Penjelasan Kadis ESDM Aceh terhadap Fenomena Kekeringan di Lhoknga
Theacehpost.com | ACEH BESAR – Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh, Ir Mahdinur MM memberikan penjelasan terkait fenomena kekeringan yang melanda Kecamatan Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar dan menjadi isu pada beberapa minggu terakhir.
Terkait kekeringan yang melanda tersebut, Mahdinur menyampaikan faktor utama penyebabnya adalah kemarau yang berkepanjangan yang telah terjadi sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya. Keterdapatan air tanah di Kecamatan Lhok Nga sebagian besar berasal dari daerah karst pada media rekahan di bawah tanah, aliran air pada media rekahan ini sangat bergantung pada tingkat curah hujan dan tutupan lahan pada zona resapan.
Mahdinur menyampaikan, berdasarkan data curah hujan yang disampaikan Kepala Stasiun Klimatologi, BMKG Indrapuri, data curah hujan di stasiun BMKG Lhoknga menunjukkan hampir setiap tahun terdapat curah hujan yang rendah. Khususnya pada awal tahun 2024 curah hujan rata-rata berada di bawah 100 mm, bahkan di bulan Februari hanya 48 mm dan bulan April 60 mm, kondisi curah hujan yang rendah ini bahkan bersifat di bawah normal.
“Ini memang menjadi penyebab utama terjadinya kekeringan pada beberapa sumber air di daerah karst Kecamatan Lhok Nga, selain itu penyebab lainnya yang dapat terjadi adalah perubahan tutupan lahan pada zona-zona resapan, tentu saja hal ini perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut oleh instansi terkait,” pungkasnya.
Secara Hidrogeologis, berdasarkan beberapa kajian ilmiah yang dilakukan oleh BGR, Jerman pada tahun 2007 dan juga oleh Universitas Gadjah Mada pada tahun 2021, Sumber air pada Pucok Krueng yang berdekatan dengan desa Naga Umbang merupakan sebuah sistem hidrologi karst yang airnya terkoneksi dengan Gua Uleu. Gua Uleu sendiri merupakan bagian dari hutan lindung atau zona resapan pada lembah Lunto dengan arah aliran air tanah menuju ke Utara.
Berdasarkan kajian tersebut juga diketahui bahwa zona resapan aliran Pucok Krueng berbeda dengan zona resapan lokasi PT Solusi Bangun Andalas (SBA) yang arah aliran air tanahnya menuju ke Barat atau menuju laut (Gambar 2).
Hal ini sudah dibuktikan melalui uji tracer test dengan melakukan injeksi media berwarna (zat uranine) pada gua dan rongga untuk menelusuri arah aliran air tanah di gua Uleu (zona resapan Pucok Krueng) atau pun di gua Quarry (Zona resapan daerah PT Solusi Bangun Andalas) seperti pada gambar 3.
“Sehingga berdasarkan kajian ini tidak dapat dibuktikan bahwa isu aktivitas penambangan berkaitan dengan kekeringan beberapa sumber air di sekitar wilayah tersebut,” sambungnya.
Mahdinur menambahkan, selain itu kondisi hidrogeologis di Gampong Lambaro Seubun yang berjarak hampir 10 kilometer dari Pucok Krueng atau PT Solusi Bangun Andalas merupakan sistem aliran air tanah yang sama sekali berbeda baik hulu atau zona resapannya, sehingga tidak dapat di hubungkan dengan zona resapan pada Pucok krueng dan lokasi PT Solusi Bangun Andalas seperti pada gambar 4.
Terkait hal ini Dinas ESDM Aceh juga telah mengundang PT Solusi Bangun Andalas untuk memberikan keterangan dan penjelasan terkait kajian hidrologi karst di wilayah tersebut, diketahui juga bahwa pemakaian air permukaan oleh PT Solusi Bangun Andalas sendiri saat ini mengutamakan sumber air yang berasal dari pengumpulan air hujan berupa embung.
Terkait permasalahan kekeringan ini, Mahdinur menyampaikan solusi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek Pemerintah terkait atau melalui PDAM dapat memberikan bantuan berupa tangki air secara regular kepada masyarakat, Mahdinur memberikan apresiasi yang tinggi kepada pemerintah kabupaten/kota dan juga PT Solusi Bangun Andalas yang melakukan gerak cepat dalam memberikan bantuan air bersih kepada masyarakat.
Sedangkan untuk jangka panjang, pemerintah atau instansi terkait dapat mengupayakan pembuatan embung penangkap air hujan dan atau pengambilan air dari sumber-sumber air yang mengalir sepanjang tahun dengan debit yang cukup besar seperti di Gua Ilup (11 l/detik) dan Gue Uleu (614 l/detik), serta sungai Sarah di Kecamatan Leupung.
Untuk Sungai sarah sendiri berdasarkan informasi dari PDAM Tirta Montala, pernah merencanakan membangun SPAM dengan sistem penyediaan air dari Sungai Sarah dengan kapasitas 400 l/detik yang telah dianggarkan oleh Pemerintah Pusat, hanya saja karena covid-19 kegiatan tersebut tidak terlaksana, semoga pemerintah kabupaten/kota dan PDAM dapat mendorong agar kegiatan tersebut dapat direncanakan kembali mengingat masyarakat sudah kesulitan hampir setiap tahun apalagi pada saat kemarau berkepanjangan seperti sekarang ini.
Pandangan yang sama disampaikan oleh Mochamad Anwar Bakti, S.Si., M.B.A., General Manager SBA.
“Dari Studi Hidrologi dan Hidrogeologi yang kami lakukan bersama Tim Universitas Gajah Mada menyimpulkan bahwa adanya perbedaan sistem aliran air bawah tanah dari Daerah Tangkapan Air (DTA) Tambang SBA dengan DTA Lembah Luntho serta Gua Uleu yang terbukti terkoneksi dengan Sungai Bawah Tanah Pucok Krueng dan diyakini merupakan sumber mata air bagi masyarakat di sekitar kawasan Lhoknga,” tuturnya.
Anwar Bakti menambahkan saat ini sumber air baku untuk pabrik hanya menggunakan air limpasan hujan yang tertampung pada kolam settling pond di area quarry batu gamping. Namun, kondisinya saat ini telah surut drastis dan hampir kering karena dampak kemarau berkepanjangan.
“Kami terus melakukan berbagai inisiatif dalam upaya efisiensi penggunaan air di Pabrik SBA, salah satunya adalah dengan membuat Waste Water Treatment Plant (WWTP) agar air sisa proses pendinginan tidak terbuang ke badan air namun dapat digunakan kembali (closed loop circuit),” lanjutnya.
Pihaknya mengucapkan terima kasih atas penguatan penjelasan serta bimbingan dari Mahdinur. Pihaknya berkomitmen untuk senantiasa hadir dan berkontribusi bagi masyarakat yang terdampak oleh bencana kekeringan ini bersama dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar serta seluruh stakeholder terkait. []