Al-Qur’an Efek, Pasca Perhetalan MTQ ke-36 Simeulue

Oleh: Irwanda M. Jamil, S.Ag. (Kabid Dakwah Dinas Syariat Islam (DSI) Kota Banda Aceh, Penanggung Jawab Lapangan Kafilah Kota Banda Aceh di MTQ Aceh-36 di Semeulue)

banner 72x960

Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Aceh ke-36 telah dihelat di kepulauan Simeulue, Kabupaten Sinabang, sebuah pulau terluar di Sumatera yang dulu terkenal dengan Cengkih, dan kini terkenal dengan laqab baru, yakni Kota Lobster.

Diketahui bahwa MTQ adalah perhelatan Akbar di negara muslim terbesar di dunia ini, yakni di Indonesia, karena seleksi peserta dimulai dari tingkat mukim, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, tingkat provinsi hingga nasional.

Artinya ini sebuah perhelatan akbar yang dipersiapkan dengan matang sebagai generasi dan masyarakat Qur’ani yang paripurna menyongsong Indonesia Emas 2045.

Dari sambutan masyarat yang sangat antusias di berbagai daerah, kegiatan yang mulia, bersejarah dan menjunjung tinggi sportivitas ini sejatinya tidak sekadar dipandang sebagai program rutinitas atau formalitas semata, layaknya perlombaan musiman, melainkan juga, MTQ Aceh ini mesti dipahami sebagai upaya membuka ruang motivasi, syiar dan ajang kontestasi keahlian ‘menterjemahkan’ dan menafsiri serta mengamalkan Al-Qur’an melalui berbagai perilaku aktivitas sosial kemasyarakatan – keumatan.

Dengan berbagai perlombaan, jelas terlihat perkembangan prestasi generasi Aceh yang dihadiri oleh berbagai kafilah dengan latar daerah, suku dan bahasa yang beragam se-Aceh merupakan suatu wujud nyata bahwa tingkat religiusitas masyarakat Aceh masih kental. Dengan mencermati perhelatan MTQ Aceh ini senantiasa kita masih yakin bahwa proses penguatan umat Islam di Aceh menuju perwujudan syariat Islam secara kaffah di kabupatan/kota se-Aceh akan semakin terasa.

Seiring dengan tantangan global, terutama dari sisi kesadaran umat Islam kekinian, kegiatan MTQ Aceh sebuah keniscayaan dalam rangka syiar dan dakwah untuk saling mengingatkan satu sama lain dalam mengagungkan al-Quran yang tercerminkan dari perilaku bermasyarakat.

Dari giat Akbar itu, ada sejumlah pesan tersirat yang dapat disampaikan melalui MTQ, di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, pesan kepada kita semua untuk selalu menjadikan al-Quran sebagai petunjuk di tengah kompleksitasnya tantangan kehidupan kekinian.

Penulis yakin bahwa di setiap kesibukan, baik dalam bekerja untuk menafkahi keluarga atau bekerja untuk melayani kebutuhan masyarakat, mungkin membaca al-Quran ditinggalkan. Untuk itu, melalui penyelenggaraan MTQ Aceh ke-36 ini senantiasa dapat menggugah nurani publik terkait kesadaran seberapa dekatnya kita dengan al-Quran hari ini.

Apakah kedekatannya dalam bentuk rajin membaca al-Quran setalah salat lima waktu? atau lebih dari itu aktif menghadiri pengajian tafsir, menghafalkannya hingga mengamalkannya di setiap waktu.

Dalam konteks ini, sebagai masyarakat Aceh kita patut bersyukur bahwa secara regulasi dan budaya di Aceh masih peduli dan akan terus mengedepankan prinsip-prinsip syariat Islam.

Kedua, meningkatkan ukhuwah islamiyah di manapun dan kapanpun. Terlihat dari penyelengaraan MTQ Aceh yang menjadi tuan rumah secara bergiliran antar kabupaten/kota di Aceh merupakan filosofi bahwa titik “membumikan Al-Quran” akan selalu dihidupkan di berbagai wilayah se-Aceh tanpa terkecuali. Dengan itu, diharapkan setiap kabupaten/kota se-Aceh akan menjadi lentera-lentera penerang untuk terus mengagungkan al-Quran dengan berbagai upaya kreatifitas daerah masing-masing.

Ketiga, memotivasi dan mengedukasi generasi muda agar tetap menjunjung tinggi akhlakul karimah. Dalam pesan ini, generasi muda menjadi prioritas untuk terus dibuka ruang melanjutkan program cinta al-Quran. Apakah itu dalam bentuk memberikan beasiswa bagi hafiz al-Quran, hingga menghidupkan kegiatan magrib mengaji seperti yang dikenal dalam budaya riligi khas Aceh.

Hal ini dinilai penting untuk menjadikan generasi muda untuk dekat terhadap nilai-nilai al-Quran hari ini karena perilaku generasi milenial atau yang disebut sebagai generasi X dan Z saat ini cenderung dipandang rapuh mentalitasnya dalam menghadapi tantangan kehidupan beragama sesuai syariat Islam.

Hari ini, dengan kasat mata mungkin kita mudah menemukan adanya generasi muda yang aktif sebagai kreator di dunia digital, namun waktunya untuk mengaji atau membaca al-Quran mungkin jarang atau minim.

Keempat, tidak kalah pentingnya adalah pesan yang tersirat dari MTQ ke-36 yaitu saling mendukung kegiatan yang berorientasi pada kesalihan publik. Kesalihan publik yang dimaksud adalah tingkat aktivitas masyarakat yang lebih mengedepankan kepentingan ukhuwah Islamiyah, bukan lebih menonjolkan kepentingan pribadi atau sanak-saudara tertentu. Dalam kesadaran kesalihan publik, masyarakat berkeyakinan bahwa semua umat adalah saudara, berarti jika ia menyakiti manusia lainnya, maka sama artinya menyakiti dirinya sendiri.

Begitupula dengan apa yang diharapkan setelah kegiatan MTQ Aceh ke-36 seiring dengan bertambahnya jumlah kegiatan MTQ dan semisal MTQ seperti Festifal Qur’ani, Festifal anak shaleh dan lainnya di Aceh ini, seiring itu pula kita do’akan semakin bertambahnya masyarakat Aceh yang mencintai al-Quran, akan semakin meningkat pula kesolehan publik di Aceh, hingga tali persaudaraan umat Islam akan semakin kuat dalam mencapai Aceh yang thayyibatun wa rabbun ghafur.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *