Dai dan Tantangan Masa Kini

Oleh : Nikmal ‘Abdu, S.Ag

banner 72x960

Ketika membaca judul di atas, pikiran kita tertuju pada dua hal, yakni para dai selaku juru dakwah dan persoalan-persoalan yang dihadapi mereka di tengah zaman yang semakin modern. Pergeseran masa tentu saja membuat tantangan yang dihadapi juga berbeda. Bukan lagi pada aspek teoritis semata, melainkan juga pada tahapan pelaksanaannya.

Dewasa ini masalah yang muncul dalam bidang dakwah harus menjadi perhatian kita bersama. Secara umum, problem itu ada pada dua sisi, yakni Da’i (pemberi dakwah) dan Mad’u (penerima dakwah). Penulis mencoba mengkerucutkan pada pembahasan yang lebih spesifisik. Sekarang ini, tidak sedikit audiens yang hanya mengharapkan ceramah/ceramah agama bernada jenaka lalu mengabaikan substansi dari pesan-pesan agama.

Dalam konteks masyarakat Aceh bahkan ada anekdot “Yang penteng ceramah beu lucu, nyan baro mangat ta deungo” (Ceramahnya itu harus lucu, baru enak kita dengar). Inilah kenyataan yang sering terjadi dalam praktik dakwah di bumi Serambi Mekkah.

Di lain sisi, kompetensi pemberi dakwah juga perlu untuk dikritisi. Dalam hal ini penulis mengamati, ada sebagian “penceramah” yang memilih tampil dengan humornya karena memang kekurangan/terbatasnya ilmu. Ada juga yang tampil dengan teramat serius sehingga kurang memperhatikan konteks kultural dan psikologi pendengar dan ada yang lebih parah yaitu mereka yang tampil secara ekstrem serta gemar menumpahkan sumpah serapah kala bersuara di atas mimbar.

Melihat 2 realitas yang kontradiktif itu, maka penting kiranya menemukan solusi supaya dapat mengurangi masalah. Mengutamakan penguatan kompetensi juru dakwah penulis kira bisa menjadi sebuah langkah awal. Penguatan kompetensi Dai/Daiyah sangat dibutuhkan agar terwujud Dai/Daiyah yang berkompeten, handal, adaptif dan siap menjawab problematika umat.

Beberapa hari yang lalu, Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh melalui bidang Penaiszawa telah melaksanakan kegiatan Penguatan Kompetensi Dai/Daiyah. Acara yang dilangsungkan selama 4 hari tersebut diikuti oleh sekitaran 200 muballigh/muballighah berusia 25-50 tahun dan sudah memiliki pengalaman dalam dunia dakwah minimal 2 tahun.

Kegiatan yang dihelat di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh ini dibuka langsung oleh Kakanwil Kemenag Aceh, Dr. H. Iqbal, S.Ag, M.Ag. Dalam sambutannya, beliau mengatakan bahwa kegiatan ini bukan untuk mensertifikasi para penceramah. Kalau setelah kegiatan diberikan sertifikat, itu sudah lumrah, jelasnya.

Menurut Kakanwil, kegiatan ini semata-mata untuk penguatan kompetensi para penceramah. Beliau percaya bahwa para peserta yang ikut tentu telah memiliki kompetensi dasar dalam ceramah, namun kegiatan ini lebih bertujuan untuk penguatan kealiman di bidang-bidang lain, seperti pemahaman pada aspek keindonesiaan, budaya, responsif terhadap isu aktual dan terjaga dari paham-paham radikal atau keliru.

Amatan penulis, perhelatan ini memberi dampak positif bagi peserta. Antusiasme mereka juga cukup tinggi sehingga tiap paparan dari para pemateri disimak dengan seksama lalu berlanjut pada dialog interaktif yang menarik dan menambah khazanah ilmu serta wawasan keagamaan.

Sebab memang sudah menjadi suatu keharusan bahwa Dai/Daiyah harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk kemudian mampu menyederhakan pesan agama kepada para penerima sesuai dengan prinsip (khaatibin al-naas ‘alaa qadri ‘uquulihim), mengedepankan hikmah dan mauizah hasanah dalam dakwah serta jika pun terjadi selisih pandangan atau pendapat, maka bisa diselesaikan dengan diskusi yang bermutu dan tidak melibatkan diri pada debat kusir.

Semoga dari bumi Aceh ini dapat lahir para pendakwah yang bisa mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan mencontoh serta meniru akhlak Rasulullah SAW. dalam melakukan tugas mulia yakni sebagai penerus penyampai risalah Allah SWT.

*Penulis staf bidang Penaiszawa Kanwil Kemenag Aceh

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *