Suara yang Terabaikan: Mengapa Mahasiswa Butuh Ruang Curhat untuk Mencegah Tragedi Bunuh Diri

Bunuh diri di kalangan mahasiswa sering kali dipicu oleh masalah yang tidak dianggap serius oleh orang di sekitarnya, termasuk masalah percintaan. Padahal, bagi banyak mahasiswa, masalah tersebut bisa menjadi beban mental yang sangat berat. Dari sudut pandang psikologi, masa transisi dari remaja ke dewasa awal yakni usia mahasiswa adalah periode penuh gejolak emosional, pencarian identitas, dan kebutuhan akan validasi sosial. Ketika hubungan pribadi, terutama hubungan percintaan, gagal atau mengalami konflik, hal ini dapat mengganggu keseimbangan emosi dan bahkan membentuk luka psikologis yang mendalam.

Masalah hubungan yang gagal, perasaan ditinggalkan, atau konflik dalam cinta pertama bisa memengaruhi kesehatan mental mereka dengan cara yang jauh lebih dalam dari yang kita bayangkan. Trauma penolakan dan kehilangan di usia ini dapat memicu gangguan seperti depresi, kecemasan, hingga rasa putus asa. Namun, sayangnya, banyak dari mereka merasa tak ada tempat untuk berbicara, tak ada ruang untuk didengar.

banner 72x960

Sering kali, kita meremehkan masalah-masalah ini dengan anggapan, “Ah, itu cuma masalah percintaan,” atau “Itu kan hal biasa, banyak orang yang ngalamin.” Tapi kita lupa bahwa bagi mahasiswa, masalah semacam ini bisa berarti kehilangan arah, kehilangan rasa percaya diri, bahkan merasa tidak ada harapan lagi. Dalam psikologi, hal ini disebut sebagai emotional invalidation, yaitu kondisi ketika emosi seseorang dianggap tidak sah atau berlebihan. Jika terus-menerus terjadi, seseorang bisa merasa terisolasi secara emosional dan mengalami tekanan batin kronis. Tanpa ada tempat curhat yang benar-benar mendukung, mereka terjebak dalam perasaan sendiri, merasa kesepian, dan terkadang merasa bahwa tidak ada lagi jalan keluar selain mengakhiri hidup.

Di saat-saat seperti ini, apa yang mereka butuhkan bukan hanya solusi atau nasehat, tetapi perhatian dan pemahaman. Mereka membutuhkan ruang untuk mengungkapkan perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Dalam terapi psikologi, hal ini dikenal dengan holding space menciptakan ruang aman emosional di mana seseorang merasa diperbolehkan untuk merasakan dan mengekspresikan tanpa tekanan atau penilaian. Sayangnya, kita sering gagal memberi ruang itu. Banyak orang merasa tidak tahu bagaimana cara mendengarkan dengan baik, atau malah menganggap masalah tersebut tidak sebanding dengan rasa sakit yang dialami. Hal inilah yang membuat banyak mahasiswa merasa terpinggirkan dan akhirnya memilih untuk memendam masalah mereka sendirian.

Kesehatan mental seharusnya tidak menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Setiap orang, terutama mahasiswa yang sedang berada dalam fase hidup yang penuh tekanan, perlu tahu bahwa mereka tidak sendirian dan bahwa ada ruang untuk berbicara. Ini bukan soal mengatasi masalah dengan cepat, tetapi memberikan kesempatan bagi mereka untuk merasa didengar dan dipahami. Dari perspektif psikologi, validasi dan empati merupakan dua elemen utama yang dapat meredakan stres emosional dan memberikan rasa aman bagi seseorang. Sebuah percakapan sederhana bisa jadi penyelamat nyawa.

Jika kita lebih peka dan mau mendengarkan, kita bisa mencegah banyak tragedi yang sebenarnya bisa dihindari. Karena sering kali, kita hanya perlu membuka telinga dan hati untuk mendengarkan mereka yang sedang berjuang dalam diam.

Komentar Facebook