Bupati Abdya Anggap ‘Ramuan’ Direktur BPJS Kesehatan Kembali ke Nol
DISKUSI bertema kemiskinan di Grup WhatsApp (WAG) FGD Tokoh Aceh-Nasional, Minggu, 28 Februari 2021 munculkan beragam pemikiran dan solusi.
Direktur BPJS Kesehatan, Dr. dr. Mahlil Ruby, M.Kes, misalnya, menganalogikan penanganan kemiskinan harus seperti dokter menegakkan penyakit pasiennya.
“Harus dimulai dengan diagnosa mendalam sebelum dilakukan terapi sesuai dengan penyakit. Sementara saat ini pukul rata saja,” tulis Mahlil, putra Aceh asal Bireuen.
Tetapi saran itu dipatahkan oleh Bupati Aceh Barat Daya (Abdya), Akmal Ibrahim.
“Kalau begitu cara menangani kemiskinan, kita kembali ke nol lagi. Survei lagi, bahas lagi, dan hasilnya nanti belum tentu tepat menjawab kebutuhan. Apa belum ada model-model yang sudah teruji bisa dilakukan secepatnya,” tandas Akmal.
Selain Mahlil dan Akmal, diskusi yang dipandu Muhammad Hafidh dan Salman Mardira tersebut juga diramaikan sejumlah tokoh lainnya. Theacehpost.com merangkumnya untuk laporan khusus edisi ini.
***
Bupati Akmal Ibrahim mengawali diskusi dengan penilaian bahwa belum ada rekomendasi lebih praktis dan baru soal langkah menangani kemiskinan.
Diskusi sebelumnya, menurut Akmal masih pola lama seperti memberi sedekah insidentil. Ini terbukti merusak spirit berusaha dan ketergantungan umat Islam.
Hasil yang kita capai juga begitu-begitu saja, bahkan makin banyak masyarakat kita bermental miskin.
“Kalaulah ada pola yg lebih bagus, saya pikir sangat menarik. Kayaknya kita berkapasitas untuk membahas hal ini,” kata Akmal.
Direktur BPJS Kesehatan, Dr. Mahlil Ruby menyumbang saran dengan mengatakan, “untuk menangani kemiskinan saya sarankan dengan analogi dokter menegakkan penyakit pasiennya.”
Mungkin yang perlu dicari dulu faktor penyebab (diagnosa) kemiskinan (penyakit).
Untuk mengetahui itu perlu survei (wawancara) dan data-data sekunder lainnya (hasil lab dan radiologi).
Setelah diagnosa ditegakkan maka intervensi atau penanganannya (terapi) sesuai dengan penyakitnya hasil diagnosa atau faktor penyebab.
Ada penyakit akut (kemiskinan akut akibat banjir/bencana alam, krisis ekonomi, konflik, dan atau pandemi) dan penyakit kronis (kemiskinan kronis yang memang kapasitas dan mindset-nya miskin).
Kalau yang miskin akut sangat mudah tarik mereka dari garis kemiskinan ke atas garis kemiskinan. Karena mereka miskin sementara.
Sedangkan yang kronis, menurut Mahlil sulit ditarik. Sehingga bagi yang kepala keluarga mindset-nya seperti ini, kita fokus kepada anak-anaknya agar tidak mewarisi kemiskinan bapaknya.
“Jadi, terapi miskin harus sesuai dengan penyakitnya. Sementara saat ini pukul rata saja,” tulis Dr. Mahlil.
Selain itu, lanjut Mahlil, ada juga miskin berdasarkan pengamatan kacamata kita di luar karena mengamati penghasilan, kondisi rumah, dan pakaian. Padahal mereka happy dengan kehidupannya.
Makanya, banyak negara mengembangkan indikator happiness sebagai salah satu indikator kesejahteraan.
“Saat ini kan hanya IPM atau HDI sebagai indeks kesejahteraan yang meliputi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Apakah semua ini sudah ada datanya?” tanya Mahlil.
Kalau (datanya sudah ada maka intervensi berbeda-beda).
Jadi, kita sarankan Pemerintah Aceh untuk kumpulkan dulu informasi itu.
Tidak bisa menggunakan hasil survei BPS untuk diagnosanya karena BPS hanya menyatakan ada penyakit saja. Sedangkan mengenai penyebabnya tidak ada data BPS.
“Jadi Pemerintah Aceh survei dulu penyebab dan jenis kemiskinan di Aceh. Kalau perlu triangulasi (validitas ulang) data dari BPS. Pemda merespons ini tidak dengan politis saja tapi dengan taktis,” begitu saran Direktur BPJS Kesehatan.
Pj Gubernur Kalsel, Dr. Drs. Syafrizal ZA, M.Si menimpali.
Putra Aceh yang mantan Lurah di Lhokseumawe itu menyatakan setuju dengan saran Dr. Mahlil.
Karena, kata Syafrizal, indikator yang membentuknya variatif. Hal ini akan menghindarkan exploitasi isu miskin secara berlebihan, sehingga salah dalam menemukan solusinya.
“Saran saya dibuat saja FGD (sesuai nama grup), dicari narsum/termasuk BPS. Sehingga kita bisa rekom ke Pemda apa yang bisa dilakukan. Saya pernah menulis juga soal aspek dana otsus ini mungkin dapat memberikan pandangan,” katanya.
Menanggapi pendapat Akmal Ibrahim bahwa “kita akan kembali ke nol jika menggunakan model kerja dokter”, Mahlil Ruby menjelaskan, selama ini sudah ada program-program eksisting.
Tapi, katanya, ada apa program ini tidk tepat atau mengapa orang Aceh masih tetap miskin.
“Dari sinilah kita berpijak. Belum tentu apa yang best practice di suatu daerah cocok untuk kita. Kita selama ini tidak bekerja evidence based tapi hiatorical planning and budget.Terus begitu dari tahun ke tahun. Inilah waktunya untuk pakai data dalam rencana dan anggaran,” kata Mahlil.
Mahlil melanjutkan, “kalau mau bergerak, tiga bulan selesai cari masalahnya. Saya sering lakukan survei-survei besar untuk tiga bulan. Dari nol perspektif data, ya. Tapi dari nol intervensi, tidak.”
Pj. Gubernur Kalsel, ‘meluruskan’ Akmal:
“Bang Akmal, izin yang di grup ini bukan eksekutif semua. Kadang melihat melalui helicopter view lebih kecil gambarnya, namun luas. Bisa menambah masukan bagi eksekutif. Namanya ikhtiar bisa melalui apa saja. Salam sehat Pak Bup.”
Ternyata, ‘obat’ miskin yang ditawarkan Direktur BPJS Kesehatan dan didukung Pj. Gubernur Kalsel tidak membuat Akmal Ibrahim terbuai.
Akmal menulis lagi:
Sebagai bahan ringan saja atas dasar pengalaman dan hasil amatan. Kebijakan anggaran kita di Aceh memang tidak berpihak pada tujuan mengurangi kemiskinan. Cara saya berpikir sederhana dan praktis saja.
Sektor pekerjaan rakyat kita itu umumnya pertanian, kelautan, dan budidaya perikanan, peternakan, industri kecil dan UKM, dan sedikit di pariwisata.
Coba telaah kebijakan anggaran pemerintah, porsi untuk sektor rakyat ini kecil sekali. (Jika) di daerah konsisten dengan program itu, penurunan angka kemiskinan pasti akan konsisten.
Saya, misalnya, dalam tiga tahun bisa menurunkan kemiskinan di atas dua persen. Periode pertama dulu malah rata-rata di atas dua persen setahun.
Mengapa kita tak mendorong sektor rakyat ini dapat porsi anggaran lebih besar?
Diskusi terus berlanjut.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr Taqwaddin mengungkapkan, pada 2019 ada beberapa pertemuan terkait pembahasan pengentasan kemiskinan.
Menurunkan angka kemiskinan, menurut Taqwaddin menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah Aceh dan Pemkab/Pemko se-Aceh.
