‘Puan Aceh Bergerak’ Hadir untuk Solusi Kasus Perempuan dan Anak

Kartini Ibrahim, Ketua Forum Puan Aceh Bergerak.

JUMAT sore, 2 September 2022, serombongan aktivis perempuan dari Forum Puan Aceh Bergerak (FPAB) bersilaturahmi ke Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh di kawasan Simpang Lima, Banda Aceh. Perempuan yang merupakan Pengurus FPAB tersebut dipimpin langsung oleh ketuanya, Kartini Ibrahim didampingi Siti Rahmah (Sekretaris), Emil Hanum (Bendahara), dua unsur pengawas yaitu Cut Asmaul Husna dan Dewi Meutia plus Bidang Humas dan Media Meylida Abdani. “Terima kasih telah menerima kunjungan kami. Ini merupakan kunjungan pertama kami ke lembaga mitra sejak FPAB terbentuk pada bulan Mei 2022,” kata Cut Asmaul Husna ketika memperkenalkan satu per satu anggota rombongan kepada Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin didampingi Sekretaris Muhammad Zairin, Jufrizal (Ketua PWI Aceh Besar), Pribadi (Sekretaris Seksi Kesra), Reza Gunawan (Sekretaris Seksi Organisasi), Saifuddin (Anggota Seksi Polkam), dan Syahril Ahmad (Kasi Media Radio & Televisi). “Organisasi ini terbentuk didasari fakta tentang makin tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kami juga ingin mendorong pemberdayaan perempuan di bidang sosial, ekonomi bahkan politik. Sejatinya, FPAB ingin manjadi bagian dari solusi,” lanjut Ketua FPAB, Kartini Ibrahim yang juga Anggota Komisi VI DPR Aceh. Berikut berbagai isu yang mengemuka melalui pertemuan sekitar dua jam yang dirangkum Nasir Nurdin, Pemred Theacehpost.com.

banner 72x960
Pengurus Forum Puan Aceh Bergerak (FPAB) foto bersama dengan Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh ketika aktivis perempuan ini bersilaturahmi ke Kantor PWI di kawasan Simpang Lima, Banda Aceh, Jumat sore, 2 September 2022. (Dok PWI Aceh)

Menurut Kartini Ibrahim, silaturahmi yang dilakukan Pengurus FPAB ke berbagai pihak—termasuk ke PWI—menjadi satu keniscayaan yang menjadi salah satu program organisasi untuk membangun kemitraan.

“Sebagai organisasi yang baru terbentuk, kami memerlukan banyak dukungan dari berbagai pihak. Kami perlu diskusikan banyak hal terkait program pemberdayaan perempuan, pendampingan dan edukasi kasus yang dihadapi anak dan perempuan, bahkan berbagai peluang untuk pemberdayaan ekonomi keluarga,” ujar Kartini yang juga anggota Komisi VI DPR Aceh.

Pengurus Forum Puan Aceh Bergerak (FPAB) dipimpin ketuanya, Kartini Ibrahim berdiskusi dengan Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin dan jajaran pengurusnya pada silaturahmi FPAB ke Kantor PWI Aceh di Banda Aceh, Jumat sore, 2 September 2022.

Menurut data yang dihimpun FPAB, baik berdasarkan laporan jejaring di lapangan maupun yang tesriar di media massa, angka kasus kejahatan yang menimpa anak maupun perempuan semakin tinggi, termasuk di Aceh.

Dia berharap kepada semua pihak agar ada gerakan bersama untuk mendorong agar pemerintah dan aparat hukum semakin serius menindaklanjuti setiap kasus yang terjadi.

“Kita jangan hanya menjadi pencatat kasus dan membiarkan tanpa tindak lanjut,” tandas Kartini dibenarkan rekannya, Cut Asmaul Husna, aktivis yang dikenal galak memperjuangkan penanganan kasus perempuan dan anak.

Diakui oleh Kartini, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi di Aceh, tapi partisipasi perempuan untuk untuk menyuarakan penanganan kasus—termasuk ke lingkaran pemerintahan, aparat hukum maupun politik—masih rendah. “Inilah salah satu tugas FPAB. Harus ada kesamaan gerak dan suara yang sama,” kata Kartini, anggota DPRA dari Partai Gerindra.

Respons masih lamban

Meski baru terbentuk, namun Tim FPAB sudah menjelajahi hampir semua wilayah Aceh—terutama daerah-daerah yang terjadi kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan—untuk melakukan pendampingan dan mendorong pemerintah bersama aparat hukum menindaklanjuti laporan yang disampaikan.

Temuan kasus di berbagai daerah, menurut Kartini ada yang dilaporkan langsung ke dinas terkait di provinsi (seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/DP3A) namun sangat disayangkan ternyata pada kasus-kasus tertentu ada yang mengaku tidak tahu.

“Akibat tidak tahu, maka tak ada tindak lanjut. Bahkan, kalau pun ada yang sudah lengkap data kasus, penanganannya lamban atrau slow respons,” kata anggota DPRA dari Dapil 2 (Pidie dan Pidie Jaya).

Cut menambahkan, persoalan kekerasan itu tak hanya soal fisik, tetapi pemulihan trauma psikis itu yang membutuhkan waktu lama.

“Menyemangati mereka (korban) adalah hal yang penting. Kita ingin pastikan bahwa kita ada bersama mereka (korban) di saat mereka butuh pendampingan. Banyak hal yang bisa kita lakukan jika bergerak dan bersuara sama. Media adalah mitra strategis kami dan kami akan terus menjaga kemitraan itu,” demikian Kartini Ibrahim.[]

Komentar Facebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *