Penggunaan Gelar Doktor (Cand) Ancaman Bagi Martabat Pendidikan Tinggi
Oleh: Tgk Alwy Akbar Al Khalidi SH MH, Pemerhati Hukum, Anggota DPP ISAD Aceh
Gelar pendidikan perguruan tinggi adalah simbol prestasi akademik yang mencerminkan pencapaian individu dalam menyelesaikan suatu program studi. Gelar ini bukan sekadar sebutan, melainkan representasi kompetensi, keahlian, dan dedikasi yang diraih oleh lulusan selama masa pendidikan mereka. Dalam konteks ini, menjaga keaslian dan keabsahan penggunaan gelar sangat penting untuk mempertahankan integritas dan kredibilitas institusi pendidikan tinggi.
Belakangan ini, penggunaan gelar “Doktor Kandidat” atau “Kandidat Doktor” menarik perhatian, terutama dalam acara seminar, poster dakwah, dan berbagai media lainnya. Fenomena ini memperlihatkan ketidakseragaman dalam penulisan gelar tersebut, seperti “Dr. Cand”, “Dr (Cand)”, atau “Dr. (Can)”, meskipun perguruan tinggi tidak pernah memberikan gelar resmi semacam ini kepada mahasiswa. Ketidakjelasan dan ketidaktepatan dalam penggunaan gelar ini mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap aturan yang berlaku serta dapat menimbulkan persepsi yang keliru di kalangan masyarakat luas.
Hal ini terdengar ganjil, terutama karena terjadi di lingkungan pendidikan tinggi yang seharusnya menjaga kehormatannya. Bahkan, penggunaan gelar semacam ini tidak hanya terjadi di pendidikan tinggi, tetapi juga sering muncul dalam kampanye pemilu. Ketidakseragaman dan ketidaktepatan ini berpotensi merusak citra institusi pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menjaga integritas akademik.
Merujuk pada Pasal 4 ayat 1 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 178/U/2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi, hanya lulusan pendidikan akademik dari sekolah tinggi, institut, atau universitas yang berhak menggunakan gelar akademik. Ini berarti gelar akademik hanya diberikan setelah menyelesaikan pendidikan, bukan saat masih menempuh studi. Dengan demikian, penggunaan gelar “Dr (Cand)” tidak sesuai dengan ketentuan ini dan seharusnya tidak diakui atau digunakan dalam kapasitas resmi apapun.
Selain itu, Pasal 10 Ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi juga menyatakan bahwa gelar diberikan kepada mahasiswa yang telah memenuhi semua persyaratan program studi dan dinyatakan lulus sesuai peraturan perundang-undangan. Penggunaan gelar oleh mereka yang belum menyelesaikan program studi merupakan bentuk pelanggaran terhadap peraturan ini dan merendahkan standar pendidikan tinggi di Indonesia.
Penggunaan kata “Candidate” yang disingkat menjadi “Cand/Can” juga melanggar aturan ini, karena pada ayat 2 disebutkan bahwa gelar dari perguruan tinggi Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia. “Candidate” jelas merupakan istilah dalam bahasa Inggris. Hal ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang ada dan menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat mengenai status akademik seseorang.
Jika penggunaan gelar “Dr (Cand)” dibiarkan, bukan tidak mungkin akan muncul gelar seperti “M (Cand)” untuk mahasiswa S-2 atau “S (Cand)” untuk mahasiswa S-1, yang akan merusak integritas pendidikan tinggi. Gelar akademik bisa dengan mudah disematkan meskipun studi belum selesai, yang pada akhirnya akan merapuhkan marwah pendidikan tinggi. Fenomena ini harus dihentikan untuk menjaga kehormatan dan kredibilitas institusi pendidikan tinggi.
Penggunaan gelar ini tidak bisa ditoleransi. Jika dibiarkan, institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai akademis akan kehilangan kehormatannya. Perguruan tinggi harus menjadi pusat riset dan pengembangan ilmu pengetahuan, bukan tempat untuk memamerkan gelar yang tidak seharusnya. Oleh karena itu, pengawasan yang ketat dan penegakan aturan yang konsisten sangat diperlukan untuk memastikan bahwa gelar akademik digunakan dengan tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam menghadapi tantangan ini, institusi pendidikan tinggi perlu meningkatkan kesadaran di kalangan mahasiswa dan staf akademik tentang pentingnya penggunaan gelar yang benar. Ini dapat dilakukan melalui sosialisasi peraturan dan etika akademik, serta memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggaran yang terjadi. Selain itu, kerjasama dengan pemerintah dan badan akreditasi juga diperlukan untuk memperkuat pengawasan dan penegakan peraturan.
Dengan demikian, penting bagi semua pihak, baik mahasiswa, dosen, maupun institusi pendidikan, untuk memahami dan mematuhi aturan yang ada terkait penggunaan gelar akademik. Hanya dengan cara ini, kita dapat menjaga martabat dan integritas pendidikan tinggi di Indonesia. Hanya dengan komitmen bersama, kita dapat memastikan bahwa gelar akademik benar-benar mencerminkan prestasi dan kompetensi yang sesungguhnya, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan tinggi.