Abu Ibrahim Woyla, Wali Majdzub dari Bumi Serambi Mekkah
Oleh : Tgk Mustafa Husen Woyla,
Ketua Umum DPP ISAD Aceh,
Wadir Bagian Humas dan Kerja Sama Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee
Adanya karamah bagi para waliyullah disepakati oleh empat imam madzhab, termasuk yang beraliran Salafi Wahhabi, kecuali Mu’tazilah dan Jahmiyyah yang diperselisihkan hanya bentuk karamah dan kriteria para wali.
Allah berfirman tentang adanya wali, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehi-dupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” [Yunus: 62-64]
Ulama ahlussunnah waljamaah meyakini adanya karamah, baik sewaktu masih hidup maupun setelah wafat, bahkan setelah wafat, karamah para wali semakin nyata.
Ulama Arif berkata, “Barang siapa yang karamahnya tidak tampak setelah wafatnya sebagaimana sewaktu hidupnya, maka kewaliannya itu tidak benar.”
Bahkan ada ulama sufi berkata sebagian dari limpahan mukjizat nabi Muhammad SAW adalah karamah para ulama atau waliyullah dari umatnya.
Di antara maqamat kewalian, ada istilah Wali Jadzab, Wali Jadzab sebuah istilah kewalian yang tidak begitu makruf di Aceh.
Penulis mendengar istilah Wali Jadzab dari teman di negeri Syam, Dimasyq, Suriah. Kemudian ia mengirim kitab Risalah Qusyairiyah dan Kitab Karamatul Auliya, dari dua kitab tersebut membuka mata Penulis terhadap dunia tasawuf dan kesufian. Juga dari teman di bumi syam yang diberkati, penulis dapat kabar, para waliyullah berkumpul di sana.
Di antara wali majdzub di bumi ini yang bermakam di bumi serambi mekkah, tepatnya di Desa Pasie Aceh, Woyla, Aceh Barat. Abu Ibrahim Woyla dikenal di Aceh dengan berbagai kekaramahannya, bahkan di nusantara Abu semakin dikenal karena pernah diundang oleh beberapa petinggi Negara untuk didoakan dan minta arahan beberapa masalah genting di Indonesia, di antaranya masalah kemunduran Gusdur dari RI ke-4 dan terkait konflik GAM-RI di Aceh.
Sebagaimana ulama sufi lainnya, terkadang terjadi silang pendapat tentang ke-wali-an, begitu juga dengan sosok ulama sufi yang terkenal sebagai pengembara ini. Ada saja pendapat miring, sampai ada yang mengatakan sudah termasuk ke golongan rufi’a al-qalam.
Tgk Mustafa Husen Woyla, mencoba menjawab polemik di atas dengan berbagai literatur islam, hasil wawancara berbagai ulama di Aceh dan maraji’ lainnya dari timur tengah, dan menyimpul bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah Wali Majdzub (ditarik). Wali Majdzub, yakni kewalian diperoleh secara langsung ditarik ke maqam makrifah dengan kehendak Allah, bukan kewalian melalui silsilah thariqat dan sanad keilmuan serta riyadhah lainnya.
Ulama ahlussunnah waljamaah meyakini adanya karamah, ketika hidup maupun setelah wafat, bahkan setelah wafat semakin nyata karamahnya, Jika karamahnya tidak tampak setelah wafatnya seperti sewaktu hidupnya, maka kewaliannya dipertanyakan. (Syaikh Ibrahim al-Bajuri).
Semenjak mangkat sampai sekarang, saban hari, makam Abu tidak pernah sepi penziarah dari berbagai daerah silih berganti dari berbagai pelosok dalam dan luar negeri.
Kemudian, selain kewalian majdzub, juga sudah jamak diketahui Abu sebagai sosok dermawan dan murah hati, sangat banyak masyarakat yang menerima infaq dan sedekah darinya.
Abu Woyla juga sangat makruf sebagai sang pembawa pesan tersirat, tentang kemalangan atau musibah, Abu sering mengajak melakukan berapa amal agar terhindar dari bala, termasuk berita dari Abu akan terjadi bencana besar Tsunami Aceh 2004. Wallāhu a‘lam