AJI Lhokseumawe Sebut Darurat Pers di Indonesia: Dari Kekerasan Hingga Kriminalisasi

AJI Lhokseumawe menggelar aksi solidaritas jurnalis bersama Eksekutif Wilayah LMND Aceh, di Taman Riyadhah Kota Lhokseumawe, Selasa malam, 30 November 2021. [Dok. Irman]

Theacehpost.com | LHOKSEUMAWE – Sejumlah jurnalis dan mahasiswa di Lhokseumawe mendesak penegak hukum mengusut tuntas deretan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Indonesia.

banner 72x960

Para jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe menyampaikan tuntutan itu saat menggelar aksi bersama Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW-LMND) Aceh, di Taman Riyadhah Kota Lhokseumawe, Selasa malam, 30 November 2021.

Aksi ini bertepatan jelang sidang penuntutan kasus kekerasan terhadap jurnalis media Tempo, Nurhadi yang akan berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur, hari ini, Rabu 1 Desember 2021.

Dimulai sekitar pukul 20.15 WIB, aksi tersebut dibuka dengan menyanyikan lagu ‘Darah Juang’ diiringi petikan gitar, dilanjutkan pembacaan sinopsis ‘Potret Kebebasan Pers Indonesia’, puisi ‘Bunga dan Tembok’, dan puisi ‘Pena adalah Senjata’.

Kegiatan ini juga menampilkan teatrikal ‘Indonesia Darurat Kebebasan Pers’ diiringi musikalisasi puisi ‘Peringatan’ dan ‘Puisi untuk Adik’ karya Wiji Thukul, serta puisi ‘Manusia Lensa’ karya Ahmad Satria.

Dalam orasinya, AJI Lhokseumawe memaparkan deretan kasus kekerasan dan dugaan kriminalisasi terhadap jurnalis. Selain kasus Nurhadi, juga pemidanaan terhadap jurnalis Muhammad Asrul di Palopo, Sulawesi. Lalu juga pelaporan terhadap Bahrul Walidin, jurnalis di Bireuen, serta kasus pembakaran rumah yang menimpa Asnawi Luwi di Aceh Tenggara.

“Peristiwa-peristiwa ini telah menambah daftar kasus kekerasan, kriminalisasi, dan teror menimpa insan pers di tanah air, sehingga semakin mencederai demokrasi dan mengguncang kebebasan pers,” kata Irmansyah, Ketua AJI Lhokseumawe.

Sementara itu, Ketua EW-LMND Aceh, Martha Beruh dalam aksi itu menyampaikan rasa prihatinnya soal kerentanan yang dialami jurnalis selama ini. Ia juga menyemangati para jurnalis agar tetap bekerja memberitakan kebenaran.

“Siapa saja yang menggunakan pena atau ujung jari untuk menyampaikan kebenaran dan mengganggu oligarki berpotensi bernasib seperti jurnalis Nurhadi, Muhammad Asrul, Bahrul Walidin, dan Asnawi. Namun, walaupun langit runtuh, jurnalis atau wartawan harus tetap mengabarkan kebenaran demi tegaknya keadilan dalam sistem sebuah negara,” kata Martha Beruh.

Aksi tersebut ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap oleh koordinator lapangan, M Agam Khalilullah, anggota AJI Lhokseumawe.

“AJI Lhokseumawe dan EW-LMND Aceh mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jawa Timur menuntut maksimal kedua terdakwa perkara pelanggaran delik pers dan kekerasan terhadap jurnalis Nurhadi. Mendesak Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya segera memerintahkan penahanan kedua terdakwa perkara tersebut,” tegas Agam.

Selain itu, pihaknya juga menyesalkan putusan pidana tiga bulan penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palopo, kepada jurnalis beritanews, Muhammad Asrul.

“Sebagaimana ditegaskan Dewan Pers, kasus pemberitaan yang dialami Muhammad Asrul, seharusnya diselesaikan melalui mekanisme Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sebagai lex specialis legi generali dari undang-undang lainnya terhadap kasus-kasus yang menyangkut karya jurnalistik,” kata Agam.

Poin berikutnya, massa aksi juga meminta Polda Aceh segera mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SPPP) terhadap kasus jurnalis Metro Aceh, Bahrul Walidin. Desakan tersebut sejalan dengan  pernyataan sikap AJI Indonesia dan LBH Pers yang dikeluarkan beberapa hari lalu.

Terakhir, mereka mendesak Dewan Pers segera membentuk Satuan Tugas Anti-Kekerasan terhadap jurnalis Bahrul untuk mengawal penghentian kasus kriminalisasi tersebut. Dewan Pers harus aktif melakukan monitoring atas implementasi MoU antara Kapolri dan Dewan Pers. Dewan Pers juga harus proaktif mendesak Polri untuk menghentikan kasus-kasus pemidanaan karya jurnalistik.

“Jangan sampai kemudian peristiwa pemidanaan yang menimpa jurnalis Asrul, di Palopo, Sulawesi, atas karya jurnalistiknya, terulang kembali atau terjadi terhadap jurnalis Bahrul di Aceh, dan jurnalis-jurnalis di daerah lainnya,” tegas Agam. []

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *