“Hati-hati Membuat Keputusan Pilkada Aceh”

M. Akmal

REVISI Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu yang tengah dibahas DPR-RI memunculkan atmosfer panas dingin di kalangan elite politik. 

banner 72x960

Draf UU Pemilu tersebut menyebabkan terjadinya tolak-tarik di DPR-RI. Ada yang menginginkan pelaksanaan pilkada sesuai amanat Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, yakni pilkada serentak pada November 2024 dan ada pula yang mendorong sesuai ketentuan di dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 ayat (2) dan (3), yakni pada 2022 dan 2023.

Lalu, bagaimana dengan Aceh? 

“Sebagai warga negara, termasuk di dalamnya pemerintah, sebaiknya harus hati-hati dalam membuat keputusan terhadap Pilkada Aceh, karena peraturan yang sudah ada itu sesungguhnya dari pemerintah juga dan pemerintah yang menjalankan amanat negara mewakili mayoritas rakyat,” kata Dosen Politik Fisip Unimal, Aceh, Dr. M. Akmal, MA dalam perbincangan khusus dengan Theacehpost.com, Rabu, 10 Februari 2021.

 

Dimintai tanggapannya terkait tolak-tarik jadwal pelaksanaan Pilkada Serentak, Akmal mengatakan, semua unsur negara harus taat kepada peraturan.

Menurut Akmal, unsur-unsur negara itu ada empat, yaitu yang paling utamanya adalah rakyat, kemudian pemerintah, dan dua unsur lainnya yaitu wilayah dan pengankuan internasional.

“Sudah tertulis dengan jelas dalam UU Nomor 10 Tahun 2016, pasal 201 ayat 8 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Nasional 2024,” katanya.

Namun, lanjutnya, isu Pilkada Aceh 2024 memunculkan tanggapan negatif masyarakat Aceh terhadap Pusat.

“Elite politik nasional (oknum-oknum politisi golongan tertentu) bisa diduga melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) yang bertujuan melanggengkan kekuasaan atau perpetuation of power,” tandas Akmal.

Menurut Akmal, jika Pilkada Serentak 2024 menjadi keputusan, akan memunculkan banyak Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Daerah di seluruh Indonesia, karena masa jabatan mereka berakhir sebelum 2024. Atau, ada kepala daerah yang haras berhenti di tengah jalan, khususnya yang ikut Pilkada 2020.

Mengenai Pilkada Aceh, lanjut Akmal, “Kita harus kembali juga kepada undang-undang. Ada UUD 45 pasal 18B ayat (1) yang intinya negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa.”

Selain itu, kata Akmal, Aceh juga punya undang-undang yang telah dibuat dan disahkan pemerintah, yaitu UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Otsus Aceh.

“Dalam UUPA sangat jelas tertulis bahwa Pilkada Aceh akan dilakukan setiap 5 tahun sekali,” kata Dosen Politik Fisip Unimal tersebut.

Di samping itu, lanjutnya, Aceh juga punya Qanun Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pilkada Aceh yang juga sebelum disahkan oleh DPRA harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kemendagri.

Dalam Qanun Nomor 12 Tahun 2016 tertulis dalam bab XI pasal 101 tentang Pilkada Aceh.

Memang disebutkan secara eksplisit, bahwa yang melaksanakan Pilkada 2017 akan dilaksanakan pada 2022.

Dia mengingatkan, sebagai warga negara, termasuk di dalamnya pemerintah, sebaiknya harus hati-hati dalam membuat keputusan terhadap Pilkada Aceh.

“Jangan sampai terpikir oleh masyarakat bahwa elite politik atau oknum pemerintah dari golongan-golongan tertentu sedang melakukan abuse of power untuk perpetuation of power. Jika ini terjadi akan menggerus rasa nasionalisme rakyat terhadap negara,” tegasnya.

Akmal mengatakan, dengan beragam fenomena politik terkait Pilkada Serentak Nasional, khusus untuk Aceh, solusinya adalah seluruh unsur negara Indonesia, termasuk rakyat dan pemerintah, wajib tunduk dan patuh kepada UUD 45, UU Pilkada Nasional, UUPA, dan Qanun Pilkada Aceh. Dengan demikian, negara ini tidak berjalan atau dijalankan secara inkonstitusional.

Efek negatif

Efek negatif jika Pilkada Serentak 2024 tetap dilaksanakan bakal dirasakan oleh parpol yang kadernya sekarang menjabat kepala daerah, baik gubernur, bupati atau wali kota.

Mereka semua akan diganti oleh Pelaksana Tugas (Plt) yang notabene adalah perpanjangan tangan Kemendagri. sedangkan kewenangan Plt tidak ada, hanya pelaksana tugas saja.

“Yang terjadi kemudian adalah sebanyak 371 kepala daerah di seluruh Indonesia, baik itu gubernur, bupati, wali kota yang akan ditunjuk sebagai Plt sebelum perhelatan Pilkada Serentak 2024.”

Pandangan dari sudut ilmu politik, kata Akmal, keadaan ini memang tidak demokratis, di mana kekuasaan itu idealnya di tangan rakyat, bukan di tangan pemerintah atau di tangan Plt.

Bagi Aceh, ini adalah masalah serius. Jika dipaksakan 2024, akan terjadi proses demokrasi yang inkonstitusional atau inkonsistensi pemerintah terhadap regulasi yang telah mereka buat sendiri, termasuk pelanggaran terhadap UUD 45 pasal 18B tentang pengakuan negara terhadap kekhususan dan keistimewaan Aceh sebagai daerah Otsus.

Selain itu akan terjadi pencaplokan kekuasaan secara sentralistik terhadap 21 daerah yang di-Plt-kan, termasuk gubernurnya.

“Bayangkan, Aceh akan dipimpin Plt Gubernur hampir 2.5 tahun, gubernur yang tidak ada kewenangan. Sementara Aceh sedang banyak keperluan penguatan regulasi yang harus diperjuangkan oleh gubernur supaya UUPA bisa berjalan dengan sempurna,” ujar Akmal.

Efek positif bagi pemerintah

Efek positifnya bagi pemerintah, lanjut Akmal, negara semakin kuat sentralistiknya di mana untuk memperkuat stabilitas politik malalui gaya sentralistik baru melalui penguasaan Plt kepala daerah.

“Saya sebut positif, karena siapa pun yang menjalankan kekuasaan di negara ini dia ingin menjalankannya secara bulat, the facto, tidak boleh ada bias.”

“Jadi, positif bagi negara yang ingin stabilitas politiknya kuat, namun tetap ada negatifnya yaitu efek, akibat dari keinginan yang dominatif itu, pelaksana kekuasaan negara akan dianggap melakukan abuse of power dan perpetuation of power.

Aceh Daerah Khusus

Akmal juga menyebutkan, ada lima daerah otonomi khusus (otsus) di Indonesia yang diperkenankan oleh pemerintah untuk menjalankan desentralisasi asimetris atau tidak sama dengan daerah lain yang desentralisasinya simetris dengan Pusat. Kelima daerah Otsus tersebut adalah Aceh, Yogyakarta, Papua, DKI Jakarta, dan Papua Barat

Dosen politik ini mencontohkan mengapa Gubernur Yogyakarta harus Sultan Hamengkubuwono dan wakilnya Paku Alam? Mereka tidak perlu dipilih tetapi cukup ditetapkan saja oleh pemerintah, karena perintah UU Otsus-nya seperti itu. Tidak pernah ada masalah dalam pelaksanaannya sejak setelah kemerdekaan RI.

Akmal mempertanyakan mengapa untuk Pilkada Aceh gonjang ganjing, padahal sudah tertulis secara yuridis formal dan bersifat lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum.

Perbandingan Aceh-Yogya

Yogyakarta menjadi daerah istimewa (khusus) sejak 1950 melalui Berita Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950 dan regulasi itu telah berubah beberapa kali sampai terakhir UU Nomor 13 Tahun 2012.

Begitupun Aceh, sejak 1959 sudah dinyatakan sbg daerah istimewa melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Propinsi Aceh dan regulasi itu terus berubah beberapa kali sampai lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006. []

 

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *