Birahi Pemekaran Kabupaten/Kota di Aceh

Peta Aceh

Catatan Darmansyah/Theacehpost.com

banner 72x960

BIRAHI pemekaran daerah (kabupten/kota) di Aceh bisa diibaratkan bak api dalam sekam. Nggak pernah padamnya.

Namanya saja api dalam sekam.

Anda tahulah makna petitih itu. Petitih bijak indatu tentang ide yang disembunyikan. Ide sembunyi yang tak pernah padam walau musim berganti.

Ide yang ketika dikibas angin akan berkobar kembali. Hidup lagi. Besar kecil kobarannya tergantung kencang dan pelannya kibasan sang angin.

Saya tak tahu sekencang apa kibasan angin  ketika ide pemekaran kabupaten/ kota di Aceh itu hidup kembali di siang tadi. Hidup dalam berita media online yang saya baca setengah takzim.

Berita siang ketika saya sedang asik mengikuti kobaran perang antara Rusia dengan Ukraina di chanel televisi “al jazeera.” Kobaran perang yang ditiup Vladimir Putin karena berang oleh “kenakalan” Ukraina usai pemekarannya menjadi negara merdeka.

Merdeka setelah Uni Soviet berantakan pascaperang dingin.

Berangnya Putin, sang “kaisar” Rusia itu lewat  delikan  mata tanda tak setuju dengan kegenitan sang Presiden Ukraina yang mbonceng  kereta ekonomi dan blok pertahanan Eropa.

Kegenitan seorang presiden yang pelawak. Pelawak yang sejak dulu tak pernah percaya dengan media benaran. Saat kampanye kepresidenan dua tahun lalu hingga hari ini ketika Kiev, ibu kota Ukraina, dimasuki tentara Rusia.

“Saya lebih percaya dengan twitter, facebook dan instagram,” kata si pelawak bernama Volodymyr Zelensky itu.  Yang presiden itu.

Si pelawak yang sembunyi entah di mana untuk menghindar dari penculikan tentara Putin. Pelawak yang terus berkicau di media sosial lewat pesan video berantai.

Saya tak tahu apakah ide pemekaran kabupaten/kota di Aceh itu juga berasal dari kegenitan ala pelawak. Para pelawak yang tentunya tidak sekelas dengan Zelensky.

Genitnya ide pemekaran ini tentu tak bermaksud untuk kepentingan kampanye pilkada atau apalah. Tidak juga genit bonceng membonceng pakta pertahanan atau blok ekonomi.

Sebab, mana ada pakta memakta dan balik memblok untuk sebuah pemekaran yang bernama kabupaten/kota. Kalau pun itu ada konyol namanya.

Ide  pemekaran kabupaten/kota di Aceh ini sangat jelas kaplingnya. Jelas kabupaten dan kotanya.

Contohnya pemekaran Kabupaten Aceh Selatan. Kaplingnya mulai dari Terbangan hingga ke Trumon.

Kaplingnya yang jelas kecamatannya, luas daerahnya, dan berapa jiwa jumlah penduduknya. Jelas juga nama kabupaten pemekerannya. Kabupaten Aceh Selatan Jaya. Akronimnya juga jelas. Asjaya. Ibu kotanya Bakongan.

Untuk contoh pemekaran Aceh Selatan Jaya ini semuanya jelas, kan?

Kalau ada yang masih nggak jelas, mungkin, arti kata jayanya. Terserah Anda dan mereka yang punya idelah.

Ada lagi pemekaran lain. Pemekaran kota untuk Meulaboh. Ibu kota Aceh Barat yang menyebabkan Kabupaten Aceh Barat diminta mencari ibu kota baru.

Itu baru dua pemekaran dari rencana empat pemekaran yang sedang mekar di Provinsi Aceh.

Untuk berita pemekaran  di dua kabupaten ini saja  saya  harus menahan gelak. Menahan gelak bukan karena ide ini di-”main”-kan oleh para pelawak.

Tapi gelaknya akal sehat saya. Akal sehat manfaat dari pemekarannya.

Manfaat yang di- “roadmap”- kan dari sebuah studi oleh para ….. Anda tahulah isian titik titik ini,  untuk  memakmurkan negeri.

Saya ulang, memakmurkan negeri.

Inilah salah satu bait kalimat yang saya kutip dari tulisan media online pada siang itu. Kalimat yang saya sendiri tidak punya kewajiban untuk menjawabnya.  Sebab jawaban sahihnya ada di mereka yang mengepit bundel roadmap dan kertas studi itu sendiri.

Mereka yang mengibarkan jargon “perjuangan”. Perjuangan untuk pemekaran.

Kalau pun saya diberi ruang jawabnya paling hanya bisa dengan dehem. Hem..hem.. hem.

Dehem ajakan untuk membuka lembar sejarah pemekaran kabupaten dan kota di Aceh.

Lembar sejarah yang dimulai dari pemekaran Kabupaten Aceh Tengah. Aceh Tengah yang dibelah dua. Belahannya menjadi Aceh Tenggara dengan ibu kota di Kutacane.

Belahan yang menjadikan Syahadat sebagai bupati pertamanya. Belahan yang sejarahnya kalau saya tulis pasti panjang dan membosankan untuk dijadikan bacaan.

Belah membelah ini untuk Aceh Tengah ini terus berlangsung dengan mekarnya Kabupaten Bener Meriah. Aceh Tenggara sendiri mekar lagi dengan hadirnya Kabupaten Gayo Lues.

Saya tak tahu apakah Kabupaten Aceh Tengah ini akan kembali mekar di masa datang. Untuk menjawabnya Anda perlu memakai ilmu terawang. Ilmu yang datang dari langit perjuangan.

Pemekaran di Aceh bukan hanya milik negeri Gayo sana saja. Ada juga mekarnya Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie.

Mekarnya di Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie tidak semekar di Aceh Barat, Tengah, dan Selatan. Yang mekar semerbak dan akan mekar lagi.

Dan yang mekar dan pemekaran itu cuma Aceh Besar dan Sabang. Nggak pernah mekar.

Mekar kabupaten dan kota di Aceh ini menyebabkan jumlah kabupaten dan kotanya menggelembung dari sembilan menjadi dua puluh kabupaten dan kota di hari ini.

Dan entah berapa lagi jumlahnya kalau rencana mekar empat kabupaten dan kota yang diperjuangkan kali ini berhasil lagi.

Anda hitung sendirilah. Kalau saya mumet menghitungnya lewat jemari tangan dan jemari kaki. Salah terus.

Yang nggak pernah salah kalau saya disuruh menghitung pemekaran di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat.

Kan dua kabupaten ini asoe lhok saya. Asoe lhok  yang merek moto (busnya) pe-em-a-be-es. Persatuan motor aceh barat selatan yang saya tahu pemilik, stasion, gudang, cat tulisan mereknya.

Moto yang pernah akan saya perjuangkan menjadi provinsi bersama Malik Ridwan Badai dan Sukardi Is. Yang kemudiannya berhenti ketika dihadiahi merek perwakilan provinsi saja.

Aceh Selatan itu mekar menjadi tiga kabupaten dan satu kota.  Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Singkil plus Kota Subullussalam. Dan akan mekar lagi menjadi Aceh Selatan Jaya.

Sedangkan Aceh Barat sudah bermekaran menjadi Kabupaten Simeulue, Nagan Raya, dan Aceh Jaya. Plus, kalau jadi, Kota Meulaboh.

Ketika kabar pemekaran ini saya jalarkan lewat media sosial WhatsApp ke seorang teman nun di ujung bumi sana, Roterdaam, Belanda, ia membalas dengan pesan mengejek. Wkwkwkwk mengiringi ilustrasi gambar tutup mulut.

Saya nggak puas dengan jawaban pesannya itu dan reflek memencet nomor hapenya lewat video call di layar laptop. Wajahnya muncrat. Tak ada lagi wkwk …dan ilustrasi aksi gambar tutup mulut.

Yang ada wajah tersenyum mengiringi salam takzimnya.

“Maaf, Bang,” ujarnya dalam suara berdesis.

Saya juga membalas dengan senyuman. Untuk kemudian ngalor ngidul membahas ide pemekaran. Ide pemekaran yang kemudian berlanjut ke ceramahnya tentang jalan ringkas menuju kata makmur.

Kata makmur yang menjadi studi doktoralnya. Doktoral yang menempatkannya sebagai peneliti.

“Peneliti yang nggak kepakai di gampong tanyoe,” katanya bergurau menggumamkan kata sentimentil.

Sebagai seorang yang bukan berangkat dari seorang ilmuan peneliti saya harus manggut-manggut dengan isian ceramahnya di pagi itu. Isian ceramah yang memakai banyak kata science.

Sebagai seorang jurnalis saya tak harus menulis semua ucapannya. Saya tahu menyimpulkannya. Mengambil sari patinya. Sari pati bagaimana seorang pejabat kabupaten dan kota memakmurkan negerinya.

Memakmurkan lewat peta jalan studi lapangan, perencanaan matang, dituangkan dalam cetak biru untuk kemudiannya diukur oleh layak kelayakan.

Bukan hanya dari ukuran pemekaran. Pemekaran yang nggak salah kalau ukurannya untuk mendekatkan kemakmuran dengan kebijakan. Tentu bukan kebijakaan sana dan kebijakan sini yang hitungan peng bicah (uang receh).

“Ada kata kunci lain, Bang. Kreatifitas. Kan setiap daerah beda latar dan kondisi geografisnya,”  kata si kawan. Kebijakan untuk mengukur cerdas atau jongkoknya seorang pemimpin kabupaten dan kota.

Dan banyaklah isian yang ia ceramahin.

Pokoknya saya dapat tambahan cas batere. Tambahan cas gratis dari seorang doktor ekonomi region, Seorang doktor yang usianya junior saya.

Junior yang datang dari sebuah gampong di Kluet sana. Kluet yang gampongnya ikut menjadi bagian pemekaran di Aceh Selatan.

“Ide pemekaran nggak salah-salah amat, Bang,” lanjutnya yang langsung saya balas dengan  “kick” menggoda. “Nggak salah amat karena kampuang ang menjadi kabupaten baru.”

Ia terbahak. Dan mengibaskan tangan sebagai penolakan atas jawaban saya. “Nggak…nggak..ah..,” balasnya tergagap.

Dan kami pun larut dalam tawa sebagai ending dari cerita pemekaran. []

Artikel dengan tema yang sama juga ditayangkan di www.nuga.co dan acehtime.com.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *