Buya Tambue, Lheuh Kap Han Ek Hue
Harapan itu selalu ada!.
“Semudah bayi menyusui, anak-anak saja bisa”
Minimal itulah kesimpulan yang bisa saya dapati setelah membaca tulisan Teuku Murdani di bawah judul Pasee Bukan Janda Tua Miskin yang ditayangkan sebuah media online, 30/6.
Tulisan tersebut adalah respon beliau terhadap tulisan saya di Kolom Canda theacehpos.com, 29/6, dengan judul Menyeimbangkan Selera dan Gagasan di Pasee.
Teuku Murdani bukan sembarang orang. Di samping sebagai salah satu bangsawan Pasee, beliau juga pemuda cerdas alumni sebuah perguruan tinggi di Australia dan saat ini sebagai akademisi UIN Ar-Raniry. Konstribusi pemikirannya diharapkan banyak pihak di Pasee untuk masa hadapan yang lebih baik.
Sebagai putra Pasee beliau tentu tahu betul lekuk tubuh Pasee, yang dalam tulisannya tersebut beliau mengungkapkan keberatan jika sampai Pasee disebut janda tua miskin.
Beliau menegaskan Pasee bukan janda tua. Juga tidak miskin. Lalu beliau pun menunjukkan sejumlah potensi alam Pasee yang kaya dan dapat diberdayakan. Sehingga dengan potensi yang ada itu – menurut beliau – Pasee tidak layak disebut miskin.
Saya sependapat. Dari segi potensi Sumber Daya Alama (SDA) boleh saja kita sepakati Pase itu kaya. Tapi kekayaan SDA itu bukan “belanja langsung” yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan dalam rangka menghadirkan kesejahteraan masyarakat.
Kita butuh Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengkonversi dan mengkapitalisasi SDA yang kaya itu untuk menjadi “belanja langsung” yang mengsejahterakan.
Nah, di sini butuh waktu. Butuh manusia yang punya gagasan. Butuh sosok pimpinan yang berkaliber eksekutor. Syukur-syuku bila kaliber yang punya gagasan dan kemampuan eksekusi itu ada pada satu orang. Sehingga kepemimpinannya efektif, bervisi dan terarah.
Di masa lalu ketika booming migas, Aceh Utara bukan hanya ibarat gadis kaya raya dan cantik, yang diminati dan dilirik banyak pihak, Aceh Utara juga tercatat mensubsidi APBK semua kabupaten/kota yang tidak menghasilkan gas dan minus PAD nya kala itu.
Pasca booming migas, Aceh Utara bukan lagi daerah kaya. Memang ada backup DOKA, tapi kenyataannya dalam sejumlah laporan media, DOKA atau Dana Otsus Kabupaten itu tidak mampu menyelamatkan defisit APBK di Negeri Pasai itu berkali-kali.
Secara majazi, diksi janda tua sakit-sakitan dan miskin semakin terkonfirmasi ketika dalam interval 17 tahun pemindahan ibukota ke Lhoksukon, sampai hari ini, ternyata Pemerintahan Aceh Utara tidak berdaya.
Secara de-jure ibukota Aceh Utara selama 17 tahun sudah pindah ke Lhoksukon. Tetapi secara de-facto ibukota Aceh Utara masih menumpang di rumah saudara.
Saya berharap semoga analogi sederhana ini dapat memfasilitasi saya dan Teuku Murdani sepakat dari hilir sampai ke hulu soal fakta Pasee hari ini dan desain Pasee masa hadapan.
Jadi sekali lagi, tidak salah pendapat Teuku Murdani, bahwa Pase itu kaya.
Tapi kaya yang dimaksudkan Teuku Murdani adalah kaya SDA. Seperti di sebuah rumah ada beras, ikan dan sayur. Tetapi ketika di rumah itu tidak ada yang ahli memasaknya, maka tetap saja se isi rumah kelaparan. Dalam fatsoen Aceh kondisi ini disebut meunye jeut ta peulaku on labu jeut keu asoe kaya. Nye hanjeut ta peulaku aneuk teungku jeut keu beulaga.
Maka dari itu ada tiga kata kunci untuk Pasee masa hadapan. Kata kunci itu adalah gagasan, tindakan dan pilihan masyarakat.
Gagasan dan tindakan adalah satu kesatuan yang mengikat dan sedapatnya jangan dipisahkan.
Seorang pemimpin Pasee ke depan adalah sosok yang pada dirinya melekat gagasan sekaligus tindakan (kemampuan melakukan eksekusi). Sosok harapan ini dapat muncul dari mana saja. Boleh produk pendidikan non formal, lebih-lebih lagi output dari pendidikan formal.
Kenapa dua talenta ini — sosok yang punya gagasan sekaligus eksekutor — harus ada pada satu orang, bukan pada dua orang yang terpisah?.
Jawabannya sederhana.
Agar siapapun orangnya dia akan mampu berpikir (punya gagasan) serta sanggup mengeksekusi (melaksanakan gagasannya itu). Bek lagee buya tambue, lheuh kap ka han ek hue.
Akan menjadi malapetaka tatakelola pemerintahan, bila seorang pemimpin hanya punya gagasan tapi tapi tak punya kapasitas melaksanakan gagasan (bukan tipikal eksekutor).
Atau sebaliknya.
Dia memiliki kemampuan eksekusi yang baik, tapi di saat bersamaan dia sama sekali tidak punya gagasan atau minimal tidak punya sensor yang baik untuk mengidentifikasi mana gagasan yang baik dan tidak baik yang disodor pihak lain kepadanya. Akhirnya sebagai kepala daerah dia menjadi sarung tangan pihak lain untuk kepentingan pihak lain.
Lalu mungkin ada yang bertanya.
Apakah sosok seperti ini – punya gagasan dan sekaligus eksekutor – masih ada untuk selanjutnya diberi amanah memperbaiki Pasee yang lebih baik di masa hadapan?.
Tentu ada dan sangat banyak.
Mereka orang-orang terpelajar, memahami akar dan tata budaya Pasee, serta memiliki kualitas pendidikan yang baik, bahkan alumni luar negeri plus berpengalaman di birokrasi. Sosok seperti ada dio Pasee dan di luar Pase. Berjibun!.
Tetapi persoalannya akhir-akhir ini, mayoritas masyarakat Pasee tidak percaya lagi sama orang pandai. Tidak mau memilih orang sekolahan. Serta yakin menjadi bupati itu pekerjaan mudah, semudah menarik nafas serta tanpa perlu syarat tertentu. Ya, semudah bayi menyusui. Bayi saja bisa.
Dari itu yang saat ini perlu dilakukan berbagai pihak yang menginginkan perubahan lebih baik di Pasee hari ini adalah melakukan pencerahan dan pencerdasan politik warga.
Jika menginginkan perubahan ke arah lebih baik, masyarakat jangan terperdaya lagi dengan janji-janji manis. Jika sang penebar janji tidak mampu menjelaskandengan baik cara dia menunaikan janjinya itu.
Tanyakan kepada “yang berminat” apa saja persoalan berat di Pasee hari ini dan apa gagasan dia untuk menyelesaikan persoalan berat itu. Bek meu ngom-ngom.
Pilihan rakyat sebagai kata kunci ketiga masa depan Pasee juga sangat menentukan.
Ibarat bermain bola, pilihan masyarakat Pasee – apakah memilih calon yang punya gagasan dan kemampuan eksekusi atau seperti biasa memilih calon penebar janji – itu ibarat tendangan penalti.
Pilihan pertama akan menghasilkan gol yang diotorisasi sebagai poin kemenangan oleh wasit, yang selanjutnya menyebabkan pemain dan pendukung bahagia, sejahtera dan terhormat.
Sebaliknya, pilihan kedua ibarat penendang penalti yang tidak berpengalaman, alih-alih menghasilkan gol justru tendangannya mengarah ke luar mistar gawang, yang selanjutnya akan menyebabkan pemain menjadi pecundang dan pendukung club kecewa dan melanjutkan hidup menderita.
Mari kita menunggu dan terus berdoa!.[]