Jangan Biarkan Bahasa Aceh Lenyap!
THEACEHPOST.COM – Baru-baru ini Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan bahasa Aceh sebagai bahasa yang “rentan” atau terancam punah. Padahal bahasa ini adalah salah satu kekayaan budaya Aceh yang telah hidup selama ratusan tahun dan menjadi identitas masyarakat, bahkan menjadi simbol perlawanan selama masa konflik.
Namun di era globalisasi ini, bahasa Aceh semakin tersisihkan oleh tekanan bahasa dominan seperti bahasa Indonesia dan Inggris. Jika tidak ada intervensi serius, bukan tidak mungkin dalam dua atau tiga generasi mendatang, bahasa ini hanya akan menjadi catatan sejarah.
Mengapa bahasa Aceh terancam? Ada banyak faktor yang dapat diperhatikan, diantaranya akibat dominasi bahasa Indonesia dan asing. Era globalisasi telah membawa pengaruh besar pada preferensi bahasa generasi muda.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh tahun 2019, sebanyak 78 persen anak usia sekolah di kota besar seperti di Banda Aceh dan Lhokseumawe lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.
Bahasa Inggris juga semakin dianggap sebagai ‘tiket’ untuk bersaing di dunia kerja. Sebaliknya penggunaan bahasa Aceh hanya bertahan di daerah pedesaan dan kalangan usia tua.
Kemudian, urbanisasi dan gaya hidup modern telah menggeser nilai-nilai lokal. Banyak orangtua kini lebih bangga jika anaknya fasih berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris daripada bahasa Aceh.
Seperti dikatakan Antropolog, Teuku Kemal Fasya, “bahasa Aceh mulai dianggap kuno, sementara bahasa nasional dan asing diidentikkan dengan kemajuan” (Kompas, 2021). Fenomena ini diperparah oleh minimnya representasi bahasa Aceh di media massa dan platform digital.
Meskipun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara mengamanatkan pelestarian bahasa daerah, implementasinya di Aceh masih setengah hati. Bahasa Aceh hanya diajarkan sebagai muatan lokal di sebagian kecil sekolah tanpa kurikulum yang sistematis. Bandingkan dengan Bali, dimana bahasa Bali diwajibkan hingga ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Peneliti bahasa, Taufik Abdul Hakim menyebutkan, “kebijakan yang tidak afirmatif membuat bahasa daerah hanya menjadi pajangan” (Jurnal Linguistik Indonesia, 2020).
Survei Dinas Pendidikan Aceh pada (2022) menunjukkan bahwa 65 persen remaja Aceh yang berusia 15-24 tahun kesulitan memahami peribahasa atau kosa kata tradisional dalam bahasa Aceh. mayoritas mengaku lebih sering menonton konten berbahasa Indonesia di TikTok atau Youtube daripada mendengarkan cerita rakyat dalam bahasa ibu.
Saran untuk Menyelamatkan Bahasa Aceh
Untuk menyelamatkan bahasa Aceh dari kepunahan, ada beberapa saran yang bisa menjadi rujukan. Pertama, mengintegrasikan bahasa Aceh ke dalam sistem pendidikan. Pemerintah Aceh perlu memperkuat Qanun Aceh tentang Bahasa, Aksara dan Sastra Aceh dengan memasukkan bahasa Aceh sebagai mata pelajaran wajib dari SD hingga SMA. Contoh sukses bisa diadopsi dari Suku Maori di Selandia Baru yang berhasil menghidupkan kembali bahasa mereka melalui program ‘Kohanga Reo’ atau Sekolah Bahasa Ibu.
Kedua, merevitalisasi bahasa Aceh melalui media dan teknologi. Kolaborasi antara pemerintah, seniman dan platform digital perlu ditingkatkan. Pembuatan podcast, lagu atau serial animasi berbahasa Aceh bisa menarik minat generasi muda.
Ketiga, insentif bagi penutur aktif. Pemerintah bisa memberikan penghargaan atau beasiswa kepada pelajar yang aktif menggunakan bahasa Aceh dalam esai atau karya seni. Di Wales, Inggris, program ‘Cymraeg for Kids’ sukses meningkatkan penutur muda bahasa Wales melalui insentif serupa.
Keempat, peran ulama dan tokoh adat. Sebagai daerah yang kental dengan nilai agama, ulama dan tengku bisa menjadi garda terdepan dalam melestarikan bahasa Aceh melalui pengajian, khutbah atau majelis taklim.
Bahasa Adalah Jiwa Bangsa
Seperti diingatkan oleh Nelson Mandela, “Jika Anda berbicara kepada seseorang dengan bahasa yang ia pahami, pesan itu masuk ke kepalanya. Jika Anda berbicara dengan bahasanya sendiri, pesan itu masuk ke hatinya”.
Bahasa Aceh bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga penyampai nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan identitas kebanggaan rakyat Aceh. jika kita diam saja, kita sedang membiarkan satu per satu cahaya kebudayaan kita padam. Mari bertindak sekarang sebelum terlambat.
Penulis: Adam Juliandika
Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Tata Negara Universitas Abulyatama Aceh
Baca artikel The Aceh Post lainnya di Google News dan saluran WhatsApp