Mantan rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Darni M. Daud ikut nimbrung. Begini tanggapan Darni:
“Saya termasuk yang percaya bahwa bidang-bidang yang membumi dengan kebutuhan rakyat itulah yang dapat mengentaskan kemiskinan.
Sejatinya, kalau ini yan dilakukan, Aceh tidak menjadi provinsi termiskin di Sumatera. Tapi, mengapa umumnya pemprov/pemkab masih terus tertarik dengan proyek-proyek infrastruktur? Jawabannya kita sdh tahu, dan jawabannya ada di hati nurani pimpinan daerah dan good will dari pemerintah pusat.
Sekarang ada trend hal-hal yang sebelumnya dibangun masyarakat sudah cenderung didominasi pemprov/pemkab juga. Yang terjadi sekarang rakyat semakin lemah dan miskin. Survei dan pemetaan sudah banyak dilakukan, tapi sekarang berpulang kepada good will dan action yang diberi amanah untuk itu.”
Akmal Ibrahim menyambut hangat munculnya Prof. Darni di forum diskusi. “Apa kabar Prof? (Kita) sama-sama Alumni Kajhu, hahaha,” tulis Akmal, berguyon.
Menurut Akmal, “infrastruktur memang harus di depan, Bang. Kebijakan provinsi soal ini sudah cukup bagus seperti jalan multi yeras itu. Daya dongkraknya itu luar biasa.
Sektor pertanian dan lain-lain yang saya sebut memang butuh dukungan infrastruktur. Cuma porsi sektor kerakyatan itu porsinya yang masih kurang. Kapan rakyat kita berubah.
Lihat saja perbandingannya. Amerika Serikat itu negara industri maju, APBN-nya untuk sektor pertanian 20 persen. Korea Selatan 18 persen.
Nah, Indonesia negara agraris, termasuk Aceh, porsi anggarannya di bawah 10 persen. Ini jahat sama rakyat.
Semua daerah yang berbasis pertanian (lihatlah), angka kemiskinan terus turun secara konsisten. Grafiknya nggak naik turun, meski di masa pandemi, turunnya nggak signifikan.
Sementara daerah industri, jasa, dan parawisata, semua tambah miskin.
Usaha pertanian itu tak ada untungnya di bawah 100 persen. Semua di atas 100 persen, saya bisa presentasi untuk semua komoditi itu.
Lebih manis lagi, lebih merata, dalam arti kesenjangan tak begitu dalam. Sebagai perbandingan, penghasilan resmi Abang sebagai profesor puluhan tahun, masih di bawah penghasilan petani jengkol seluas 1 hektare saja, dengan usia tanaman 10 tahun ke atas.
Mohon maaf Bang, itu hanya perbandingan saja.”
Berikutnya, Teuku Zulkhairi, sebagai salah seorang akademisi di FGD Tokoh Aceh-Nasional menulis:
“Setelah mendiagnosa akar kemiskinan dari berbagai perspektif, sebagai tambahan, hal paling penting juga menurut saya adalah bagaimana mendiskusikan pemanfaatan dana otsus sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Aceh.
Jadi, apapun hasil diagnosanya, namun bahwa dana otsus tetap diharapkan dapat diperuntukkan bagi kepentingan rakyat Aceh seluruhnya.
Saya pernah baca-baca analisa pengamat bahwa di Aceh banyak dana otsus tidak mengalir untuk masyarakat.
Sekarang lagi trend diskursus ekonomi Islam. Beberapa malam lalu ada seorang profesor di pengajian yang menyampaikan bahwa diskusi tentang ekonomi Islam di Aceh seharusnya bukan sekadar tentang sistem transaksi ekonomi agar islami, tapi juga tentang bagaimana membuat dana otsus menyentuh rakyat seluruhnya.”
Ir. Muhammad Iqbal Abbas, MBA selaku Perencana Ahli Utama pada Kementerian PPN/Bappenas menawarkan solusi:
“Salah satu cara lainnya untuk menuntaskan kemiskinan adalah melalui pembekalan kompetensi atau keahlian kepada masyarakat miskin.
