Panglima TNI Didesak Batalkan Perintah Pengerahan Personil di Lingkungan Kejati dan Kejari

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya. [Foto: Istimewa]

THEACEHPOST.COM | Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyesalkan adanya telegram Panglima TNI tertanggal 5 Mei 2025 yang berisi perintah penyiapan dan pengerahan alat kelengkapan dukungan kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa perintah tersebut sangat bertentangan dengan banyak peraturan perundang-undangan, terutama konstitusi, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara dan UU TNI itu sendiri yang mengatur secara jelas tugas dan fungsi pokok TNI.

banner 72x960

Mereka menilai bahwa pengerahan alat kelengkapan dukungan tersebut semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil, khususnya di wilayah penegakan hukum.

“Tugas dan fungsi TNI seharusnya fokus pada aspek pertahanan dan tidak patut masuk ke ranah penegakan hukum yang dilaksanakan oleh kejaksaan sebagai instansi sipil,” ujar Dimas Bagus Arya, salah satu perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dalam keterangan tertulis kepada Theacehpost.com, Banda Aceh, Senin (12/5/2025).

Lebih lanjut, Dimas yang juga Koordinator KontraS menyatakan, hingga saat ini belum ada regulasi tentang perbantuan TNI dalam rangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) terkait bagaimana tugas perbantuan itu dilaksanakan.

Pihaknya menilai bahwa kerangka kerja sama bilateral antara TNI dan Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjadi dasar pengerahan pasukan perbantuan kepada kejaksaan.

“MoU tersebut secara nyata telah bertentangan dengan UU TNI itu sendiri,” tegas Dimas.

Dimas menjelaskan, tujuan perintah melalui telegram Panglima TNI itu adalah dukungan pengamanan Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia.

Menurutnya, pengamanan institusi sipil penegak hukum kejaksaan tidak memerlukan dukungan berupa pengerahan personil TNI karena tidak ada ancaman yang bisa menjustifikasi mengharuskan pengerahan satuan TNI.

“Pengamanan institusi sipil penegak hukum cukup bisa dilakukan oleh misalkan satuan pengamanan dalam (satpam) kejaksaan. Dengan demikian surat telegram itu sangat tidak proporsional terkait fungsi perbantuannya dan tindakan yang melawan hukum serta undang-undang,” tegasnya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang bahwa surat perintah tersebut berpotensi mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia, karena kewenangan penegakan hukum tidak sepatutnya dicampuradukkan dengan tugas fungsi pertahanan yang dimiliki oleh TNI.

“Pada aspek ini, intervensi TNI di ranah penegakan hukum sebagaimana disebutkan di dalam surat perintah tersebut akan sangat mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia. Kondisi ini menimbulkan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan yang ada dengan mencampurkan fungsi penegakan hukum dan fungsi pertahanan,” ujar Dimas.

Dimas menambahkan, surat perintah pengerahan ini semakin menguatkan dugaan masyarakat akan kembalinya dwifungsi TNI setelah UU TNI direvisi beberapa bulan lalu dan bahkan salah satu Pasal yang menambahkan Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai salah satu institusi yang dapat diintervensi oleh TNI.

“Catatan risalah sidang dan revisi yang menegaskan bahwa penambahan Kejaksaan Agung di dalam revisi UU TNI hanya khusus untuk Jampidmil ternyata tidak dipatuhi oleh surat perintah ini, karena jelas-jelas pengerahan pasukan bersifat umum untuk semua Kejati dan Kejari,” ungkapnya.

Dengan semangat penegakan hukum yang adil dan bermartabat, upaya membangun reformasi TNI yang lebih profesional dan Jaksa sebagai salah satu pilar penegakan hukum, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Panglima TNI agar mencabut surat perintah tersebut dan mengembalikan peran TNI di ranah pertahanan.

“Kami juga mendesak kepada Jajaran Pimpinan DPR RI, termasuk pimpinan Komisi I DPR RI, Komisi III DPR RI, dan juga Komisi XIII DPR RI yang berjanji untuk menjamin tidak adanya dwifungsi TNI. Kami juga mendesak DPR RI untuk mendesak Presiden sebagai kepala pemerintah dan juga Menteri Pertahanan untuk memastikan pembatalan surat perintah tersebut, sebagai upaya menjaga tegaknya supremasi sipil dalam penegakan hukum di Indonesia yang menganut negara demokrasi konstitusional,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari beberapa lembaga, yaitu Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure. (Akhyar)

Baca berita lainnya di Google News dan saluran WhatsApp

Komentar Facebook