Balai Syura: Qanun Aceh Jamin Hak Perempuan Duduki Jabatan Politik

Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Khairani Arifin,

Theacehpost.com | BANDA ACEH – Balai Syura Ureung Inong Aceh, lebih dikenal dengan Balai Syura, bersama seluruh elemen gerakan perempuan, mengeluarkan pernyataan sikap terkait kontroversi di media sosial yang menolak partisipasi perempuan Aceh dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

banner 72x960

Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Khairani Arifin, menegaskan bahwa pernyataan kontroversial yang menolak partisipasi perempuan Aceh dalam Pilkada merupakan penafsiran yang sempit terhadap ajaran Al-Qur’an. Pernyataan ini disampaikan dalam keterangan tertulis yang diterima oleh Theacehpost.com pada Selasa, 23 Juli 2024.

“Balai Syura dan seluruh elemen gerakan perempuan menegaskan bahwa memilih dan dipilih dalam Pemilu dan Pilkada merupakan hak politik warga negara Indonesia, termasuk perempuan Aceh,” ungkap Khairani Arifin, yang akrab disapa Rani.

Rani menjelaskan bahwa jaminan atas hak ini telah dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi dan sejumlah peraturan perundang-undangan di bawahnya, baik dalam bentuk Undang-undang (UU) maupun Qanun. Hal ini sejalan dengan prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan substantif yang dinyatakan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (UU No 7 Tahun 1984).

Lebih lanjut, Rani menegaskan bahwa tidak ada satu pun undang-undang yang melarang perempuan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Bahkan, UU Pemerintah Aceh (UUPA), UU Pemilihan Kepala Daerah, serta Qanun Aceh tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, menjamin hak-hak tersebut.

“Bahkan UUPA telah mewajibkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan,” tegasnya.

Qanun Aceh

Pasal 8 Qanun Aceh tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan juga menegaskan jaminan atas hak perempuan untuk menduduki posisi jabatan politik di eksekutif maupun legislatif secara proporsional, melakukan berbagai aktivitas politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dicalonkan sebagai anggota legislatif oleh partai politik nasional maupun partai politik lokal.

Oleh karena itu, larangan bagi perempuan Aceh untuk mencalonkan diri dalam Pilkada merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan dan perampasan hak konstitusional perempuan.

Rani juga menjelaskan bahwa sejarah Islam mencatat peran penting tokoh perempuan seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, dan Sayyidah Fatimah dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam, tanpa melarang mereka untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan politik. Aceh sendiri memiliki warisan kepemimpinan perempuan yang kuat dengan empat ratu yang memimpin Aceh selama 59 tahun, didukung oleh dua ulama besar, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf As-Singkili.

“Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki tempat yang penting dalam sejarah kepemimpinan di Aceh,” tegasnya lagi. Rani menambahkan bahwa penting bagi publik di Aceh untuk mempelajari kembali sejarah ini guna menghindari kesalahpahaman dan merawat ingatan bersama.

Pernyataan Sikap

Menyikapi permasalahan tersebut, Balai Syura Ureung Inong Aceh dan seluruh elemen gerakan perempuan menyatakan sikap:

1. Mendesak Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, agar:

a.Memastikan setiap warga negara termasuk perempuan terlindungi dan terpenuhi hak konstitusionalnya sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, termasuk memastikan setiap perempuan yang mencalonkan diri dalam Pilkada atau terlibat dalam politik tidak menghadapi diskriminasi atau hambatan karena keberadaannya sebagai perempuan.

b. Mengambil langkah-langkah konkret untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dalam politik, termasuk mendukung keterlibatan mereka dalam bursa Pilkada dan posisi kepemimpinan politik lainnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

c. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak perempuan dalam politik, serta menghapus stereotip dan prasangka gender yang dapat menghalangi partisipasi perempuan.

2. Meminta Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota untuk meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan konten atau materi kampanye yang mengarah kepada hoax dan politisasi SARA dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sejak dari tahap persiapan, serta melakukan langkah-langkah konkret untuk pencegahan.

3. Menyerukan kepada seluruh bakal calon/calon kepala daerah dan tim suksesnya agar berkompetisi secara fair dalam keseluruhan tahapan proses pemilihan kepala daerah, tanpa melakukan politisasi agama/politisasi Syariat Islam untuk menjegal perempuan menggunakan hak politiknya.

“Sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk, kami percaya bahwa partisipasi penuh perempuan dalam kepemimpinan politik adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan berdaya,” tutupnya. []

Komentar Facebook