Biro Penerangan Aceh-Sumatera Merdeka Sesalkan Pernyataan Yusril Ihza Mahendra Soal Peristiwa 98 Bukan Pelanggaran HAM Berat

Biro Penerangan Aceh Merdeka, Syukri Ibrahim atau lebih dikenal Wareeh. [Foto: Istimewa]

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Biro Penerangan Aceh-Sumatera Merdeka, Syukri Ibrahim, menyesalkan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa peristiwa 1998 bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

banner 72x960

Menurut Syukri, pernyataan Yusril Ihza Mahendra ini sangat tidak bermoral.

“Bagaimana mereka menafikan pelanggaran HAM berat, bahkan cleansing ethnics (pembinasaan bangsa) yang telah terjadi selama mereka menamakan dirinya “merdeka” semenjak tahun 1945 biarpun sebenarnya mereka menjajah negeri-negeri dan bangsa-bangsa lain di dunia Melayu ini,” ujar Syukri dalam keterangan pers yang diterima Theacehpost.com, Banda Aceh, Kamis (2/1/2025).

Syukri menambahkan, sangat memalukan jika Yusril Ihza Mahendra menyatakan tidak ada kasus pelanggaran HAM berat.

“Apakah mereka menutup mata dengan apa yang telah mereka lakukan terhadap anak-anak jajahan yang mereka akui sendiri sebagai bangsa mereka? Kita kilas balik apa yang telah terjadi dan menjadi sejarah kelam terhadap kita, dan mereka tidak mau bertanggung jawab sama sekali. Sebab mereka adalah pembunuh bangsa yang berdarah dingin,” tegas Syukri.

“Kita buka mata mereka supaya tahu apa yang telah mereka buat dan kita lihat juga bagaimana mereka mencuci tangan yang berlumuran darah terhadap bangsa kita,” tambahnya.

Syukri mengatakan, kita tidak menceritakan dengan secara detail tentang apa yang telah mereka lakukan terhadap bangsa Aceh pada suatu masa.

Secara umum, semua mengetahui apa yang telah terjadi Alue Ie Nireh, Krueng Tuan, Lhok Nibong, Sama Dua, Beutong Ateuh, Gedung KNPI Aceh Utara, Idi Tjut, Kandang, Peudada, Rumoh Geudong, Simpang KKA, Bumi Flora, Relawan LSM RATA dan banyak lagi yang tidak mampu kita sebutkan di sini.

“Yang kita sebutkan di atas hanya kasus dalam sekitar akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an. Jika kita kaji ke sejarah yang lebih jauh, akan terkuak lagi pertumpahan darah yang telah mereka lakukan terhadap bangsa Aceh dan dunia Melayu lainnya,” ujarnya.

“Lihatlah, apa yang mereka lakukan masa PKI? Dengan semena-mena mereka membunuh rakyat yang tidak berdosa dengan alasan sebagai penyokong PKI. PKI yang hanya berkembang pesat di pulau Jawa sahaja itupun tidak seluruhnya, hanya sedikit di Sumatera dan sama sekali tidak diterima di Aceh sebab sangat berlawanan dengan prinsip dan sikap kehidupan orang Aceh, walaupun begitu sangat banyak orang Aceh yang dibunuh dengan alasan PKI dan pihak Indonesia tidak mau menyelidiki apalagi bertanggung jawab terhadap pembunuhan tersebut,” lanjutnya.

Di Aceh, kata dia, banyak pertumpahan darah yang telah dilakukan dengan dalih keamanan. Keamanan yang mereka sebut adalah nestapa bagi bangsa Aceh sendiri.

“Selama Aceh berdiri sebagai satu negara yang makmur, tidak pernah ada sejarah yang tidak aman. Kami tidak pernah aman semenjak mereka dari seberang datang ke Aceh dan membuat kekacauan. Bagaimana bisa ada kedamaian di Aceh dengan mereka membawa senjata api-bedil-ke Aceh?” tuturnya.

“Bagaimana bisa aman dengan membawa aturan dari seberang yang kami sendiri tidak paham dengan aturan nenek moyang mereka yang tidak pernah diakui dunia tersebut? Sebab biarpun secara sepihak mereka mengakui Aceh adalah sebagai bagian dari mereka, maka semua yang terjadi di Aceh adalah tanggung jawab mereka. Apalagi yang terjadi itu adalah perbuatan yang diperintahkan dari Jakarta sendiri. Mereka memerintah, memberikan perintah, mereka lakukan lalu mereka menyembunyikan tangan. Seperti pepatah orangtua kita dulu ‘Lempar batu sembunyikan tangan’. Ini bukan sekadar lempar batu sembunyikan tangan, ini adalah bunuh mereka dan sembunyilah di Jakarta. Kenyataannya begitu,” tambahnya.

Buka lagi sejarah tentang DI-TII di Aceh. Pada itu ada petinggi Aceh yang mau mengikuti Indonesia sebagai pusat. Karena kebijakan Jakarta sangat merugikan Aceh orang Aceh masih bersih hati mengakui dalam bingkai Indonesia dan menamakan diri sebagai pengikut DI-TII yang masih terselip Indonesia di dalamnya.

“Jika kita lihat dari hukum kewarganegaraan, orang Aceh masa itu adalah warga Indonesia yang memberontak. Jika warga negara yang memberontak apakah harus dibunuh? Walau pada hakikatnya memberontak ini karena ketidakpuasan terhadap kebijakan Jakarta,” ujarnya.

Pada ketika inilah terjadi peristiwa Pulot Tjot Djeumpa pada 26 Februari dan 4 Maret 1955. Pembantaian ratusan warga sipil yang tidak bersenjata. Apakah rakyat sipil yang tidak bersenjata juga dikategorikan sebagai pemberontak? Ini tidak akan pernah terjadi jika hal ini terjadi di Jawa.

Semua yang Jawa lakukan di Jawa adalah ‘kebenaran’ semata dan tidak boleh dibantah oleh siapapun. Apakah ini terjadi masa penjajahan? Benar ini adalah masa penjajahan ‘Indonesia-Jawa” di Aceh.

“Jika tidak mengaku sebagai penjajah bertanggungjawablah atau sebab menjajah maka ini tidak dapat dikategorikan pelanggaran HAM. Penjajah tidak pernah mengakui pembasmian bangsa itu sebagai pelanggaran HAM. Ingat anak jajahan tidak pernah diakui sebagai manusia dan dapat diberlakukan dengan semena-mena,” tegasnya.

Bahkan, kata dia, mereka sendiri sangat pandai bersilat lidah untuk melepaskan tanggung jawab terhadap keluarga korban atau malah terhadap bangsa yang telah mereka hancurkan. Dengan mudahnya mereka berdalih ‘oh itu adalah perbuatan Orde Lama’. ‘Oh itu adalah perbuatan Orde Baru’.

“Oh itu adalah perbuatan masa Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo, Jokowi dan lain seterusnya sampai masa akan datang selama kita masih dalam jajahan mereka. Yang sangat jelas mereka tidak mahu bertanggung jawab terhadap kesalahan besar yang mereka lakukan sendiri. Dengan begitu pemerintahan sekarang seolah-olah terlepas dari sejarah kelam terhadap kita yang dijajahnya. Dasar tidak beradab,” ujarnya.

Sebagai pemerintahan yang beradab di luar, perlakuan pemerintah Canada, dengan resmi mengatakan “Today, the Honourable Gary Anandasangaree, Minister of Crown–Indigenous Relations, on behalf of the Government of Canada, formally apologized to Aundeck Omni Kaning, M’Chigeeng, Sheguiandah, Sheshegwaning and Zhiibaahaasing First Nations for past wrongs relating to the Crown’s mismanagement of their monies in the late 1800s and the negative impacts experienced by the five communities as a result”.(Hari ini, Yang Terhormat Gary Anandasangaree, Menteri Hubungan antara Mahkota-Pribumi, atas nama Pemerintah Kanada, secara resmi meminta maaf kepada Bangsa Pertama Aundeck Omni Kaning, M’Chigeeng, Sheguiandah, Sheshegwaning, dan Zhiibaahaasing atas kesalahan masa lalu yang berkaitan dengan kesalahan pengelolaan uang mereka oleh Mahkota pada akhir tahun 1800-an dan dampak negatif yang dialami oleh kelima komunitas sebagai akibatnya. Mereka dengan tegak meminta maaf atas kesalahan pengaturan keuangan bangsa Asli Canada.

“On Wednesday June 11, 2008, the Prime Minister of Canada, the Right Honourable Stephen Harper, made a Statement of Apology to former students of Indian Residential Schools, on behalf of the Government of Canada.” “Pada Rabu 11 June, 2008, Perdana Menteri Canada, Yang Terhormat Stephen Harper, menyampaikan Pernyataan Permohonan Maaf kepada mantan siswa Sekolah Asrama Indian, atas nama Pemerintah Kanada.” Permintaan maaf ini karena kesalahan dalam pengelolaan sekolah berasrama yang meracuni pikiran anak-anak asli Canada untuk membenci bangsa Aslinya sendiri. Bagaimana dengan anak-anak orang Aceh yang telah dihilangkan rasa dan pikirannya sebagai Bangsa Aceh dan dijadikan pemikiran anak jajahan? Jangankan untuk minta maaf terhadap apa yang dilakukan, malah masih terus dilakukan sekarang.

“Jika kita mau, bisa kita lihat bagaimana bangsa-bangsa beradab lainnya mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf terhadap apa yang telah dilakukan. Contohnya Pemerintah California meminta maaf kepada Bangsa Asli Amerika terhadap pembasmian ethnics, antara tahun 1846-1843, Belgia untuk bangsa Kongo, Australia terhadap bangsa Aborigin, Argentina, Mexico dan berpuluh-puluh negara lain mengakui kesalahan silam mereka. Kenapa? Jawabnya karena mereka masih beradab. Apakah “Indonesia-Jawa” sangat tidak beradab (biadab) sehingga tidak perlu minta maaf?” kata dia.

“Berdiri tegaklah, angkat kepala, terhormatlah dan akui yang Indonesia-Jawa adalah penjajah dan untuk mengekalkan penjajahan maka kami bunuhlah mereka yang tidak mau mengakui kami sebagai penjajah. Ini sangat terhormat,” pungkasnya. (Akhyar)

Baca berita The Aceh Post lainnya di Google News dan saluran WhatsApp

Komentar Facebook