Kebetulan tugas saya di kantor menanganani bidang ketenagakerjaan, khususnya peningkatan daya saing tenaga kerja.
Masyarakat miskin perlu dibekali keahlian sehingga mereka bisa bersaing di pasar kerja baik di tingkat lokal, nasional, atau pasar kerja luar negeri.
Pasar kerja luar negeri juga cukup terbuka luas, misalnya sebelum pandemi Jepang membutuhkan per tahun 15.000 orang tenaga kerja di bidang pertanian dari Indonesia.
Masyarakat miskin perlu memiliki keahlian untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan pasar atau menaikkan nilai tambah dari hasil pertanian, perikanan, perkebunan, dan peternakan yang dihasilkan oleh masyarakat miskin.
Misalnya, pasapandemi ini kebutuhan madu Indonesia 70% adalah impor. Masyarakat diajarkan bagaimana beternak madu dan menghasilkan propolis.
Kebutuhan benih ikan saat ini saat tinggi. Untuk mendapatkan benih ikan masyarakat pembudidaya ikan harus mengantre dan menunggu untuk mendapatkan benih ikan tersebut. Maka masyarakat miskin diajarkan bagaimana menghasilkan benih ikan.
Cara eksekusinya adalah berbasis desa/kelurahan atau kecamatan, yang melibatkan Pemda Kab/Kota, Pemda Provinsi, berbagai Kementerian/Lembaga terkait.
Kita sisir setiap penduduk miskin yang ada di desa, program-program dan kegiatan yang kita intervensi per keluarga bisa berbeda-beda. Jadi, program dan kegiatan yang diintervensi bukan program/kegiatan generik, tergantung apa yang dibutuhkan dan kondisi dasar yang ada pada keluarga miskin tersebut.
Oleh sebab itulah eksekusinya dimulai dari tingkat yang paling kecil yaitu desa, supaya lebih mudah dan konkret.
Metode solusi ini saya adobt dari kegiatan percontohan penuntasan pengangguran dan peningkatan keahlian tenaga kerja berbasis daerah, di mana Kabupaten Aceh Tamiang menjadi salah satu daerah percontohannya.”
Pada bagian akhir sesi diskusi kemiskinan, tampil Ghazali Abbas Adan. Begini jalan pikiran mantan legislator asal Aceh tersebut:
“Pidie salah satu daerah yang dikatakan sebagai salah satu kabupaten miskin di Aceh.
Untuk membangun Pidie hampir 100 persen anggaran berasal dari dana transfer pemerintah pusat dengan rupa-rupa nomenklaturnya.
Potensi Pidie hanya gle (gunung), blang (sawah), dan laot (laut). Alhamdulilllah untuk potensi blang sudah tampak di depan mata. PSN bendungan Tiro dan Rukoh, insya Allah apabila dua bendungan ini jadi, Pidie akan menjadi lumbung padi besar di Aceh, belum lagi dampak ikutan dari bendungan itu, seperti banyak masyarakat yang dapat membuat keramba di bendungan itu yang menghasilkan rupa-rupa ikan air tawar. Masyarakat sekitar di samping meugoe blang (tani sawah) juga dapat hasil dari keramba.
Tentang gle, dalam Gle Laweueng mengandung bahan baku semen yang luar biasa. Ini semua anugerah Allah. Kalau untuk blang sudah ada PSN membangun bendungan.
Untuk mengolah potensi semen di Laweueng juga sudah ada investornya yang akan menyerap lapangan kerja. Di sekitar pabrik semen akan muncul warong kupi, mie suree (salah satu khas kuliner di Pidie) dan lain-lain.
Dengan demikian kini tinggal pemda dan masyarakat Pidie menunjukkan respons nyata. Bek sampe na istilah keubeue ka na soe jok, tapi hana tatueng karena han ek ta bloe taloe. (Jangan sampai terjadi ketika sudah ada orang memberikan kerbau, kita tolak dengan alasan kita tidak mampu membeli talinya). Begitulah.” (Redaksi)