Hukum Poligami dalam Islam

Tgk Alizar Usman. (Foto:Farabi/Theacepost.com)

Dalam kajian rutin bulanan yang diselenggarakan Majelis Pengajian Tasawuf Tauhid dan Fiqih (Tastafi) Kota Banda Aceh bersama Aliansi Ormas Islam Aceh di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh, Sabtu, 28 November 2020, malam, pemateri Tgk Alizar Usman menjelaskan para ulama baik salaf maupun khalaf, sepakat bahwa seorang laki-laki merdeka boleh menikahi dengan menghimpun satu, dua, tiga atau empat orang perempuan merdeka (poligami). 

banner 72x960

Kata Pengurus Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk Alizar, kebolehan poligami ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam Alquran :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا 

فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisa’: 3)

Berikut perkataan ulama tafsir tentang ayat di atas, antara lain:

1. Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas, mengutip perkataan Imam Syafi’i

“Sunnah Rasulullah SAW yang menjadi penjelasan bagi firman Allah sesungguhnya menunjukkan kepada tidak boleh bagi seseorang selain Rasulullah SAW menghimpun isteri-isteri lebih banyak dari empat orang”. 

Selanjutnya Ibnu Katsir berkata:

“Perkataan Syafi’i r.a. ini merupakan ijmak para ulama kecuali pendapat yang diceritakan dari satu kelompok Syi’ah yang membolehkan menghimpun isteri-isteri lebih banyak dari empat sampai dengan sembilan orang”. 

2. Berkata al-Khazin : 

“Berkata para ulama : “boleh bagi orang merdeka menghimpun empat orang perempuan merdeka”.

Pada zaman modern ini, ada orang yang berpendapat bahwa poligami dilarang  dalam Islam, dengan alasan poligami yang dibolehkan adalah dengan syarat mampu berbuat adil.

Sedangkan berbuat adil kepada beberapa orang istri merupakan sesuatu yang tidak mungkin mampu dilakukan oleh laki-laki. Alasan ini katanya berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung dalam semua kecenderungan (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain seperti perempuan yang terkatung-katung (tidak mempunyai suami tetapi bukan janda) dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q. S. an-Nisa’: 129)

Pendapat ini kita bantah dengan mengutip penafsiran ulama tafsir yang mu’tabar mengenai ayat di atas, antara lain:

1. Dalam tafsir Ibnu katsir dijelaskan bahwa ayat di atas diturunkan mana kala Rasulullah SAW lebih mencintai Asiyah r.a. dibanding istri beliau yang lain. 

2. Al-Khazin dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Yakni kamu tidak sekali-kali mampu berlaku adil di antara istri-istrimu dalam hal cinta dan kecenderungan hati, karena yang demikian itu termasuk dalam hal-hal yang kamu tidak akan kuasa dan mampu atasnya”. 

3. Dalam tafsir Jalalain dikatakan, “Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu dalam hal cinta, walaupun  kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung dalam semua kecenderungan kepada isteri yang kamu cintai dalam hal pembagian malam dan nafkah”. 

Menurut penafsiran dan asbabun nuzul ayat yang tersebut, jelaslah bahwa ketidakmampuan berlaku adil itu adalah dalam hal cinta, karena cinta merupakan kecenderungan hati. Kecenderungan hati tentunya tidak mungkin ditolak dan dipaksa-paksa. 

Pada saat hati mengatakan lebih mencintai salah seorang isteri, tentunya kita tidak dapat menolaknya. Namun demikian perasaan lebih mencintai salah seorang istri itu tidak boleh merembes dalam hal pembagian malam dan nafkah. Pembagian malam dan nafkah ini tetap wajib diberlakukan dengan adil. 

Oleh karena itu, Allah selanjutnya berfirman: 

“Janganlah kamu cenderung dalam semua kecenderungan (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain seperti perempuan yang terkatung-katung”. 

Jadi yang dilarang adalah kecenderungan dalam semua hal kepada salah seorang istri. Kesimpulannya, kecenderungan kepada salah seorang isteri dalam hal cinta saja yang dibolehkan, sedangkan pembagian malam dan nafkah tetap wajib berlaku adil dan sama di antara istiri-istri. Kesimpulan ini sesuai dengan perkataan As-Shawy dalam tafsirnya, yaitu:

 “Adapun kecenderungan hati kepada salah seorang isteri adalah tidak mengapa, karena itu bersabda Nabi SAW: 

اللهم إن هذا القسمي فيما أملك فلا تؤاخذني فيما لا املك

ِArtinya: “Ya Allah, sesungguhnya ini adalah pembagianku yang aku miliki, maka janganlah Engkau menyiksaku dalam hal-hal yang tidak aku miliki.”

Maksud doa Rasulullah SAW di atas adalah beliau telah melakukan pembagian secara adil diantara isteri-isteri beliau dalam hal pembagian malam dan nafkah, karena pembagian tersebut mampu beliau lakukan, sedangkan pembagian cinta secara adil tentunya sebagaimana manusia, beliau tidak mampu melakukannya, oleh karena itu beliau berdo’a semoga Allah mengampuninya.

Sebenarnya teori keadilan seperti ini tidak hanya berlaku dalam masalah seorang pria yang berpoligami, tetapi juga berlaku dalam kasus-kasus lain, seperti dalam bernegara, seorang ayah dengan anak-anaknya dan lain-lain. 

Dalam bernegara, seorang pemimpin atau seorang hakim diperintahkan Allah untuk memimpin dan menetapkan hukum untuk rakyatnya dengan adil sebagaimana firman Allah SWT berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. al-Nisa’: 58)

Namun bukan berarti seorang pemimpin atau hakim tidak boleh lebih mecintai anggota keluarganya atau kerabatnya, tetapi yang tidak boleh hanyalah sifat lebih mencintai anggota keluarga atau kerabatnya tersebut membuat dia tidak berlaku adil dalam tindakan nyata dia sebagai seorang pemimpin atau hakim, seperti lebih mengutamakan anggota keluarga atau kerabatnya dalam memberikan  pelayanan negara atau seperti tidak berlaku adil dalam menetapkan hukum dan lain-lain. 

Mewajibkan berlaku adil atas pemimpin atau seorang hakim dalam hal mencintai dan kecenderungan hati antara rakyatnya adalah suatu hal yang mustahil, karena sifat lebih mencintai dan lebih cenderung jiwa kepada seseorang merupakan fitrah manusia yang tidak dapat ditolak. Oleh karena itu, Allah tidak membebankan kepada manusia sesuatu yang tidak mampu dipikulnya.

Allah SWT berfirman : 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا  

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya.” (Q.S. al-Baqarah: 286)

Contoh lain adalah perlakuan adil orangtua terhadap anak-anaknya. Orangtua tidak wajib berlaku adil terhadap anak-anaknya dalam hal cinta dan kecenderungan hati, karena kecenderungan hati yang lebih kepada salah satu dari anak-anak yang kadang-kadang muncul adalah merupakan suatu perasaan yang tidak dapat dipungkiri dan ditolak. 

Namun demikian, kecenderungan yang lebih kepada salah satu anak-anaknya tersebut tidak boleh mempengaruhinya dalam berlaku adil dalam tindakan nyata, seperti dalam hal pemberian sebagaimana hadits Nabi SAW:

اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ فِي الْعَطِيَّةِ

Artinya: “Berlaku adillah kepada anak-anakmu dalam pemberian.” (H.R. Bukhari)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa ketidakmampuan seseorang dalam berlaku adil dalam perihal cinta dan kecenderungan hati diantara isteri-isterinya tidak menjadi alasan dilarang poligami dalam Islam, sebagaimana sifat ini juga terjadi dalam diri seorang pemimpin, hakim dan orangtua dan juga surah an-Nisa’ ayat 129 tidak dapat menjadi hujjah atau dalil atas larangan poligami.

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *