Sepak Bola, Perilaku Barbar, dan Syariat Islam di Aceh
Oleh: Rizki Mustaqim, S.Th, M.Ag, Pemerhati Sosial Budaya dan Agama, Anggota IKAT Aceh
Beberapa hari yang lalu masyarakat Aceh bahkan Nasional dihebohkan dengan gagal terlaksananya pertandingan Liga Dua untuk wilayah barat Indonesia, yaitu antara klub Persiraja Banda Aceh sebagai tuan rumah dengan klub PSMS Medan sebagai tuan tamu.
Gagalnya dihelat pertandingan tersebut disebabkan karena listrik stadion padam yang diketahui sumber listrik di Stadion Dimurthala Lampineung, Banda Aceh tersebut menggunakan mesin generator atau genset. Apa yang menjadi sebab mesin genset padam sekitar 15 menit sebelum pertandingan masih simpang siur dan masih dalam penyelidikan tim Polda Aceh.
Yang menarik dari kejadian di atas adalah, posisi Persiraja yang masih dalam masa transisi dan penyesuaian dari kepengurusan lama kepada manajemen baru itu malah mendapatkan cobaan berat di awal-awal perjalanannya, yaitu dengan aksi pembakaran fasilitas stadion oleh sebahagian oknum penonton.
Tidak berhenti disitu saja, cobaan beruntun lainnya datang dari keputusan direktur PT. Liga Indonesia Baru atau LIB sebagai operator Liga Dua, bahwa Persiraja harus menerima sanksi dengan kekalahan WO dari PSMS Medan dengan skor telak 0-3, bak sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Tentu hal di atas menjadi kesedihan dan kekecewaan bagi masyarakat Aceh, khususnya bagi penggemar sepak bola di bumi Serambi Mekah.
Terlepas dari tudingan berbagai pihak bahwa kegagalan dihelatnya partai perdana antara Persiraja Banda Aceh dengan PSMS Medan itu disebabkan oleh kelalaian atau lengahnya tim manajeman dan panitia pelaksana terhadap kesiapan sebelum laga.
Pastinya, hal tersebut menjadi cobaan juga bagi masyarakat Aceh, kenapa? Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekah dan sedang dalam upaya penyempurnaan sedikit demi sedikit dalam pelaksanaan syariat Islam, tetapi pada faktanya masyarakat Aceh mencoreng wajah sendiri bahkan menelanjangi daerah sendiri dengan tidak menjunjung tinggi nilai syariat Islam.
Bagaimana tidak, kita telah mempermalukan Aceh di mata nasional bahkan dunia dengan perilaku barbar yang dilakukan oleh sebagian oknum dari penonton yang konon merasa kecewa dengan padamnya listrik stadion malam itu.
Apapun alasan yang menjadi kekecewaan penonton, seharusnya peristiwa pengrusakan serta pembakaran fasilitas stadion itu tidak terjadi. Itu adalah perbuatan salah, tidak dibenarkan oleh agama serta menyalahi dari salah satu tujuan dari penerapan syariat itu sendiri yaitu hifdhzul bi’ah atau menjaga lingkungan. Tidak seharusnya peristiwa yang menyalahi syariat itu terjadi ditengah Aceh sedang menjadi sorotan serta role model dalam keberhasilan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Sebagai ilustrasi, ketika seorang pembeli membeli barang yang diperlukan di sebuah toko, ketika dia membawa pulang barang tersebut lalu dia mencobanya ternyata barang tersebut rusak tidak bisa digunakan.
Lantas, apakah si pembeli itu kembali ke toko lalu merusak seluruh barang dagangan si pemilik toko tersebut? Apakah si pembeli tadi kecewa? bagi seorang pembeli yang waras tentu dia merasa kecewa karena dia telah mengeluarkan uang akan tetapi barang yang dibeli tidak dapat digunakan, namun apakah dia akan melakukan pengrusakan barang si pemilik toko karena rasa kecewa? Tentu tidak, hal yang harus dilakukan adalah dia kembali ke toko tersebut lalu dia meminta pertanggung jawaban pihak toko untuk mengganti barang yang rusak tadi atau mengembalikan uang miliknya seperti sedia kala.
Begitu juga seharusnya sikap sebagian penonton yang merasa kecewa karena gagal menikmati pertandingan tim kebanggaan mereka, adalah dengan mendatangi pantia pelaksana atau tim manajemen untuk mengembalikan uang tiket yang telah dibeli atau meminta untuk mengganti dengan kompensasi yang lain, bukan dengan merusak fasilitas stadion.
Maka dapat dikatakan bahwa menonton itu sama dengan membeli barang, hanya saja kalau kita membeli barang kitab bisa menikmati barang yang kita sudah beli, nah kalau kita beli tiket maka yang kita nikmati adalah tontonan dari perhelatan tersebut. Lalu apakah nikmatnya barang dagangan atau tontonan tersebut dapat kita nikmati sesuai dengan harapan dan cita-cita kita, itu kembali kepada Zat yang menentukan segalanya.
Kita jangan lupa bahwa ada Yang Maha Kuasa yang menentukan segala sesuatu yang terjadi kepada hambaNya, bahkan satu helai daun yang jatuh pun atas izin Allah Swt, apalagi kejadian padamnya genset kemarin yang membuat kecewa kurang lebih 10.000 penonton. Lalu ada sebahagian yang mengatakan bahwa, jangan bawa-bawa Allah, jangan bawa-bawa agama dalam permasalahan ini.
Maka kita katakan bahkan kalau pun benar padamnya genset akibat dari kelalaian dan lengahnya panitia pelaksana dalam menyiapkan laga tersebut, bukankah itu juga bagian dari ketetapan Allah Swt. Maka kita seharusnya masyarakat Aceh harus memiliki iman yang kuat yang ditandai dengan tidak merasa terlalu gembira dengan kesenangan dan kenikmatan yang kita peroleh lalu juga tidak merasa kecewa atau sedih dengan apa yang menimpa kita. Allah Swt telah menjelaskan hal tersebut dalam surah Al-Hadid ayat 22-23 yang berbunyi:
Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfduz) sebelum kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah Swt. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepada kamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.
Sebagai penutup, maka apa yang dilakukan oleh sebagian oknum penonton dalam peristiwa di atas, hal itu mengindikasikan bahwa gagal atau berhasilnya penerapan syariat Islam di bumi Serambi Mekah yang menjadi diskusi hangat selama ini telah menemukan jawabannya sendiri.
Mari kita pertanyakan pada masing-masing hati kita. Apakah kita telah menerapakan syariat Islam mulai dari ujung rambut sampai ujung mata kaki kita, apakah kita telah menerapkan syariat Islam mulai dari bangun pagi sampai dengan tidur kita lagi pada malam hari, apakah kita telah memiliki akhlak yang terpuji sebagaimana yang diajarkan dan yang menjadi misi utama dari diutusnya Rasulullah ke muka bumi ini? Apakah kita hanya larut tentang persoalan aurat wanita saja sehingga membuat kita luput terhadap aurat akhlak dan prilaku kita sehari-hari? Wallahhu A’lam Bisshawab. albirruni@ymail.com