Mahasiswa Protes Budaya “Anak Emas” Dosen di Lingkungan Kampus

Wakil Ketua Umum HMP-PBL 2024 UIN Ar-Raniry, Safrul Mulyadi. [Foto: Istimewa]

THEACEHPOST.COM | Banda Aceh – Perguruan tinggi merupakan wadah bagi mahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang untuk menggapai pendidikan tingkat lanjut.

Dalam perwujudan tersebut banyak orangtua yang harus banting tulang ekstra demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya selama mengejar keberlanjutan pendidikan tersebut dengan harapan agar bisa mendapat jaminan pendidikan yang setara dengan teman-temannya.

banner 72x960

Bahkan banyak mahasiswa yang harus rela membagi waktu untuk pendidikan dengan harus bekerja untuk meringankan tanggungan keluarga demi kebutuhan selama perkuliahan.

Namun, di balik kobaran semangat untuk belajar dan berkembang, ada praktik budaya pilih kasih antara dosen dengan segelintir mahasiswa yang acapkali menjamur di lingkungan perguruan tinggi. Hal ini dinilai sebagai fenomena tak elok yang seharusnya tidak perlu terjadi di lingkungan kampus.

“Harusnya tidak ada yang harus di anak emaskan, semua mahasiswa punya hak yang sama dalam dunia pendidikan,” kata Safrul Mulyadi, Wakil Ketua Umum HMP-PBL 2024 UIN Ar-Raniry, kepada Theacehpost.com, Banda Aceh, Rabu (14/5/2025).

Safrul Mulyadi menerangkan, selama menempuh jenjang perkuliahan, peristiwa tersebut seringkali dipertontonkan oleh dosen kepada mahasiswa.

Banyak aduan yang datang dari mahasiswa yang pernah mengalami perlakuan tidak adil tersebut, mereka mengatakan tidak perlu adanya praktik jilat-menjilat antara mahasiswa dengan oknum dosen.

“Kami di sini juga bayar SPP yang sama dan mengerjakan tugas yang sama dengan mereka, tetapi mengapa kami seperti di anak tirikan, seharusnya sebagai seorang yang harus digugu dan ditiru tidak boleh mencontohkan tindakan tidak etis seperti itu,” imbuhnya sambil memperagakan apa yang disampaikan oleh mahasiswa kepadanya.

Menurutnya, pihak pimpinan kampus perlu melakukan evaluasi terhadap oknum dosen untuk menertibkan kesenjangan tersebut, banyak kerugian yang dialami oleh mahasiswa yang mendapat perlakuan diskriminasi itu seperti merasa tidak dihargai, kurangnya kepercayaan diri bahkan ada yang perlahan kehilangan asanya dalam menjalankan pendidikan yang menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada peristiwa banyaknya mahasiswa yang terlambat dalam menyelesaikan kewajiban pendidikannya.

“Sangat disayangkan jika budaya buruk ini terus tumbuh dan berkembang di perguruan tinggi,” ungkapnya.

Menurutnya, lembaga organisasi mahasiswa di lingkungan internal kampus sebagai wadah aspirasi mahasiswa harusnya mengambil peran dalam upaya menghilangkan budaya tersebut, bukan hanya menjalankan kepentingan program kerja, pembahasan SPP dan pembahasan pelecehan seksual di lingkungan kampus yang sudah setiap tahunnya menjadi prioritas dalam kupasan visi-misi dengan dalih belum ditemukan benang merah di periode sebelumnya.

“Banyak pengurus lembaga organisasi mahasiswa yang tidak mau berurusan dengan dosen, ada indikasi permainan nilai yang akan diberikan pada penyelesaian mata kuliah kepada siapapun yang coba mengkritik fenomena tersebut,” tuturnya

Safrul menegaskan, banyak pihak pengurus lembaga organisasi mahasiswa yang berslogan lantang “kaum intelektual” hanya diam dan tidak berani berjibaku menindaklanjuti suara mahasiswa tersebut.

“Mereka terlalu bersikap eleh pada permasalahan yang punya peran penting bagi keberlangsungan pendidikan banyak mahasiswa, hal itu semata-mata hanya untuk membungkus wajah takut mereka pada oknum dosen tersebut,” tegasnya.

Safrul berharap agar pihak pimpinan kampus dan juga lembaga organisasi mahasiswa harus benar-benar serius dan lebih berani dalam upaya pemutusan rantai perkembangbiakan budaya kotor ini. (Akhyar)

Baca berita lainnya di Google News dan saluran WhatsApp

Komentar Facebook