Majelis Tastafi: Bank Syariah Harus Dipertahankan di Aceh
Theacehpost.com | BANDA ACEH – Majelis Pengkajian Tasawuf, Tauhid, dan Fikih (Tastafi) Banda Aceh bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) dan Himpunan Pengusaha Santri Aceh (Hipsi) mengadakan kajian bulanan dengan tema “Perbankan di Aceh, Tantangan, dan Peluang”, yang dilaksanakan di Kyriad Muraya Hotel, Banda Aceh, Jumat malam, 16 Juni 2023.
Ketua panitia, Tgk Saiful Hadi berharap pembahasan ini dapat mencerahkan dan menambah wawasan perbankan Islam bagi jemaah. Targetnya dapat menjadi penguat syariat Islam di Aceh, khususnya bab muamalah sehingga menjadi pendukung syariat Islam kafah yang dapat dijalankan selamanya di Aceh.
“Karenanya, masyarakat harus saling dukung agar LKS berjalan makasimal,” ujarnya saat sambutan diskusi yang diisi oleh Tgk Masrul Aidi, Tgk Irawan Abdullah, dan Saiful Musadir (Deputy Institutional Banking & Governtment Relationship BSI Region 1 Aceh) serta Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof.Dr.Syamsul Rijal, M,Ag sebagai moderator dalam acara tersebut.
Pimpinan Dayah Babul Maghfirah Aceh Besar, Tgk Masrul Aidi menyebutkan terkait perbankan syariah yang masih dihadapkan kendala pelayanan, para pengusaha menganggap tantangan itu sebagai motivasi untuk meningkat bisnisnya.
Tgk Masrul Aidi menegaskan perbankan memang belum ada masa Rasulullah dan salafusalih. Tapi praktik pada masa awal Islam mengandung prinsip ekonomi syariat. Hanya saja awal mula bank berkembang di barat, maka Islam menyesuaikannya.
“Padahal mekanisme ekonomi syariah dalam Islam sudah sangat bagus,” katanya.
Menurutnya, kendala dan ujian itu penting. Apa pun program mesti ada ujian sebelum sampai pada tahap kemapanan.
Tgk Masrul Aidi menyebutkan tantangan syariat Islam di Aceh berada di posisi dasar. Sekarang penerapan syariat Islam bisa dilakukan, namun masalahnya ada pada poros Islam, yaitu akidah masyarakat Aceh masih lemah.
“Jika masalahnya ada di poros, maka apa pun berat dijalankan,” jelas ulama muda Aceh ini.
Ekonomi, katanya, merupakan jurus efektif dalam berdakwah, tanpa ekonomi, dakwah terkendala pelaksanaannya. Bahkan Rasulullah khawatir dengan kondisi kemiskinan yang berpotensi pada kekufuran.
Secara teori, regulasi lembaga keuangan syariah di Aceh sudah sangat syariah. Namun praktiknya belum maksimal dan dihadapkan dengan berbagai kendala.
Regional CEO BSI Aceh, Wisnu Sunandar yang diwakili Deputi Institutional Banking Goverment Relationship BSI Region I Aceh, Saiful Musadir mengatakan sejak lahir Qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syairah (LKS) proses peralihan bank konvensional ke bank syariah tidak secara otomatis, karena pihaknya harus menyesuaikan dengan regulasi syariat.
“Alhamdulillah, proses itu bisa dijalankan dengan baik. Seluruh portofolio terkait konversi bank konvensional ke bank syariah bisa dilalui,” terangnya saat isi materi diskusi.
BSI, kata Saiful, hadir sebagai kekuatan baru dalam percaturan ekonomi di Indonesia. BSI punya aset besar dan masuk kategori bank buku tiga sehingga produknya bisa kompetitif dan bersaing.
BSI menghimpun dana masyarakat Aceh Rp15.9 T, sebagiannya telah disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Artinya BSI di Aceh bukan hanya menghimpun dana masyarakat, tapi menyalurkan kembali ke masyarakat Aceh dalam bentuk biaya untuk mendukung usaha mikro kecil dan menegah (UMKM).
“Dari sisi layanan dan produk, sudah cukup bersaing dengan bank lainnya, termasuk bank konvensional,” tegasnya.
Layanan lainnya, BSI juga sudah melayani penyaluran bantuan pemerintah seperti Program Indonesia Pintar (PIP). Artinya tidak ada kendala penyaluran bantuan sosial (Bansos). Bahkan BSI sudah melaunching kartu tani dan program lainnya yang bersumber dari uang negara.
“Hari ini BSI diberikan kepercayaan pemerintah pusat untuk menyalurkan bansos dan pembiayaan dari negara,” katanya.
Ia menyebutkan, sebenarnya masyarakat Aceh tidak perlu khawatir lagi dengan perbankan syariah, terutama BSI, sebab sudah mampu memberikan layanan optimal dan berupaya menumbuhkan ekonomi di Aceh.
“Kami harap dukungan masyarakat Aceh, terutama penempatan dana sehingga dana yang dihimpun bisa digunakan untuk pembiayaan UMKM, dan BSI tidak perlu pinjam dana dari luar Aceh,” ujarnya.
Anggota Komisi I dan Bacaleg DPRA, Tgk Irawan Abdullah SAg menyebutkan setiap berbicara syariah, selalu ada narasi berupa pilihan antara surga dan neraka, narasi ini sebagai bentuk komplain terhadap syariat. Padahal narasi tersebut sangat tidak tepat.
Menurut Irawan Abdullah, Aceh tidak mengusir bank konvensional, tapi hanya mengatur bahwa semua lembaga perbankan dan keuangan harus menganut sistem syariah.
“Jadi tidak mengusir, bank konvensional bisa masuk ke Aceh tapi harus memiliki unit syariah. Saya sangat berharap, fitur yang telah diperbaiki dan dikembangkan BSI dapat publikasikan agar masyarakat mengetahuinya,” jelasnya.
Ia menambahkan, proses penyesuaian bank konvensional ke bank syariah baru empat tahun sehingga kendalanya harus dimaklumi. Hal ini perlu disampaikan dengan narasi positif kepada masyarakat.
“Syariat Islam dan bank syariah harus dipertahankan sebagai bentuk keistimewaan Aceh,” tegas Irawan Abdullah menutup materinya.[]