Tanggapan KPPAA soal Kasus Pesta Seks Muda Mudi di Pidie
Theacehpost.com | BANDA ACEH — Masyarakat Aceh beberapa hari lalu dibuat geger atas diamankannya tiga pasangan non muhrim di sebuah rumah kosong di Kawasan Reung-Reung, Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie. Empat dari enam muda mudi tersebut merupakan anak di bawah umur.
Mereka digerebek warga pada Kamis, 1 Oktober 2020. Dilaporkan, keenam ABG itu telah melakukan hubungan suami istri secara bergantian selama empat hari.
Kasus yang kini tengah ditangani oleh pihak kepolisian setempat itu mendapat perhatian khusus dari Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA).
Lembaga ini menduga, tidak hanya kasus persetubuhan saja, namun ada tindakan kriminal lainnya di balik pesta seks yang dilakukan oleh ketiga pasangan itu.
“Penegak hukum harus mengusut tuntas masalah ini, melakukan penelusuran mungkin saja ada tindak kriminal di dalam kasus tersebut,” kata Anggota KPPAA, Firdaus D Nyak Idin, ketika dikonfirmasi, Rabu, 7 Oktober 2020.
“Misalnya dulunya diawali dengan paksaan atau penjebakkan dan lain-lainnya,” imbuhnya.
Firdaus menyampaikan, dalam mengungkap kasus ini, pihak kepolisian harus melibatkan psikolog serta bekerjasa sama dengan pemerintah dalam melakukan rehabilitasi psikologi dan sosial, mengingat empat dari enam pelaku merupakan anak di bawah umur.
“Polisi perlu melibatkan psikolog untuk itu. Kemudian polisi harus memilah, karena pelakunya ada yang sudah tak berusia anak lagi. Polisi harus melanjutkan secara hukum,” ujarnya.
Baca Juga: Tiga Pasangan Bukan Muhrim Ditangkap Warga Pidie
KPPAA mensinyalir kasus seksual yang melibatkan empat anak di bawah umur ini, dikarenakan ada dua faktor umum yang menyebabkan anak-anak memanfaatkan waktu untuk sesuatu yang tidak baik.
Pertama, faktor pengaruh gadget (HP) yang semakin bebas dan intens digunakan oleh anak dan remaja namun jauh dari pengawasan orang tua maupun orang dewasa.
Termasuk karena tidak adanya pengawasan pihak sekolah ketika anak didiknya mengikuti proses pembelajaran daring atau di luar sekolah.
Kedua, faktor kelalaian mekanisme pendidikan masa pandemik di mana proses pendidikan di dalam sekolah yang tidak optimal dan terkesan apa adanya, namun tidak dibarengi dengan upaya memperkuat mekanisme pendidikan di luar sekolah baik online maupun offline.
“Kedua faktor tersebut mendorong anak mengakses informasi yang tidak layak dari HP, dan memanfaatkan waktu luang untuk mempraktikkan nilai-nilai buruk yang diakses dari HP,” ungkap Firdaus.
Tak hanya dua faktor tersebut, KPPAA juga mensinyalir, kasus itu terjadi berawal dari masalah pengasuhan di rumah, yang mana orang tua abai dalam melakukan pengasuhan dan tidak melakukan pendampingan bagi anak-anak.
Kemungkinan besar, dikatakannya, anak -selaku pelaku- tidak mendapatkan proses pengasuhan yang baik di rumah.
“Seharusnya orang tua tidak abai dan tak lepas pengawasan,” ujar anggota KPPAA itu.
Berdasarkan catatan KPPAA, kasus pesta seks yang dilakukan muda-mudi di Aceh bukanlah kali pertama terjadi, namun kejadian serupa juga pernah terjadi pada Agustus lalu di Kota Langsa.
Menghindari kejadian serupa di daerah lainnya di Aceh, KPPAA mengimbau kepada pemerintah provinsi maupun kabupaten kota serta lintas sektoral untuk segera mengambil langkah cepat dalam menanggapi kasus ini.
“Untuk itu kami sarankan agar pemerintah segera cepat tanggap merespon kasus dimaksud agar tak terulang. Jangan lupa, pemerintah punya kewajiban merehabilitasi pelaku berkerjasama dengan keluarga. Tak boleh dibiarkan begitu saja,” ujarnya.
Penulis: Mhd Saifullah