Menjadi Politisi
Sebagai zoon politicon, rata-rata kita – dari yang muda sampai yang tua – senang dan menggandrungi politik.
Ada kepuasan tidak bertepi, popularitas, kekuasaan serta berbagai dinamika lainnya yang menyebabkan altar politik seperti magnet yang dapat menarik banyak pihak untuk berkiprah.
Bahkan di banyak negara Asia, banyak anak muda yang lebih bercita-cita menjadi politisi sukses ketimbang menjadi petani sukses yang kaya raya.
Mereka melihat dunia politik itu lebih meriah dan prospektif ketimbang menjadi petani.
Tentu ini tidak salah.
Bagi kita yang muda-muda politik dan menjadi politisi itu penting.
Karena hakikat awal aktifitas politik itu adalah ikhtiar memenej kehidupan masyarakat dan negara menjadi lebih baik dan menghadirkan kemaslahatan bagi rakyat.
Ketika dimulai dengan niat yang benar maka setiap jengkal aktifitas politik itu bernilai ibadah. Tidak hanya berdimensi dunia tetapi juga akhirat.
Berbicara semangat yang muda-muda untuk menjadi politisi tiba-tiba saya teringat pesan Saleh Khalid Ketua Umum PB HMI periode 1986 – 1988.
Sebagai anggota DPR RI ketika itu, dalam sebuah acara Pimpinan Wilayah Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI) Aceh, Saleh Khalid menceritakan pentingnya generasi muda melek politik.
Dia mendorong generasi muda untuk terlibat dalam politik praktis. Karena dengan keterlibatan dalam politik praktis — terutama generasi muda yang berkapasitas — banyak kemaslahatan dapat dikonstribusikan.
Tapi, menurut Saleh, sebelum anak muda terjun menjadi politisi menjadi keniscayaan bagi mereka mempersiapkan diri menjadi mandiri baik dari sisi visi dan konsepsi, lebih-lebih lagi dari sisi materi.
Ternyata apa yang disampaikan Saleh Khalid tersebut ternyata menjadi sesuatu yang esensi bagi para politisi muda hari ini.
Ketika hal tersebut diungkapkan Saleh waktu itu konteknya masih biasa biasa saja. Artinya, ketika itu seorang politisi muda menjadi lebih terhormat dan bernilai plus bila ketika terjun ke politik telah selesai dengan dirinya sendiri terkait sandang pangan.
Tapi pasca reformasi politik 1998 apa yang disampaikan Saleh Khalid tersebut justru menjadi lebih bermakna lagi bahkan menjadi salah satu causa prima kesuksesan seorang politisi muda mengawali karirnya.
Pasca reformasi ada dua faktor utama yang dihadapi politisi muda dalam meretas jalan sukses menjadi politisi.
Pertama, terjadi perubahan kultural dan mindsed partai politik dalam setiap melakukan promosi kader. Baik sebagai calon keguslatif (Caleg), calon kepala daerah (Cakada) maupun jabatan-jabatan publik lainnya yang diakses secara otoritatif oleh Parpol.
Dulu sebelum reformasi, ketika parpol hanya tiga buah, promosi kader untuk jabatan politik lebih kepada mempertimbangkan aspek loyalitas, kapasitas dan dedikasi.
Maka ketika itu banyak anak-anak muda cerdas dan visioner yang berasal dari tokoh OKP dan mahasiswa direkrut dan dipromosi sebagai kader sekanjutnya didapuk jadi pejabat publik.
Maka wajar saja ketika menjabat mereka paham persoalan serta punya ide dan gagasan.
Tetapi hari ini yang dilakukan sejumlah parpol tidak lagi demikian. Sering yang dipromosi bukan kader parpol yang selama ini telah berkeringat bahkan berdarah-darah berkostribusi untuk institusinya.
Karena kader tersebut hannya cerdas tapi tidak punya uang, tapi mereka dengan mudah dikalahkan “mualaf politik” yang kaya raya yang datang jelang magrib ke parpol.
Kondisi ini saat ini banyak terjadi akhir-akhir ini. Tanpa harus ditunjuk lokasi kejadian dan sang pelaku.
Kondisi ini merusak konsolidasi dan kaderisasi parpol yang telah bermusim-musim dilakukan. Justru para mualaf politik yang dengan mudah menikmati. Sedangkan anak-anak muda cerdas tapi miskir tersingkir dan sekedar menjadi ornamen parpol.
Kedua, kondisi demokrasi kira saat ini, terutama even pemilihan pejabat pubilk yang melibatkan masyarakat sebagai voter, seperti memberikan pisau kepada anak kecil.
Bukan bermanfaat malah membahayakan!.
Ketika otoritas pemilihan langsung diberikan kepada rakyat sedang, di saat bersamaan rakyat kita tanpa dibekali pendidikan politik dan subtansi demokrasi yang memadai, maka otoritas yang dimiliki rakyat tersebut justru menjadi kanvas tempat terjadinya pembajakan demokrasi yang bukan hanya tidak berkualitas tetapi juga tidak beradab.
Bayangkan masa depan demokrasi dan negara kita, ketika para pemilih dalam memilih pejabat publik lebih tertarik prabayar ketimbang ide dan gagasan segar untuk sebuah perubahan yang lebih baik.
Ide dan gagasan segar untuk sebuah perubahan yang lebih baik inilah satu-satunya aset yang dimiliki politisi muda miskin. Mereka tidak memiliki kemampuan dan akses untuk menyemarakkan politik demokrasi dengan treatrikal prabayar.
Yang mampu melakukan atraksi prabayar untuk memuluskan jalan politiknya hanya para mualaf politik kaya raya yang mereka mendekat dan menjauh ke parpol kapan mereka suka.
Masyarakat kita pun ketika menjatuhkan pilihan politik lebih senang memilih mualaf politik yang mau bagi bagi uang ketimbang politisi muda yang hanya cakap bagi ide dan gagasan perubahan.
Pemilih kita dewasa ini melihat ide dan gagasan tidak dapat dimakan dan belum tentu jelas ujungnya. Sedangkan paket prabayar jelas dan terang benderang dan seketika dapat dirasakan.
Beberapa kali pemilu terakhir ini terbukti anak-anak muda yang tidak punya uang sulit lolos sekalipun mereka cerdas. Mereka tidak punya cukup uang untuk bagi-bagi sembako, cetak spanduk dan biaya pasang spanduk serta kebutuhan lainnya.
Jadi, Catatan Kanda sederhana saja. Jadi kaya dulu sebelum jadi politisi. Caranya, disesuaikan saja. Halal dan tidak mengikat.