Pageu Gampong dan Pageu Nanggroe

Oleh: Mukhsin Rizal, S.Hum., M.Ag., M.Si., Magister Ilmu Administrasi Negara UNIDA, dan Magister Sejarah Tamaddun Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh

banner 72x960

Hari ini, 15 Agustus 2024, adalah peringatan 19 tahun perdamaian Aceh, yang ditandai dengan penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Penandatanganan tersebut disambut dengan gembira oleh masyarakat Aceh. Sejak saat itu, masyarakat Aceh telah menikmati kebebasan untuk mencari nafkah, menuntut ilmu pengetahuan, serta tidak lagi mendengar kengerian senjata api dan merasa tertekan dalam wilayah konflik.

Setiap 15 Agustus, Pemerintah Aceh memperingati hari damai Aceh dan berharap perdamaian di bumi Aceh akan terus berlanjut, sehingga pembangunan dapat terus berjalan dan masyarakat dapat hidup sejahtera.

Salah satu komponen penting dalam merawat perdamaian adalah menjaga gampong agar tatanan sosial budaya masyarakatnya tetap terjaga.

Kali ini, penulis tidak membahas sejarah perdamaian, melainkan mencoba menggambarkan konsep Pageu Gampong dan Pageu Nanggroe.

Gampong merupakan satuan pemerintahan terendah dalam sistem pemerintahan Indonesia. Gampong juga sering didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh Keuchik, serta memiliki hak untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menempatkan gampong sebagai satuan pemerintahan otonom. Hal ini terlihat dari pengaturan kewenangan gampong yang tidak jelas. Kewenangan gampong diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 18, yang menyebutkan kewenangan desa mencakup penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.

Dengan adanya kewenangan tersebut dan tersedianya aturan tentang peran desa sebagai satuan pemerintahan otonom yang saling berkaitan, desa dapat memainkan peran luas, termasuk dalam menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Sebagai bagian dari masyarakat yang hidup teratur dengan tradisi yang ada dan berhubungan erat dengan kebudayaan serta pengaruh luar, desa/gampong harus senantiasa protektif untuk menjaga tatanan sosial budayanya sebagai modal dalam menata masyarakat.

Sering kali, ketidakteraturan dapat memberikan dampak negatif, seperti peredaran narkoba, pencurian, aliran sesat, antipati masyarakat, begal, dan kondisi negatif lainnya yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah gampong di Aceh terkadang menjalankan program Pageu Gampong sebagai upaya melindungi gampong dan menjaga tatanan sosial budaya masyarakatnya.

Pageu Gampong adalah sistem tata kehidupan bersama yang bersifat protektif untuk mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan kemasyarakatan. Implementasinya bertujuan membangun kebersamaan, menciptakan rasa memiliki, dan mengembalikan keseimbangan serta keharmonisan antar masyarakat.

Konsep pelaksanaan Pageu Gampong dilakukan dalam dua bentuk: pertama, sebagai sistem preventif (upaya pencegahan), dan kedua, sebagai sistem penyelesaian masalah/sengketa/perselisihan (upaya represif). Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan masyarakat yang merasa kenyamanannya terganggu.

Penyelesaian masalah untuk mengembalikan keseimbangan dan keharmonisan masyarakat dilakukan melalui peradilan adat, yaitu penyelesaian sengketa secara damai.

Penyelenggaraan Peradilan Adat di Aceh melibatkan perangkat gampong, mulai dari Keuchik sebagai ketua majelis sidang, Tuha Peut dan Ulama sebagai anggota, Sekretaris Gampong sebagai panitera, dan Ulee Jurong sebagai penerima laporan awal.

Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat pada Pasal 13 ayat (1), (2), dan (3) mengatur tentang jenis sengketa/perselisihan adat yang terjadi di gampong dan cara penyelesaiannya. Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong.

Penyelesaian sengketa/perselisihan secara adat di gampong diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Aceh, Kapolda, dan Majelis Adat Aceh pada 20 Desember 2011. SKB tersebut kemudian dijabarkan dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat.

Sengketa/perselisihan yang wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim adalah tindak pidana yang bersifat ringan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008.

Tempat penyelesaian sengketa/perselisihan dilakukan di meunasah, sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Qanun Nomor 9 Tahun 2008: “Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Masjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik/Geuchik atau nama lain dan Imeum Mukim atau nama lain.”

Penyelesaian sengketa/perselisihan dilakukan dengan berpegang pada adat-istiadat yang bersendikan syariat Islam. Hal ini sejalan dengan hadih maja Aceh:

“Adat bak Poeteumeureuhom Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang Reusam bak Lakseumana”
“Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut mandua nyan hanjeut tapisah teuma.”

Secara hukum, telah banyak aturan yang mengatur penguatan dalam rangka menjaga tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat di Aceh, baik dalam upaya preventif maupun represif. Dengan melihat secara utuh, terlihat jelas ruang persisian untuk menjaga keamanan, kenyamanan, pendidikan adat-istiadat, serta budaya dalam rangka menjaga masyarakat tetap aman, nyaman, bermarwah, dan terlindungi hak-haknya.

**Pageu Nanggroe**

Wali Nanggroe melalui Reusam Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pageu Nanggroe menyusun pedoman dan panduan dalam penyelenggaraan Pageu Nanggroe. Tujuan penyelenggaraan Pageu Nanggroe adalah untuk menjaga tatanan sosial masyarakat Aceh.

Pageu Nanggroe adalah tatanan kehidupan masyarakat Aceh untuk menjaga wilayah Aceh dari berbagai hal yang dapat merusak aqidah, sendi-sendi adat, istiadat, dan sosial budaya yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga adat.

Penyelenggaraan Pageu Nanggroe meliputi syariat Islam, adat istiadat, sosial budaya, batas wilayah, ekonomi, pertanian, kehutanan, kelautan, tanah ulayat, dan pemerintahan adat.

Reusam tersebut juga mengatur penyelenggara Pageu Nanggroe yang terdiri dari Majelis Fungsional Pageu Nanggroe, lembaga-lembaga adat, lembaga keistimewaan dan kekhususan Aceh, serta lembaga keistimewaan/kekhususan kabupaten/kota.

Lembaga-lembaga adat yang dimaksud dalam Reusam Wali Nanggroe Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pageu Nanggroe terdiri dari Majelis Adat Aceh/Majelis Adat Aceh Kabupaten/kota, Imuem Mukim, Imuem Chiek, Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imeum Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laot, Pawang Glee, Petua Seuneubok, Haria Peukan, dan Syahbandar.

Fungsi penyelenggaraan Pageu Nanggroe meliputi: sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam menjaga tatanan sosial kemasyarakatan, menyelesaikan masalah tatanan sosial kemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat Aceh, dan menjadi fasilitator dengan lembaga atau instansi terkait dalam menanggulangi berbagai persoalan kemasyarakatan sesuai dengan syariat Islam.

Dengan adanya Reusam Pageu Nanggroe sebagai ikhtiar menjaga tatanan sosial dan budaya masyarakat Aceh yang dilakukan oleh Wali Nanggroe, terkoneksi dengan apa yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

Oleh karena itu, penyelenggaraan Pageu Nanggroe harus diintegrasikan dengan penguatan Pageu Gampong dan lembaga-lembaga adat lainnya.

Semoga ikhtiar menjaga tatanan sosial dan budaya masyarakat terus dapat dilakukan. Salah satunya adalah partisipasi seluruh masyarakat Aceh, baik dalam mengedukasi generasi muda maupun memberikan saran dan pendapat kepada aparatur gampong untuk

menyusun reusam gampong terkait Pageu Gampong karena sejatinya Gampong adalah pertahanan terakhir tatanan sosial masyarakat.

Jika gampong telah diobrak-abrik oleh kegiatan-kegiatan yang menyimpang dari tatanan sosial dan tradisi adat-istiadat yang ada, maka dikhawatirkan generasi kedepan akan hilang identitasnya sebagai masyarakat yang memiliki tatanan sosial budaya, serta akan berdampak besar pada kenyamanan dan ketentraman masyarakat.

Wallahualam bisawab. Semoga tulisan ini bermanfaat adanya.

Komentar Facebook