Bapak Kepala
Oleh: Sulaiman Tripa
DUA hari yang lalu, saya dan seorang kolega, berkesempatan mengunjungi satu kawasan pedalaman Aceh Timur. Malam menjelang dini hari sampai ke Idi. Paginya baru ke Lokop. Jalan ke sana, agak rusak. Di perjalanan, saya tahu dari masyarakat bahwa jalan ini sudah berulang-ulang diprogramkan. Entah kenapa selalu gagal. Lubang menganga. Sepanjang jalan. Jarak sekitar 80 kilometer, harus ditempuh dalam waktu 4-5 jam.
Dari Lokop bisa tembus ke Pining, satu kawasan di pedalaman Gayo Lues. Saya belum pernah melewati jalan ini menuju Pining. Tapi lewat Gayo Lues, saya sudah pernah berkunjung ke kawasan itu. Pining.
Beginilah keadaan jalan tembus. Padahal di dalamnya, juga ada masyarakat yang seharusnya mendapat fasilitas pembangunan dengan baik. Apalagi bukan jalan baru. Jalan sudah pernah diaspal, lalu rusak lagi. Masalahnya, apalagi ketika berhadapan dengan kawasan hutan, pembangunan jalan juga memiliki risiko. Ada penumpang gelap yang mengambil untung. Ada pihak yang menggunakan kesempatan membabat hutan yang ada di sekitar jalan.
Terlepas bagaimana kondisi itu berlangsung. Dari kunjungan ini, saya mendapatkan banyak pengalaman menarik. Pengalaman yang akan saya butuhkan saat mengajar. Ketika berbicara tentang hukum, tidak mungkin mengetamnya dari berbagai keadaan dan relasi yang mengelilinginya.
Saya menginap di Idi. Ketika sarapan pagi, secara tidak sengaja, kami duduk berdampingan dengan seorang bapak kepala yang secara khusus mungkin sedang berdinas. Praktis ada tiga meja yang digunakan rombongan bapak ini. Keluarga dan para ajudan. Jelas tidak mungkin tidak terdengar apa yang mereka bicarakan. Letak meja hanya setengah meter. Dan tentu, saya bisa membedakan peran dan status dari masing-masing mereka yang berbicara. Dengan isi pembicaraan, saya bisa berpikir posisi mereka.
Bagaimana sikap mereka terhadap orang-orang di meja utama, saya juga bisa paham. Sepertinya selain bapak kepala, ada istri dan anaknya. Di dua meja yang lain, ada rombongan para pengurus dan pengelola bapak kepala.
Bagi saya tentang apa yang terlihat di depan saya itu menarik. Dengan zaman berkembang begini, ternyata masih ada orang yang dilayani hingga urusan sepatu. Masing-masing memiliki urusan yang berbeda. Pada keadaan begini, antara tanggung jawab dinas dengan bukan urusan dinas, sepertinya sulit dibedakan.
Ternyata begitu sigap para orang-orang yang membantu bapak kepala. Saya kadang-kadang tertawa dalam hati. Kok teganya bapak kepala juga tidak menegur orang-orang di sekelilingnya begitu rupa. Atau barangkali bapak kepala juga sangat menikmatinya.
Dalam perjalanan, saya katakan kepada kolega, perihal mengapa orang berebut untuk mendapat jatah perhatian bapak kepala. Walau dengan berbagai jurus. Dunia semakin berkembang. Mentalitas bisa jadi belum juga berubah. Sejumlah mantan bapak kepala yang saya kenal, yang pernah saya kunjungi, mengaku merasa sepi dan sunyi. Pengalaman pagi dua hari yang lalu ini, secara tidak langsung memberi arti sepi dan sunyi itu. []