Beranikah DPRA Menambah Sanksi Rajam Dalam Revisi Qanun Jinayat?
Oleh: Cut Ernita, S.H.*)
BANYAKNYA kasus kekerasan seksual di Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam sungguh sangat ironis. Terlebih lagi kasus yang menyedot perhatian publik dan memantik reaksi dari berbagai kalangan itu banyak menimpa perempuan dan anak-anak yang masih di bawah umur.
Kasus kekerasan seksual dengan berbagai bentuk dan motifnya banyak terjadi di lingkungan pekerjaan, lembaga pendidikan, dan tempat-tempat lain yang di luar perkiraan banyak orang. Bahkan, penulis sendiri tak luput dari kasus tersebut.
Harus ada sanksi hukum yang lebih berat terhadap pelakunya jika kita menginginkan kasus yang menghancurkan masa depan korban ini bisa diminimalisir.
Sudah seharusnya DPR Aceh segera menyelesaikan revisi Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Jika qanun hasil revisi itu bisa segera disahkan, tentu akan ada penerapan sanksi hukum yang lebih berat terhadap pelakunya. Tidak seperti selama ini, hanya berupa sanksi cambuk saja yang tidak memberikan efek jerabahkan pelaku rentan mengulangi kejahatan serupa.
Sanksi sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat berbeda dengan yang diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sanksi hukumannya bisa 20 tahun penjara, seumur hidup atau bahkan hukuman mati apabila pelaku melakukan kejahatan berulang kali.
Mempertimbangkan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali (hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum) sudah seharusnya di dalam Qanun Jinayat menambahkan sanksi rajam, sehingga saat menjatuhkan sanksi terhadap pelaku kejahatan tidak perlu dibarengi dengan ketentuan sanksi dalam perundang-undangan yang bersifat umum.
Lagipula sanksi rajam bukan suatu hal yang asing di Aceh yang menganut hukum syariat Islam. Bahkan di zaman Kesultanan pun sudah pernah dijalankan.
Pentingnya kasus ini mendapat perhatian serius semua pihak karena kekerasan seksual tergolong ke dalam kejahatan extraordinary crime (kejahatan luar biasa).
Karenanya, menurut hemat penulis, lebih adil jika sanksi yang diterapkan itu adalah rajam sehingga dengan adanya sanksi rajam ini kemungkinan besar pelaku akan berpikir berkali-kali ketika hendak melakukan kejahatan.
Penulis juga sangat mengapresiasi perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang akhirnya melahirkan berbagai kesepakatan dengan Pemerintah RI.
Semasa perjuangan GAM, juga tak bisa dikesampingkan salah satu unsur dalam pergerakan tersebut yaitu Inong Balee. Maka, sudah sewajarnya pemerintah memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap hak-hak perempuan dan anak agar terbebas dari berbagai kejahatan, termasuk kekerasan seksual. Semoga.[]
*) Penulis adalah anggota Peradi Banda Aceh, putri mantan kombatan GAM.