaan bagi Kesultanan Aceh Darussalam.

Pada zaman kejayaan Aceh Darussalam sejak masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) sampai masa Sultanah Safiatuddin (1641-1675 M) Aceh telah berkembang pesat dalam perdagangan. Dalam pada itu peradaban Aceh terus berkembang dalam melaksanakan syariat Islam, dan juga pengembangan Adat Istiadat Aceh yang menunjukkan kebesaran suatu bangsa.

Kekuatan sistem pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam dan kuatnya penegakan hukum yang berdasarkan syari’at Islam, telah membawa Aceh menjadi salah satu imperium terbesar dunia bahkan sejajar dengan Turki Usmani.

“Khazanah dan kekayaan Aceh berupa sejarah, tradisi dan budaya hendaknya menjadi pedoman, yang membawa kekuatan dan keunggulan bagi Aceh masa depan!,” pungkas Cut Putri Pemimpin Darud Donya. []

Komentar Facebook